Tampilkan postingan dengan label True Story - International. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label True Story - International. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Februari 2012

Buku Harian Anak Korban Perang Bosnia (BAGIAN 2)

Diantara teman-temanku dan bahkan di dalam keluargaku sendiri, terdapat juga orang Serbia, Kroasia, atau orang Muslim.

Namun sekarang politik mulai campur tangan. Dia mulai menandai dengan huruf "S" bagi orang Serbia, "M" bagi orang Muslim, dan "K" bagi orang Kroatia, yang tujuannya ingin memecah belah mereka. Untuk melaksanakan niat-nya itu, politik tersebut telah memilih menggunakan pensil peperangan yang hanya mengenal kesengsaraan dan kematian.

Mengapa politik membuat kami tak bahagia, memecah belah kami, pada saat kami sendiri mengetahui siapakah yang baik dan siapa yang jahat?

Kami bergaul dan berbaur dengan orang-orang yang baik, dan bukan orang-orang yang jahat. Diantara mereka yang baik itu, orang Serbia, orang Krotia, dan juga orang Muslim, seperti banyak juga diantara mereka itu yang jahat.

Aku benar-benar tak bisa memahami keadaan ini. Mungkin karena aku masih terlalu muda, dan politik itu dijalankan "orang-orang dewasa".

Namun aku berpikir, orang-orang muda seperti kami ini akan bisa melakukan politik itu dengan lebih baik, dibandingkan dengan orang-orang dewasa itu. Sebab sudah jelas kami tak akan memilih peperangan.


KAMIS, 3/12/1992.


Mimmy Sayang, hari ini hari Ulang Tahunku. Ulang Tahun pertamaku dalam masa perang, 12 tahun! Selamat Berulang Tahun kepadaku.

Hari ini dimulai dengan ciuman-ciuman dan ucapan-ucapan selamat. Pertama-tama ibu dan ayah, kemudian menyusul yang lain-lainnya. Ibu dan ayah menghadiahiku 3 buah kotak rias Cina ... dan isinya bunga!

Seperti hari-hari sebelumnya, listrik tetap mati, Bibi Melica datang bersama keluarganya (Kenan, Naida, dan Nihad) dan memberiku hadiah sebuah buku. Tetangga kami berkumpul pada malam harinya.

Aku mendapat hadiah dari mereka berupa permen coklat, vitamin, sabun berbentuk jantung (kecil berwarna jingga), gantungan kunci dengan foto Maja dan Bojana, sepasang anting dari batu asal Siprus dan sebuah cincin perak.

Suasananya terasa sangat menyenangkan, namun ada satu hal yang hilang. Namanya Perdamaian.

KAMIS, 8/4/1993.


Mimmy Sayang, kabar yang lebih buruk dan menyedihkan hari ini. Cicko, burung kenari piaraan kami, yang kami sayangi itu mati. Dia langsung tergeletak dengan begitu saja. Dia tak nampak sakit sebelumnya. Kematiannya itu datang dengan begitu tiba-tiba.

Biasanya dia rajin berkicau. Namun sekarang dia tak akan bisa berkicau lagi. Dia mati, mungkin sudah tak tahan dengan tekanan suasana peperangan, Cicko sudah tak ada lagi.

SELASA, 1/6/1993.


Mimmy Sayang, kemarin aku baru saja tertimpa bencana, tiap hari ini aku berharap segalanya akan menjadi lebih baik. Biar kuceritakan padamu, sarapan pagi, makan siang, begitu pula makan malam kami semuanya tak dimasak, sebab aliran gas mati sejak kemarin. Padahal listrik juga mati.

Bencana! Oh, Mimmy, aku sudah merasa tak mampu bertahan lagi! Aku benar-benar merasa capai dan putus asa memikirkan semua ini.

Ssssst! Maaf, Mimmy, aku mengumpat-umpat, tapi sebenarnya serasa aku sudah tak mampu bertahan lebih lama lagi.

SABTU, 17/7/1993.


Mimmy Sayang, hari promosi buku.

Karena aku sudah tak bersama lagi (hanya sebagian darimu saja yang berada disini), aku akan menceritakan padamu bagaimana suasana saat ini.

Suasananya sungguh menyenangkan. Pembacanya seorang gadis cilik, yang sulit dipercaya, sangat mirip dengan Linda Evangelista. Dia membaca sebagian dari dirimu, Mimmy, dan bahkan diiringi alunan piano. Bibi Irena juga berada disana, masih tetap hangat dan menyenangkan pada setiap anak.

Pada akhir acara aku membacakan pesanku. Seperti inilah apa yang kukatakan. "Dengan secara tiba-tiba dan tanpa kuinginkan, seorang menggunakan kekuatan jahatnya, yang menakutkanku, mencoba menarikku dan menyeret diriku pergi dari pantai kedamaian, dari kebahagiaan persahabatan yang indah, keceriaan bermain dan cinta. Aku merasa seperti seorang perenang yang dipaksa terjun ke dalam air yang dingin, melawan kehendakku. Aku merasa syok, sedih, juga takut, dan aku bertanya-tanya heran kemana mereka akan menyeretku pergi.

Aku heran mengapa mereka merampas pantai kedamaian inilah masa kanak-kanakku. Aku sudah biasa bergembira di bawah sinar matahari, bermain dan bernyanyi. Singkatnya aku menyenangi masa kanak-kanakku. Aku tak menginginkan yang lebih dari itu. Sekarang kekuatanku semakin lemah dan terus melemah untuk berenang di air yang dingin ini.

Oleh karena itu kembalikan aku ke pantai dunia kanak-kanakky, di mana aku merasakan kehangatan, bahagia dan gembira, seperti halnya semua anak-anak yang masa kanak-kanaknya maupun haknya untuk menikmati semua itu dihancurkan.

Satu-satunya hal yang ingin kukatakan pada setiap orang ialah, Perdamaian!

JUM'AT, 23/7/1993.


Mimmy Sayang, sejak 17 Juli, berbagai orang banyak yang berdatangan: wartawan, juru camera, reporter, dari Spanyol, Perancis, AS .... Inggris ... dan kemarin seorang kru ABC News datang juga. Mereka membuat film tentang diriku di mana aku telah mereka nobatkan sebagai "Tokoh Minggu ini." Coba bayangkan, aku seorang tokoh?

Bisakah mereka-mereka yang berada di luar dunia sana melihat juga kegelapan yang kulihat selama ini?

Seperti halnya aku tak bisa melihat diriku di TV Amerika malam ini, begitu pula kukira masyarakat dunia luar sana mungkin tak melihat kegelapan yang sedang kusaksikan. Kami seperti berada di dua ujung dunia. Hidup kami memang berbeda sekali. Dunia mereka Cerah. Sedang dunia kami kegelapan.

SENIN, 2/8/1993.


Mimmy Sayang, ada sementara orang yang mencoba membandingkan diriku dengan Anne Frank. Hal itu sangat menakutkanku, Mimmy. Aku tak mau mengalami nasib seperti Anne Frank itu.

RABU, 18/8/1993.


Mimmy Sayang, kemarin aku mendengar beberapa berita yang optimistis. "Anak-anak" (para politikus) itu menandatangani suatu persetujuan di Jenewa tentang demiliterisasi Sarajevo. Apa yang bisa kukatakan?
Bahwa aku berharap bisa mempercayainya?

Aku tak tahu bagaimana aku akan bisa mempercayainya. Sebab setiap kali aku percaya dan berharap sesuatu akan terjadi, ternyata hal itu sama sekali tak terjadi, dan setiap kali aku tak mengharapkan sesuatu itu akan terjadi, justru itulah yang terjadi.

MINGGU, 17/10/1993.


Mimmy Sayang, kemarin sahabat-sahabat kami di bukit-bukit memperingatkan kami tentang kehadiran mereka dan mereka berhasil menguasai keadaan dan bisa membunuh, melukai, dan menghancurkan....  hari kemarin benar-benar merupakan hari yang sangat mengerikan.

Limaratus sembilanpuluh serangan peluru mortir. Mulai pukul 4.30 pagi sampai sepanjang hari. Enam orang meninggal dan 56 luka-luka. Itu korban yang jatuh kemarin. Soukbunar yang menderita paling hebat. Aku tak tahu bagaimana nasib sahabatku Melica. Orang-orang mengatakan separoh gedung di daerah itu hancur rata dengan tanah.

Kami berlindung di gudang bawah tanah. Dalam gudang yang dingin, gelap dan bodoh yang sangat kubenci. Kami tetap berada disitu selama berjam-jam. Mereka tetap menghujani kota kami dengan tembakan hebat. Seluruh tetangga kami ikut bergabung berlindung dalam gudang kami itu.

Kadang-kadang aku berpikir akan lebih baik bagi mereka, kalau terus mendengar suara tembakan. Tapi sekarang ini, setiap kali kami merasa lega dan sedang beristirahat karena serangan berhenti, tiba-tiba serangan hebat itu mereka mulai lagi.

Aku bahkan mulai yakin sekarang, situasi mengerikan sekarang ini tak akan pernah berakhir. Sebab ada sementara orang yang tak menginginkan terjadinya hal itu, yaitu beberapa orang berhati iblis yang membenci anak-anak dan penduduk biasa. Kami kan tidak melakukan kesalahan apa pun. Kami ini orang-orang yang tak tahu apa-apa. Namun tak berdaya........
ZLATA FILIPOVIC.......


Source: Majalah Warnasari, no.185 - Juni 1994


BACA JUGA:
Buku Harian Anak Korban Perang Bosnia (BAGIAN 1)

Rabu, 10 Agustus 2011

Tenggelamnya Kapal Prinsendam (True Story)

Kapal Prinsendam pernah turut berjasa memperkenalkan dunia pariwisata Indonesia di manca negara. Pada tanggal 4 Oktober 1980, kapal pesiar mewah itu tenggelam di perairan Alaska, setelah mengalami musibah kebakaran. S. Sudarto menjadi ABK di situ sejak kapal diluncurkan dari pabriknya di Negeri Belanda, sampai riwayatnya tamat. Ia menuturkan pengalamannya saat-saat kapal itu tenggelam.

Kapal Prinsendam Buatan Tahun 1988
SELAMA tujuh tahun (1974-1980), kapal milik perusahaan pelayaran Belanda, Holland America Line, itu memancing wisatawan Amerika, Kanada, dan Eropa, untuk datang ke Singapura, lalu dibawa keliling Indonesia selama 14 hari. Paket pelayanan wisata ini berlangsung secara rutin setiap musim dingin di belahan bumi utara.

Seperti kapal-kapalan 

Pada bulan April 1980, saya mengikuti kapal lepas dari Indonesia, dalam pelayaran dari Yokohama menuju Pelabuhan Sitka di Alaska Tenggara. Pelayaran menyeberangi Pasifik Utara yang luas itu memakan waktu 10 hari siang-malam tanpa berhenti. Laut boleh dikata lebih sering berombak besar daripada tenang. Kalau laut sedang bergolak begitu, aduh .... Kapal seberat 10 ribu ton itu terombang-ambing, dibanting ke sana-kemari seperti mainan anak-anak. Guncangan yang bertubi-tubi menyebabkan semua orang mabuk laut: tidak doyan makan, kepala pusing, perut seperti dikocok, lalu muntah habis-habisan. Rasanya benar-benar setengah mati.


Lima bulan kemudian, Prisendam selesai bertugas di Alaska, lalu bersiap-siap untuk kembali ke Indonesia. Selama musim dingin, alam Alaska serba dingin dan membeku. Segala objek wisata tertutup es. Tidak ada wisatawan yang mau pergi ke Alaska.

Di Vancouver, Kanada, gudang kapal dipasok dengan berbagai bahan makanan dan minuman, bahan-bahan rumah tangga, seperti kertas kloset, kertas tissue dan sebagainya. Minuman keras untuk kebutuhan bar, terutama merek-merek yang langka, dilengkapi untuk waktu setengah tahun pelayaran di Indonesia. Tangki diisi penuh dengan solar untuk penyeberangan Jepang. Komputer kapal yang sering rewel dibuang, diganti komputer baru yang lebih canggih.

Kapal mulai embarkasi dengan 320 penumpang wisatawan. Hampir semua golongan manula. Bersama 190 ABK, kapal meninggalkan Vancouver menuju Sitka, pelabuhan terakhir di Alaska, dalam penyeberangan Pasifik yang diberi nama sandi Trans Pacific Cruise.



Kebakaran dini hari

Malam sebelumnya datangnya musibah, kami masih riang gembira. Ketiga bar kapal padat dengan pengunjung. Band di lounge mengalunkan melodi sedang. Para penumpang asyik melantai dan menikmati musik. Teman baik saya, Aeberli - chief cook atau koki kepala berkebangsaan Belanda, membawa istrinya dalam pelayaran ini. Kesempatan itu merupakan hadiah dari Holland America Line, atas pengabdiannya bekerja 28 tahun dalam perusahaan tersebut.

Malam itu, Ny. Aeberli ikut bertugas sebagai penerima tamu pada showbuffet atau pameran makanan di Lido. Pameran demikian selalu diadakan satu kali dalam pelayaran. Hidangan lezat ditata rapi. Semua tamu dipersilahkan makan dan mengambil sesuka hati. Pendek kata, kalau soal makanan untuk penumpang, kapal pesiar mewah boleh disamakan dengan istana raja.

Beberapa jam kemudian pada tanggal 4 Oktober 1980 dini hari, 300 km setelah kapal meninggalkan Sitka, selagi para penumpang dan ABK enak-enak tidur, kami dikejutkan bunyi tanda bahaya dari pengeras suara. Suaranya mengaung lewat lorong-lorong dan tempat-tempat umum. Waktu itu pukul satu dinihari. Tak berapa lama, tanda bahaya itu meraung-raung lagi, disusul suara pengumuman dari nakhoda yang terdengar lewat pengeras suara di setiap kabin. "This is your Captain speaking. We have a small fire in the engine room. it is under control, but for your own safety, please report to the promenade deck."(Ini Kapten Anda berbicara. Ada kebakaran kecil di kamar mesin, tetapi sudah dapat dikuasai. Demi keselamatan Anda, harap berkumpul di promenade deck.)

Perintah nakhoda itu membuat semua orang panik. Setiap orang bergegas ke luar dari kamar menuju ke promenade deck, yaitu lounge atau bangsal besar yang biasa dipakai untuk acara-acara hiburan. Para penumpang berdesakan di lorong-lorong. Ada yang hanya memakai gaun tidur, piyama, dan ada yang hanya bersarung selimut. Banyak yang tanpa alas kaki. Melihat beberapa orang menenteng rompi pelampung, sejumlah lain lari kembali ke kamar untuk mengambil pelampungnya. Disetiap kamar memang disediakan rompi pelampung. Beberapa orang tua terengah-engah karena harus naik-turun tangga. Memang ada lift, tetapi dalam keadaan bahaya itu tidak diperbolehkan naik lift. Bisa macet dan terjebak di dalam.

Toko kapal didobrak 

Ny. Aeberli,yang semalam masih bertugas di Lido, tampak gemetaran. Saya mendekatinya dan meminta kepadanya untuk tabah menghadapi bahaya seperti ini. Para ABK yang juga ikut berkumpul di lounge, berlarian ke sana-kemari, mencarikan baju-baju hangat buat para penumpang. Melihat beberapa orang tidak berpakaian, seorang perwira kapal memerintahkan agar gift-shop kapal di dobrak, dan semua yang berujud pakaian didalam toko dibagi-bagikan. Ada yang bisa pas, ada yang mendapat pakaian anak-anak. Semua bar juga diperintahkan untuk dibuka, dan setiap orang boleh minum gratis untuk menghangatkan tubuh. Para ABK juga boleh ikut minum.

Petugas pemadam kebakaran dengan wajah bertopeng, dan perwira-perwira sibuk naik-turun, membawa tabung-tabung penyemprot api. Semua orang yang menyaksikan kesibukan itu bertambah cemas dan takut. Kemudian ada pengumuman lagi dari nakhoda, memperingatkan agar tidak perlu panik, karena api akan dapat dikuasai. Wajah-wajah kita menampakkan perasaan lega, meskipun tetap was-was dalam hati. Para pemain orkes dari Filipina di perintahkan memainkan musik untuk hiburan.

Sebagian besar ABK tetap menyadari tugas masing-masing dalam keadaan bahaya seperti itu. Mereka keluar di udara terbuka yang dingin, dan menyiapkan sekoci-sekoci yang bergelantungan di lambung kapal. Sampai pukul 02.00 belum ada pengumuman lagi dari nakhoda. Musik di lounge masih memainkan lagu Oklahoma dan South Pacific. Namun, tak seorang pun dari ratusan tamu yang berjubel itu tampak menggubris lagu tersebut. Semua cemas dan berdebar-debar menantikan berita lebih lanjut dari pengeras suara.

Mendadak tampak lidah api menjilat ke luar dari lubang di bawah jendela luar. Beberapa orang yang melihatnya berteriak, "Fire, fire ..." Keadaan makin kalut. Semua orang lari pontang-panting ke atas pintu keluar. Para pemain musik berlarian dan meninggalkan peralatan mereka begitu saja. Penjaga bar juga lari menyelamatkan diri. Para perwira kapal berteriak-teriak agar setiap orang menuju ke nomor sekoci masing-masing. Petugas dan ABK sibuk melayani pelbagai pertanyaan dari para penumpang tentang nomor sekoci dan tata cara peragaan boatdrill yang telah diajarkan.

Istri nakhoda aktif membantu

Udara sangat dingin. Perasaan takut dan cemas bercampur-aduk. Hati berdebaran, ingin lekas terhindar dari malapetaka ini. Para petugas kebakaran dibawah sudah muncul pula ke atas. Mereka kewalahan dikejar asap yang gelap dan tebal. Tampaknya tak ada harapan untuk bisa mengatasi lebih lanjut. "Pintu bahaya dan lorong-lorong sudah ditutup semua," tutur mereka.

Sebanyak delapan buah sekoci dan tenderboat sudah diturunkan semua sampai batas promenade deck luar. Semua orang berlarian ke tempat itu, dan berebut naik. Sebuah sekoci mestinya hanya untuk 60 orang, tetapi ada yang sampai dijejali 80 orang. Sampai agak lama, masih belum juga ada perintah untuk menurunkan sekoci ke air. Raut wajah setiap orang pucat dan tegang. Di antaranya ada yang menangis. Saya berdoa, dan pasrah. Mungkin ini akhir hidup saya, pikir saya.

Nakhoda kapal, Captain Wabeke, bertindak sangat hati-hati. Perintah dan instruksinya sangat tenang. Dia betul-betul menjaga untuk tidak sampai menimbulkan kepanikan semua orang. Dalam pelayaran ini dia juga disertai istrinya, Ebrina. Dia bahkan ikut aktif membantu suaminya di tengah kesibukan maut ini.
 
Sebelum sekoci-sekoci turun ke bawah, para perwira petugas berteriak-teriak memperingatkan para ABK tidak boleh nimbrung dalam sekoci penumpang. Mereka harus turun belakangan pakai literaft, yaitu perahu karet yang bisa menggelembung sendiri. Tak urung, banyak ABK yang sudah terlanjur masuk membaur dengan penumpang, dan rupanya segan untuk keluar lagi.

Pukul 04.00, semua sekoci mulai diturunkan. Para perwira memberi aba-aba keras kepada semua orang agar waspada dan berpegang erat-erat dalam sekoci, karena ada kemungkinan terjadi benturan dengan dinding kapal sewaktu diturunkan. Dalam kegelapan itu, benturan sekoci ke permukaan air laut sangat mengagetkan, sehingga orang-orang yang berdiri jatuh tersungkur.

Dalam keremangan fajar itu, terlihat seperti ada raksasa tak jauh dari tempat itu. Ternyata kapal tanker Williamsburg yang berbobot  225.000 ton. Tanker itu memuat minyak mentah dari Valdez, dalam pelayaran ke Texas. Ia menerima berita SOS di tengah malam, lalu menuju posisi 57,38 derajat LU dan 140,25 derajat BB, tempat Prinsendam berada. Sebenarnya ia sudah lewat satu jam di Selatan, dan terpaksa balik lagi ke Utara untuk usaha memberi pertolongan.

Diciduk dengan keranjang

Sementara itu, pagi mulai terang. Beberapa helikopter meraung-raung dan menurunkan keranjang-keranjang berisi orang ke geladak tanker. Pagi itu dingin bukan main. Teman saya (ABK juga), Remy, saking gugupnya tercebur ke laut ketika mau pindah dari literaft ke sekoci saya. Untung ia berhasil kami tarik beramai-ramai, dan selamat. Rizal, juga seorang ABK tukang masak menggelepar dan kejang-kejang di dalam sekoci. Ia lalu kami gotong dan kami masukkan ke dalam keranjang ketika heli datang.

Saya bersama puluhan orang lain yang masih berada di dalam sekoci mendayung sekuat tenaga, menjauhi Prinsendam. Kami khawatir, kalau kapal itu tenggelam dalam waktu singkat maka sekoci kami bisa ikut tersedot ke dasar laut.

Akhirnya sekoci saya berhasil mendekati Williamsburg, dan merapat pada dinding kapal. Ombak sudah agak besar, sehingga sekoci membentur-bentur dinding kapal. Dua orang penumpang wisatawan berusaha meraih tangga tali berpalang kayu yang terjuntai dari kapal. Dua orang penumpang wisatawan berusaha meraih tangga tali berpalang kayu yang terjuntai dari kapal. Mereka berusaha memanjat, tetapi baru naik dua palang sudah menyerah. Para orang lanjut usia tidak mungkin memanjat jarak setinggi itu. Sebuah heli yang menyaksikan usaha itu segera terbang mendekat, dan menurunkan keranjang. Orang-orang yang masih bergelantungan di tangga tali segera meluncur turun, dan masuk ke dalam keranjang. Keranjang heli itu masih naik-turun sampai enam kali. Dalam waktu lima belas menit, semua penumpang sekoci saya tertolong naik ke kapal tanker.

Aneka cerita duka

Semua orang yang berhasil diselamatkan menggerombol di lorong-lorong tanker Williamsburg dengan perasaan lega. Masing-masing asyik menceritakan pengalaman dan kelucuan dalam saat-saat maut yang menegangkan itu.

Seorang wisatawan wanita tua menggeletak dalam sekoci dengan gaun basah kuyup. Semua orang menyangka dia sudah meninggal. Tahu-tahu tangannya merogoh-rogoh ke dalam saku, dan mengeluarkan sebotol kecil wiski. Minuman itu diteguknya sendiri tanpa mempedulikan orang-orang disekitarnya.

Di dalam sekoci saya terdapat Anne Correy dari Maryland, AS. Dia terpisah dari ibunya. Pasangan suami-istri Davidson dari Highland, AS, berpesiar dengan Prinsendam untuk merayakan ulang tahun kawin perak mereka. Selama sepuluh jam mereka mengalami siksaan mental, terapung-apung dalam sekoci di tengah laut, di hantam ombak dan hujan, diterpa angin dingin. Mereka sangat menyesal tidak pernah belajar mendayung, karena didalam sekoci mereka hanya dua orang yang sanggup mendayung. Penumpang lainnya kebanyakan orang-orang lanjut usia yang tak kuat memegang dayung.

Seorang penumpang tua bercerita dengan air mata bercucuran, "Tadi saya setengah mati untuk bisa masuk ke dalam sekoci dan berdiri terus. Kami diturunkan dari ketinggian 10 m diatas air, lalu tali dilepas sampai kami hampir terpelanting. Sekoci kami terombang-ambing seperti yo-yo. Dalam sekoci kami tidak ada pimpinan. Baru 25 menit kemudian, setelah di otak-atik, kami berhasil menghidupkan mesin sekoci." 

Setiap orang memang mendapat pengalaman pahit. Kerugian masing-masing tidak kecil. Barang-barang penting, perhiasan, uang, kartu kredit, obat-obatan tak sempat terbawa. Semua hilang dan musnah ke dasar laut.



Benar-benar mengherankan

Para korban Prinsendam kemudian diantar masuk ke kamar-kamar oleh ABK Williamsburg. Setiap kamar diisi 15-20 orang. Semua diberi selimut dan kopi panas. Lebih dari enam helikopter meraung-raung sekeliling perairan, mencari korban yang masih tercecer. Sekoci-sekoci dan literaft yang berpencaran, diamati dan diburu. Penumpangnya diselamatkan. Armada helikopter itu ternyata berasal dari pantai, milik penjaga pantai Alaska.



Siang hari, api di kapal Prinsendam makin membesar. Asap hitam membumbung ke angkasa. Namun, ia belum juga tenggelam ketika kami diberangkatkan ke Valdez.

Sekarang ini, kalau saya sedang melamun mengingat tenggelamnya Prinsendam, saya tak habis pikir. Rasanya seperti ada tangan gaib. Bayangkan bencana kebakaran kapal besar di tengah samudera luas. Sebanyak 320 penumpang lanjut usia, dan 190 ABK semua berhasil selamat, tak ada seorang pun yang meninggal, atau bahkan cacat. Padahal kejadian pada malam yang gelap, di tengah ombak besar dan hawa dingin seperti es itu tak dapat dikatakan musibah kecil.



Saya bersyukur bahwa saya masih hidup, meskipun segala barang milik pribadi hilang. Uang, pakaian, surat-surat, dan barang oleh-oleh dari Kanada untuk anak-istri semua ludes. Bahkan dokumen-dokumen kapal, paspor milik seluruh ABK dan para penumpang, uang ribuan dolar dalam lemari besi, perhiasan dan barang-barang berharga di dalam kotak pengaman, lenyap semua ke dasar laut.

Selama tiga hari, kapal yang sudah hangus, terombang-ambing sebatang kara, terus-menerus kemasukan air dan dihantam ombak itu, akhirnya tenggelam, 3.000 m ke dasar samudera. Sungguh sayang. Kapal mewah seharga 26 juta dolar (sekitar Rp. 40 Milyar) itu hanya berumur tujuh tahun.


Source: Majalah Intisari, No.317 Desember 1989

Selasa, 02 Agustus 2011

Pelindung Anne Frank Membuka Tabir (BAGIAN 2)

Sorenya, Miep muncul lagi untuk menghibur dan membawakan pesanan belanja mereka. karena Miep tidak mempunyai kartu jatah makanan yang cukup, maka ia harus hati-hati berbelanja di toko-toko makanan yang bisa menjual makanan tanpa kartu jatah. Seorang tukang sayur yang ramah selalu memberikan apa-apa yang dimintanya. Tukang dagingnya adalah kenalan Miep. Tukang susu langganan pun tak pernah bertanya apa-apa pada Miep.


Pada suatu hari tukang sayur tak kelihatan lagi. Suami Miep membisikkan istrinya bahwa si tukang sayur itu ditangkap karena ia menyembunyikan orang Yahudi. Miep jadi lemas. Siapa tahu rahasianya bocor jika si tukang sayur buka bicara akibat disiksa. Dengan berpura-pura tenang, Miep cepat-cepat meninggalkan toko sayur itu dan mencari tempat lain.


4 Agustus 1944 yang menentukan

Anne Frank
Bagaimana ia bisa hidup dengan perasaan takut macam itu? Untuk mempertahankan hidup, ia membiasakan diri menceritakan berita-berita yang baik-baik saja, lebih-lebih kepada teman-teman yang disembunyikannya. Perasaan takutnya juga tak pernah dibicarakannya kepada suaminya. "Kalau berbicara soal takut, orang jadi tak bisa bekerja," kata Miep. Apakah Miep pernah mimpi buruk? "Saya tidak punya waktu untuk itu," katanya lagi.


Satu-satunya "obat" patah semangat adalah berita dari BBC tentang majunya pasukan sekutu. Di peta, Otto Frank sampai-sampai menandai gerakan Sekutu dengan jarum pentul. Jarum itu makin lama makin dekat ke Belanda.


Tanggal 4 agustus 1944, Nazi datang ke Jl. Prinsengracht. Seperti biasa, pada pagi harinya, Miep mengambil kertas pesanan belanja. Di kantor ia tengah duduk di depan meja tulisnya ketika pada pukul 11.00 tiba-tiba muncul seorang berseragam dengan revolver di tangan. "Diam di tempat dan tetap tenang! perintahnya. Ia lalu pergi ke ruang belakang. Koophuis berbisik pada Miep, "Kini segalanya sudah gawat, Miep."


Memang peristiwa yang buruk pun terjadilah. Di belakang terdengar suara langkah teman-teman Yahudi Miep yang ditangkap. Miep tidak. Suatu peristiwa kebetulan berhasil menyelamatkan dirinya dari penangkapan. Di antara para tentara Nazi ada yang tidak sepenuhnya Nazi. Orang itu berbicara dengan aksen Austria. Ketika orang itu mengancam Miep dipinggir meja tulis, Miep berdiri dan berbicara setenang mungkin. "Anda orang Wina. Saya juga dari Wina." Tadinya kalimat itu seperti tidak ada pengaruhnya. Namun, dengan cermat si orang Austria itu memeriksa kartu identitas Miep dan memerintahkannya untuk tinggal.


"Terima kasih ya Tuhan atas rahmatMu," kata Miep.


Lututnya gemetar

Orang itu seperti tahu perasaan Miep yang hendak tetap tinggal di kantor dan menyelamatkan apa-apa yang masih bisa diselamatkan. Pria itu harus menolongnya. Begitu mereka pergi, Miep termenung dikantornya. Bisakah orang Jerman melepaskan teman-temannya jika dibayar uang tebusan yang tinggi? Miep ingin menawarkan hal itu kepada petugas berseragam yang dari Austria tersebut. Dengan hati berdebar-debar, ia pergi ke kantor pusat Nazi. Padahal ia tahu bahwa beberapa orang yang masuk gedung itu seringkali tidak muncul lagi.


Waktu pertama kali berkunjung, si orang Austria itu tidak sendirian di ruang kerjanya. Itulah sebabnya ia mencoba bertemu keesokan harinya. Ia berkata bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa. Permintaan Miep harus dibicarakan dulu dengan atasannya. Dengan lutut gemetar, pergilah Miep ke ruang yang ditunjuk dan mengetuk pintunya. Tak ada yang membukakan pintu. Ketika ia akhirnya bisa masuk, ia melihat para pimpinan Nazi sedang mengelilingi radio untuk mendengarkan siaran BBC. Waktu itu perbuatan Miep bisa dijatuhi hukuman mati.


Saat itu Miep berusaha untuk kuat menghadapi situasi. "Siapa pimpinan disini?" tanyanya. Seseorang berdiri, menghampirinya, memegang pundaknya. "Babi!" gerutunya sambil mendorong Miep dengan kasar keluar ruangan dan menutup pintu. Misi Miep gagal. Meskipun demikian harapannya untuk bertemu kembali dengan teman-temannya tidak pupus.


Koophuis kembali selama perang, sedangkan Kraler kembali setelah Jerman menyerah. Otto Frank kembali ke Amsterdam di bulan Juni 1945 dan hidup bersama-sama Miep sekeluarga. "Kami mempunyai kenangan yang sama. Itu yang penting," kata Miep. Namun demikian kenangan itu hampir tak pernah dibicarakan. "Masing-masing mengenangnya sendiri-sendiri," kata Miep. Membicarakan kenangan itu sama artinya dengan menguakkan luka lama. Baru ketika putra Miep, Paul, yang lahir pada tahun 1950 sudah cukup besar untuk memperhatikan dan bertanya, Miep mulai menjelaskan segalanya.


Cerita Anne Frank tentang kehidupannya selama bersembunyi tidak lekas-lekas dibaca Miep. Lukisan gadis itu di kertas dan buku-buku dalam kamar tidur keluarga Frank disimpannya saja dan belakangan diberikannya kepada Otto Frank.


Otto Frank selalu mendesaknya untuk membaca buku itu dan selama itu ia masih punya alasan untuk menghindari membacanya. Cetakan kedua buku harian Anne sudah hampir terbit ketika akhirnya Miep mau membuka buku harian Anne. "Saya membaca seluruh isinya tanpa beristirahat. Dari kata pertama, saya seolah-olah mendengar suara Anne yang seakan-akan kembali dari kejauhan dan berbicara langsung dengan saya .... Reaksi spontan saya adalah rasa syukur bahwa saya tidak membacanya begitu Anne dibawa Nazi walaupun buku itu terletak disamping saya, dalam laci meja tulis. Seandainya saya membacanya, saya mungkin akan membakarnya. Soalnya tulisan Anne itu amat mengerikan," Kata Miep.

Source : Majalah Intisari, no.289 - Agustus 1987

Pelindung Anne Frank Membuka Tabir (BAGIAN 1)

Mungkin kebanyakan di antara kita sudah mendengar tentang Anne Frank, anak Yahudi yang menulis buku harian dalam persembunyian di Amsterdam. Buku harian itu begitu mengharukan sampai dibuat film dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Namun, cerita kali ini bukan tentang buku itu, tetapi tentang wanita yang menyembunyikannya. Miep Gies menulis menulis buku yang diberi judul: Anne Frank Remembered.


"TIDAK. saya bukan pahlawan," kata Miep Gies. Ia mengatakan hal itu dengan tenang dan pasti tanpa kesan berpura-pura. Miep Gies dan suaminya bersama-sama dengan beberapa orang Belanda yang lain telah menyembunyikan suami-istri Frank beserta putri-putri mereka, Anne dan Margot, keluarga Vaan Daan dengan putranya Peter dan juga dokter gigi Albert Dussel dibelakang rumah di Jl. Prinsengracht 263, Amsterdam, selama dua tahun dalam Perang Dunia II. Yang disembunyikan itu adalah keluarga-keluarga Yahudi yang tengah diburu Nazi.


"Kelihatannya Miep tak pernah sekalipun melupakan orang yang disembunyikannya," tulis Anne di buku hariannya dulu. Meskipun demikian Miep akhirnya bisa tak bisa menyelamatkan mereka. Usaha menyembunyikan itu terbongkar. Keluarga Frank, keluarga Vaan Daan dan Albert Dussel diangkut ke kamp konsentrasi pada bulan Agustus 1944. Korban satu-satunya yang selamat hanyalah Otto Frank yang kemudian mengunjungi Miep lagi di Amsterdam setelah perang. Anne ternyata meninggal di bulan Maret 1945 di Bergen-Belsen.

Tutup pundak Anne



Miep Gies
"Tak ada hari yang lewat tanpa mengingat gadis itu," kata Miep sedih. Di laci ruang tamunya, Miep menyimpan barang-barang kenangan, termasuk buku harian Anne, yang bisa diselamatkan setelah sahabat-sahabat Yahudinya itu diangkut Nazi. Barang-barang itu antara lain: kotak bedak Nyonya Frank, tutup pundak waktu menyisir rambut milik Anne, sebuah catatan belanja yang ditulis Tuan Vaan Daan. Juga ada sebuah menu galadinner yang diperuntukkan untuk Miep dan suaminya yang diketik oleh Anne serta sebuah bintang Yahudi.


"Kami tidak bisa melupakannya karena kami toh hidup dengan manusia. Orang bilang, seandainya kami begini atau begitu mungkin ...." kata Miep. Kini kenangannya terhadap keluarga Frank ditulisnya dalam sebuah buku berjudul Anne Frank Remembered.



Miep Gies berkenalan dengan keluarga itu pada tahun 1933. Waktu itu Miep yang berusia 24 tahun melamar pekerjaan sebagai sekretaris pada Otto Frank. Frank memimpin Perusahaan Travies & Co., cabang dari perusahaan dagang di Koln yang bergerak dalam bidang pengawetan makanan.


Paspor ditandai J


Miep dan pimpinannya merasa cocok. Hal itu lebih didukung lagi karena keduanya bisa berkomunikasi dalam bahasa ibu mereka, yakni bahasa Jerman. Soalnya Miep Gies yang tahun 1909 lahir di Wina sebagai Hermine Santrouschitz, baru tinggal di Belanda setelah berusia sebelas tahun. Otto Frank sendiri datang ke Belanda bersama-sama istrinya Edith dan anak-anaknya, Anne dan Margot, pada tahun 1933. Mereka pindah dari Jerman karena menghindari kejaran Nazi. Miep dan calon suaminya, Henk, segera menjadi orang kepercayaan keluarga Frank.


Tanggal 10 Mei 1940 tidak ada lagi ketentraman buat masyarakat Yahudi di Belanda. Soalnya, Nazi menduduki negeri itu dan mengeluarkan undang-undang anti-Yahudi. Orang Yahudi tidak boleh lagi muncul di taman, perpustakaan, cafe, bioskop dan restoran. Paspor mereka ditandai huruf J, rekening bank mereka ditutup. Terdengar desas-desus tentang pengiriman orang-orang Yahudi ke kamp kerja paksa. Namun, apa persisnya yang terjadi di kamp itu tak ada seorang pun yang tahu pada waktu itu. Mulai awal tahun 1942, orang Yahudi harus mengenakan bintang kuning.


Otto Frank sudah sejak bulan Desember 1941 melepaskan jabatan sebagai direktur Travies & Co. Di awal tahun 1942 ia memutuskan untuk menyembunyikan diri di sebuah ruangan tak terpakai di rumah Jl. Prinsengracht 263 bersama-sama keluarganya. Otto Frank mengemukakan rencananya kepada Miep pada suatu pagi. Miep menulis dalam bukunya percakapan waktu itu. Ia terdiam sejenak. Lalu Otto Frank berkata, "Anda terpaksa bekerja dengan saya seperti biasa walaupun dalam jarak yang tidak langsung. Itulah sebabnya saya hendak bertanya, apakah Anda keberatan?" Miep menjawab "Sama sekali tidak!" Otto Frank menarik napas dalam-dalam dan meneruskan kata-katanya, 


"Apakah anda siap, Miep, memikul tanggung jawab ini dan mengurus kami selama kami bersembunyi?" Miep menyanggupi. Mereka bertukar pandangan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. "Miep, setiap orang yang menolong orang Yahudi akan diganjar hukuman berat, penjara misalnya," kata Otto Frank. Miep lekas-lekas memotong pembicaraannya, "Saya tahu itu dan itu bisa berlaku bagi saya."


Tukang sayurnya di tangkap


Di awal bulan Juli segalanya berjalan lebih jauh. Di kantor, sebagian besar orang sudah maklum. Elli, tukang ketik steno, Koophuis, direktur yang baru dari Travies & Co., serta pimpinan perusahaan, Kraler. Setiap orang tampaknya punya tugas sendiri-sendiri. Setiap pagi, waktu istirahat sarapan, Miep menyelinap ke "rumah belakang" untuk mengambil pesanan Belanja. Biasanya ia sudah dinantikan oleh kedelapan orang "buruan" itu. Mereka berjajar di muka meja makan dengan perasaan ingin tahu tentang kejadian-kejadian "diluar".


(Bersambung)

Kamis, 07 Juli 2011

Buku Harian Anak Korban Bosnia (BAGIAN 1)

Dipenghujung tahun 1991, Zlata Filipovic, seorang gadis kecil Bosnia keturunan campuran dua etnis berumur 10 tahun, mulai menulis buku harian tentang kisah kehidupannya di Sarajevo. Segera saja buku harian itu menjadi semacam rangkaian kisah horor. Selama 2 tahun yang menyusul kemudian, ketika Sarajevo berada dalam serangan gencar Serbia, Zlata telah tumbuh dari seorang bocah polos, menjadi seorang gadis remaja bijaksana yang matang sebelum waktunya. Dia membandingkan dirinya dengan Anne Frank yaitu seorang gadis kecil Yahudi yang dibunuh Nazi.

Buku Harian Zlata
MUSIM panas 1993, sebuah kelompok perdamaian di Sarajevo menerbitkan buku harian Zlata itu. Seorang penerbit Perancis mengeluarkan edisi Eropanya dan mempersiapkan kisah tentang evakuasi keluarga Zlata itu dari Sarajevo.

Sekarang Zlata berumur 13 tahun dan tinggal di Paris, bersama kedua orang tuanya.

Seperti di bawah inilah petikan-petikan dari buku hariannya itu :

KAMIS, 5/3/1992, Oh Tuhan! Suasana semakin memanas di Sarajevo. Pada hari minggu, sekelompok kecil orang-orang bersenjata (seperti yang mereka katakan di TV) telah membunuh seorang tamu Serbia yang sedang menghadiri pesta perkawinan dan juga mencederai Bapak Pendeta.

Pada tanggal 2 Maret (hari Senin) seluruh kota penuh dengan barikade. Tak kurang dari 1000 buah barikade. Kami sudah tak mempunyai persediaan lagi. Pada pukul 06.00 para penduduk mulai bosan dan keluar ke jalan-jalan. Arak-arakan penduduk itu dimulai katedral dan menyusuri seluruh jalan-jalan di kota.

Beberapa orang mengalami cidera di barak-barak militer Marsekal Tito. Penduduk bernyanyi dan berseru-seru. "Bosnia" "Sarajevo", "Sarajevo" Kami akan hidup bersama." dan "Ayo Keluar."

SENIN, 30/3/1992, hai, buku harian! Tahukah kamu apa yang sedang kupikirkan?  Karena Anne Frank menamakan buku hariannya KITTY, sebaiknya aku memberi nama juga kepadamu. Bagaimana kalau kuberi nama ASFALTINA, PIDZAMETA, ZEFIKA, HIKMETA, SEVALA, MIMMY atau nama yang lainnya?

Aku terus berpikir, berpikir......

Nah, aku berhasil memutuskannya. Akan kuberi nama kamu MIMMY.

Nah, biarlah akan kumulai sekarang.

Zlata Sekarang (2011)
Mimmy Sayang, saat ini pertengahan semester sudah hampir tiba. Kami semua belajar dengan keras untuk menghadapi tes.

Menurut rencana, besok pagi kami akan pergi menonton konser musik klasik di Gedung Skenderija. Namun guru kami menganjurkan, sebaiknya kita kita tidak pergi saja, sebab di gedung konser itu akan hadir 10.000 orang, dan seseorang mungkin bisa saja akan menawan kami untuk dijadikan sandera, atau seseorang memasang bom waktu di gedung tersebut. Ibuku juga melarangku pergi. Maka aku juga tak pergi.

MINGGU 5/4/1992 Mimmy Sayang, aku mencoba memusatkan pikiranku supaya bisa mengerjakan pekerjaan rumahitu (membaca), namun ternyata aku tak bisa. Sesuatu sedang berlangsung di kota ini. Kami bisa mendengar suara tembakan dari arah bukit-bukit.

Barisan-barisan penduduk menyebar dari Dobrinja. Mereka mencoba menghentikan sesuatu, namun mereka sendiri tak tahu apa yang harus mereka hentikan itu. Kamu hanya bisa merasakan ada "sesuatu" yang akan datang, sesuatu yang sangat buruk.

Di layar TV aku bisa melihat penduduk bergerombol didepan gedung parlemen. Radio tetap menyiarkan nyanyian yang sama. "Sarajevo, Kekasihku."

Suara nyanyian itu sangat merdu, namun perutku tetap merasa mual.

SELASA 28/4/1992, Mimmy Sayang, menangis tersedu-sedu! Martina....  terisak... dan Matea, terisak-isak .... telah berangkat pergi kemarin! Mereka pergi dengan naik bus menuju Krsko (didaerah Slovenia). Oga juga akan pergi, begitu pula dengan Dejan Mirna akan pergi besok pagi atau lusa akan disusul Marijana.

Aku menangis tersedu-sedu!

Semua temanku telah pergi. Aku ditinggalkan dengan tanpa teman lagi.

SABTU, 2/5/1992.

Mimmy sayang, hari ini benar-benar merupakan hari yang paling buruk yang pernah terjadi di Sarajevo. Tembak menembak itu telah dimulai sejak tengah hari. Aku dan ibuku segera pindah ke ruang keluarga. Saat itu ayah sedang berada di kantornya dalam salah satu ruangan di rumah kami itu. Kami menghubunginya lewat interkom, memintanya untuk segera turun bergabung bersama kami. Kami juga membawa serta Cicko (burung kenari piaraan kami).

Tembak menembak itu semakin dahsyat, dan kami tak bisa meloncati pagar halaman untuk bergabung dengan keluarga Bobars. Maka kami lari memasuki gudang bawah tanah kami.

Gudang itu sangat buruk, kotor, gelap, dan bau. Ibu yang sangat takut pada tikus, berarti menghadapi dua jenis ketakutan sekaligus. Kami bertiga terpaksa harus masih berlindung di gudang itu sampai hari berikut. Kami mendengar ledakan-ledakan peluru mortir, suara tembak menembak gencar dan suara menggelegar diatas kepala kami. Bahkan kami juga mendengar suara pesawat terbang.

Ada saat-saat dimana aku menyadari gudang bawah tanah yang mengerikan ini merupakan satu-satunya tempat yang bisa menyelamatkan nyawa kami. Tiba-tiba kurasakan suasana terasa hangat dan menyenangkan kalau memikirkan hal itu. Hal itulah satu-satunya cara supaya kami bisa bertahan terhadap tembak-menembak yang dahsyat dan mengerikan itu.

Kami mendengar juga kaca-kaca berpecahan di jalan. Sungguh sangat menakutkan. Aku menutup kedua telingaku dengan tangan supaya tak mendengar suara-suara mengerikan itu.

KAMIS, 7/5/1992 Mimmy Sayang, aku hampir merasa yakin, perang akan segera berakhir. Tapi hari ini .... hari ini sebuah peluru mortir meledak ditaman yang berada tepat didepan rumahku, taman dimana aku biasa bermain-main dengan teman wanitaku. Beberapa orang penduduk mengalami luka-luka. Dan Nina bahkan meninggal! Sebuah pecahan peluru mortir mengenai kepalanya, hingga bersarang di otaknya yang menyebabkannya meninggal.

Dia seorang gadis kecil yang sangat menyenangkan. Kami masuk. Taman Kanak-kanak bersama dan kami sering makan bermain berdua di taman itu.

Jadi mungkinkah aku benar-benar tak akan bisa melihat Nina lagi? Nina seorang gadis kecil berusia 11 tahun yang tak berdosa, yang menjadi korban perang yang bodoh ini.

Aku benar-benar merasa sedih. Aku menangis sambil terus bertanya tak mengerti, mengapa hal itu terjadi ? Dia 'kan tidak melakukan kesalahan apa pun. Suatu perang yang menjijikkan menghancurkan kehidupan seorang anak kecil tak berdosa. Nina, aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang gadis kecil yang sangat menyenangkan.

RABU, 27/5/1992. Mimmy Sayang, pembantaian!  Pembunuhan massal! Horor! Kejahatan! Darah! Jeritan! Air Mata! Keputus asaan!

Hal-hal seperti itulah pemandangan yang terpampang di Jalan Vaso miskin hari ini. Dua peluru mortir meledak di jalan itu dan sebuah lagi di pasar. Saat itu ibuku sedang berada di dekat tempat itu. Dia segera berlari ke rumah kakek dan nenek. Aku dan ayah hanya tinggal berdua saja di rumah, sebab belum juga pulang.

Aku bisa menyaksikan sebagian dari peristiwa di layar TV, namun aku masih tetap belum bisa mempercayai apa yang kusaksikan itu. Semua itu sungguh sulit bisa di percaya. Tenggorokan seakan tersumbat, sedang perutku terasa mual. Mengerikan.

Mereka mengangkat korban-korban yang luka ke rumah sakit. Ini benar-benar suatu rumah gila. Kamu terus bolak-balik ke jendela, berharap akan melihat ibu, namun dia tetap belum kembali pulang. Aku dan Ayah sampai menjambaki rambut kami sendiri.

Aku melihat keluar jendela sekali lagi dan ... Aku melihat Ibu sedang berlari menyeberangi jembatan. Begitu dia masuk ke dalam rumah tubuhnya mulai gemetar sambil menangis. Lewat deraian air matanya dia menceritakan melihat mayat-mayat yang telah tercerai berai bagian-bagian tubuhnya.

Hari Yang Mengerikan. Tak Akan Terlupakan

Mengerikan! Sangat Mengerikan.

JUM'AT, 5/6/1992.  Mimmy Sayang, aliran listrik telah mati selama beberapa waktu dan kami sangat prihatin dengan persediaan makanan yang kami simpan didalam lemari-es. Memang tak terlalu banyak. Tapi sangat sayang kalau makanan itu menjadi busuk nanti. Disana ada daging, sayuran dan juga buah-buahan.

Bagaimana caranya kami bisa menyelamatkan?

Ayah menemukan sebuah tungku di loteng. Modelnya sudah sangat kuno sehingga kelihatan lucu. Didalam gudang kami juga menemukan kayu bakar. Ayah meletakkan tungku itu dihalaman rumah dan memasak sisa makanan kami tadi dengan kayu bakar. Kami memasak semuanya bersama-sama keluarga Bobar dan berpesta bersama-sama keluarga Bobar dan berpesta bersama-sama. Semua jenis makanan; daging ayam, daging sapi, kentang, ceri. Kami semua makan hingga kami merasa sangat kekenyangan.

KAMIS, 18/6/1992, Mimmy Sayang, aku masih terus bertanya, mengapa? Untuk apa? Siapa yang harus disalahkan dalam perang ini? Aku terus bertanya, namun tetap tak ada jawaban.  Apa yang kuketahui, kami hidup ditengah-tengah kesengsaraan. Ya, aku tahu sekarang, politik bisa disalahkan sebagai penyebab semua ini.

Terus terang saja aku tak tertarik pada politik, namun untuk mendapatkan jawaban, aku harus mengetahui sesuatu tentang politik itu. Mereka hanya menerangkan sedikit masalah. Mungkin pada suatu hari nanti aku mengetahuinya lebih banyak lagi.

Ayah dan Ibu juga tak pernah mendiskusikan masalah politik denganku. Mungkin mereka menganggapku masih terlalu muda atau mungkin juga mereka memang tak tahu terlalu banyak.

Mereka hanya selalu mengatakan kepadaku, semua ini pasti akan berlalu nanti. Ini semua harus berlalu.

SENIN, 29/6/1992, Mimmy Sayang, kebosanan! Tembak menembak! Ledakan mortir! Penduduk Terbunuh! Keputusasaan! Kelaparan! Kesengsaraan! Ketakutan!

Seperti itu kehidupanku! Kehidupan seorang murid wanita polos berumur 11 tahun! Seorang murid tanpa sekolahan, tanpa kegembiraan dan keceriaan suasana sekolahan. Anak kecil yang tak sempat bermain, tanpa buah-buahan, tanpa coklat dan permen, dengan hanya mempunyai sedikit persediaan susu bubuk.  Singkatnya anak yang tak bisa menikmati masa anak-anak.

KAMIS, 2/7/1992, Mimmy Sayang, kami agak memanjakan diri hari ini. Kami memanen buah ceri dari pohon yang tumbuh dihalaman rumah kami dan memakannya sampai habis. Kami menyaksikannya, ketika pohon itu berbunga dan buah-buahnya yang hijau kecil semakin lama berubah menjadi memerah matang.  Sekarang kami benar-benar bisa menikmati lezatnya buah itu. Terima kasih pohon ceriku dari pohon ceriku!

SELASA, 11/8/1992, Mimmy Sayang, serangan mortir, pembunuhan, kegelapan dan kelaparan masih terus berlangsung di Sarajevo, Menyedihkan!

Aku tetap tak keluar-keluar dari rumah. Aku hanya bermain dengan Bojana dan Kucing kecilku. Cici. Kucing itu tumbuh di tengah-tengah kesengsaraan dan kengerian suasana perang kota ini.  Dalam situasi seperti itu aku akhirnya bisa menyayangi seekor binatang.

Dia memang tak bisa berbicara, namun dia berbicara lewat sinar matanya, lewat meongnya, dan aku bisa memahami maksudnya.  Aku sangat menyayangimu, Cicil.

RABU, 21/10/1992, Mimmy Sayang,  seperti kau ketahui, aku mempercayai dirimu setiap hari.

Nah, tahukah kamu tentang sekolah musim panas di gedung pusat rekreasi Kami? Kami selalu mengalami saat-saat yang indah bersama-sama teman-teman sekelasku di sana, dengan mementaskan drama, membaca sajak, dan yang paling menyenangkan, lomba menulis.

Semua itu berjalan dengan begitu menggembirakan sampai ledakan mortir itu menewaskan sahabat kami, Eldin.

Maja masih tetap bekerja bersama guru kami Irena Vidovic. Hari kemarin, Maja bertanya padaku, "Apakah kamu menyimpan buku harian. Fipa?"

Aku menjawab, "Ya."

Maja meneruskan, "Apakah itu penuh berisi catatan rahasia pribadimu ataukah menceritakan tentang perang?"

Aku menjawab, "Sekarang ini tentang peperangan."

Selanjutnya dia berkata," Fipa, kamu sungguh hebat!"

Dia lalu mengatakan, karena mereka ingin menerbitkan sebuah buku harian anak-anak, dan mungkin buku harianku itulah yang akan terpilih nanti, itu berarti ... Kamu, Mimmy!

Oleh karena itu aku membuat turunan sebagian darimu di buku notes lain, baru kemudian kuserahkan kamu ke Dewan Kota untuk dilihat dan dinilai.

Baru saja aku mendengarkan kabar kamu benar-benar diterbitkan!  kamu dibawa keluar untuk dimuat di Mingguan Unicef.

KAMIS, 19/11/1992, Mimmy Sayang, aku tetap ingin menjelaskan tentang politik yang bodoh ini kepada diriku sendiri, sebab menurut pendapatku, politik itu pangkal penyebab timbulnya perang ini, yang membuat kenyataan kehidupan kami sehari-hari.

Peperangan ini merampas hari-hari ceria kami dan menggantikannya dengan kejadian-kejadian mengerikan, dan sekarang horor itu selalu menampakkan dirinya, menggantikan, hari-hari yang ceria.

Menurut penglihatanku seakan-akan politik ini berarti Serbia, Krosia, dan Muslim. Namun mereka semua penduduk negeri ini. Mereka sama-sama orang biasa, tak tampak adanya perbedaan di antara mereka. Mereka semua sama-sama mempunyai tangan, kaki dan kepala. Mereka berbicara dan berjalan, namun sekarang ada "sesuatu" yang ingin membuat mereka berbeda.

Rabu, 06 Juli 2011

Di Serang Beruang Kutub

MATAHARI Antartika yang pucat sedang tepat berada di atas kepala, ketika George Visser dan Piet Oosterveld bangun dari tidurnya di pondok Quonset, di stasiun penelitian Kapp Lee. Hanya mereka berdua yang berada di Edgeoya, sebuah pulau seluas 1930 mil persegi di Kepulauan Spitsbergen, atau tepatnya antara Norwegia dengan Kutub Utara. Lebih dari sepertiga kawasan itu, setiap tahunnya selalu diselimuti es.

SAMBIL membuat kopi. George Visser pada hari Minggu pagi, 6 september 1987 itu, masih dapat melihat bayang-bayang Oosterveld, teman kentalnya yang ahli biologi itu, untuk menghabiskan waktu selama 6 minggu di Edgeoya, guna mempelajari kebiasaan hidup rusa kutub.

Diusianya yang 48 tahun, Piet terbilang pria yang kekar, keras, penuh rasa percaya diri dan suka menyendiri. Satu gambaran pribadi yang sempurna dan cocok untuk hidup di Kutub.  Stasiun Kapp Lee dibangun pertama kali pada 1968, untuk keperluan penyelidikan populasi beruang kutub yang hidup di pulau itu.

Disisi lain, George adalah pria yang ekstrovert serta gabungan dari pribadi yang suka bercanda dan seorang yang taat beribadah.  Sebenarnya hari ulang tahun George yang ke 50 kurang beberapa hari lagi, saat dia diajak Piet untuk pergi ke Edgeoya. Dia tadinya bermaksud akan merayakannya di rumah di Terahelling bersama Annegriet dan dua anak putrinya.

Saat menerima tawaran Piet, George sempat melontarkan tanya, "Bagaimana tentang beuang-beruang kutub ? Berapa banyak mereka dan apakah berbahaya?" tanya George pada Piet, sebelum keduanya meninggalkan Belanda.

"Disana ada kira-kira 3.000 ekor beruang. Pada dasarnya mereka berbahaya. Cakar, gigi, beratnya yang mencapai 700 kilogram dan kecepatan larinya yang mencapai 50 kilometer per jam, menjadikan beruan kutub termasuk salah satu hewan paling berbahaya didunia," tambah Piet, tenang.

Akhirnya dengan kapal peneliti Belanda, M.S. Plancius, keduanya meninggalkan Belanda menuju Tromso di Norwegic untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Edgeoya.

SEBELUM berangkat, Piet Oosterveld menolak membawa senjata api. Dia malahan membuat beberapa obor untuk menghalau beruang kutub, seandainya mereka datang menganggu.

"Bakar ujungnya dan kibas-kibaskan dihadapan wajahnya, dan kamu akan melihat mereka lari terbirit-birit," jelas Piet, sambil tertawa.  Namun George Vesser merasa aman bila membawa senjata api.

Pada suatu pagi, George dan Piet berangkat untuk menghitung jumlah rusa kutub dan mengumpulkan jenis-jenis tanaman tundra. Akhirnya mereka melihat sekawanan beruang, termasuk seekor beruang betina dan dua ekor anaknya. Mereka berkerumun di sekitar stasiun penelitian.

Jam dinding menunjukkan pukl 18.00, ketika keduanya kembali ke pondok.  Ketika George mempersiapkan makan malam, sekilas Piet melihat ke arah jendela.  "Celaka!," teriaknya,  "Lihat, itu seekor beruang!"

Diluar, seekor beruang muda jantan sedang merusak kereta es mereka. Piet segera mengambil dan menyalakan obor dan langsung keluar untuk menyalakan obor dan langsung keluar untuk mengusir beruang muda itu. Lewat jendela dapur, Goerge tidak dapat melihat dengan jelas keadaan temannya itu.

Lalu dengan tiba-tiba dia menyaksikan beruang muda itu mengangkat kereta es tadi, yang lalu dilemparkan ke arah Piet.

Piet terlihat melemparkan obornya, dan berusaha lari menuju pintu pondok yang jaraknya 5 meter.

Namun Piet tidak pernah sampai ke pintu pondok itu, karena dia terjatuh. Dalam waktu yang begitu cepat, beruang itu sudah berada di sampingnya. Beruang itu bersiap-siap akan meremukkan kepala Piet. Itulah cara beruang kutub membunuh anjing-anjing laut, sebelum memangsa dagingnya.

Anehnya meski Piet mendengar gemeretak gigi beruang yang beradu dengan tulangnya, dia tidak merasakan sakit apa-apa. Dengan iba, Piet berteriak", George! Tolonglah aku, George. Ambil obor lainnya, George!"

George berlari cepat untuk memberikan pertolongan. "Pemandangan paling mengerikan yang pernah saya lihat selama hidup saya," pikir George. Darah tercecer dimana-mana. George dapat melihat tulang Piet yang tersembul. Beruang itu menggeram, seakan hendak menghabisi nyawa Piet.

"Piet sudah tewas, tidak ada sesuatu yang dapat saya kerjakan. Jangan bertindak bodoh. Kembali saja dan tutup pintu pondok," demikian George bergumam.

Di dalam pondok masih tersisa dua obor lagi. Dengan cepat, George kembali masuk ke dalam pondok, dan segera mengambil dua obor itu bersamaan. Dengan berani, George menyodokkan obor yang terbakar tadi ke wajah beruang tadi.

George dapat mencium bulu beruang yang terbakar. Tapi beruang itu tidak beranjak pergi atau menjadi takut.

Akhirnya dengan tindakan nekat, George menarik tubuh beruang itu. George berhasil menarik perhatian beruang tadi. Setelah melepaskan tubuh Piet, beruang tadi beralih menghantam George. Piet akhirnya berhasil lari masuk ke dalam pondok.

Untuk sesaat, George merasakan kepalanya pening. George masih dapat melihat mulut yang penuh darah dan gigi-gigi beruang yang tajam menyeringai, mengancam nyawanya.

"Selamat tinggal Annegriet dan anak-anakku," ucap George dalam doanya. Tiba-tiba George tidak tahu lagi dengan pasti bagaimana terjadinya, tahu-tahu berada di samping Piet, didalam pondok.

Di dalam pondok, George mendapat Piet terbujur lemas : dilantai dengan tubuh dipenuhi luka. Kotak obat yang ada di dalam pondok isinya kurang memadai. Tidak ada antibiotika. Dengan hati-hati, George lalu mengangkat tubuh temannya, untuk kemudian dibaringkan di atas tempat tidur.

Saat itu hari Minggu, sedang kapal baru akan datang pada Rabu sore.  Padahal Piet harus segera mendapatkan pertolongan. Dengan walkie-talkie berkekuatan 9 mil.  George mencoba untuk mencari bantuan. Panggilannya tidak memperoleh jawaban. Lalu dia membakar dua alat pemberi tanda, dengan harapan agar atau pesawat yang berada di dekat mereka dapat melihat. Usaha George ini juga sia-sia.

Kapal Datang

Di dalam pondok, George Visser masih dapat mendengar dengus dan geraman beruang yang sedang menanti mereka. Pada selasa malam, George masih mendengar garukan kuku beruang pada dinding pondok mereka. Selama semalaman George tetap terjaga.

Pukul 3:55 Rabu September 1987, kapal M.S. Plancius merapat di dermaga stasiun Kapp Lee. Dari anjungan kapal kapten Albertus de Waard melihat keadaan stasiun penelitian itu dengan teropongnya.

"Aneh, tidak ada tanda-tanda kehidupan," katanya.

Dari radio, dia mendengar suara George, "Plancius, Plancius disini Kapp Lee. Kami diserang beruang dan kini kami butuh pertolongan secepatnya. Kami butuh helikopter untuk membawa korban.  Sewaktu-waktu beruang itu akan menyerang lagi. Saya sudah memasang penghalang pada pintu masuk."

Kapten de Waard segera memanggil polisi di Longyearbyen lewat radionya.

Pukul 5:55, sebuah helikopter nampak melayang-layang sebelum mendarat di pantai, kira 200 meter dari tempat beruang itu berada. Dengan serentetan tembakan, beruang tadi berhasil ditewaskan. George dan Piet Oosterveld segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Piet benar-benar beruntung, meski dia menderita luka sangat parah, nyawanya masih berhasil diselamatkan.

Untuk keberaniannya, tiga bulan kemudian pemerintah Belanda menganugerahkan medali perunggu Penghargaan untuk Penyelamat Kemanusiaan kepada George. Pada 15 September 1987, Piet dan George kembali ke Belanda. Namun perjuangan mereka belum berakhir. Piet harus menjalani operasi plastik sebanyak dua kali. Operasi plastik ketiga, juga sedang menantinya, untuk menyambung kembali telinga kirinya yang hampir putus dimangsa beruang kutub.

Beberapa waktu kemudian, Piet kembali lagi ke Kapp Lee. Untuk kepergiannya kali ini, Piet tidak mau lagi ambil resiko. Dia membawa senapan untuk berjaga-jaga.

George yang di anugerahi gelar pahlawan, menolak untuk ikut. Dengus napas dan cakar serta gigi tajam beruang kutub di Edgeoya masih menghantui benaknya. Dia tidak menginginkan pengalaman buruk itu kembali menimpa dirinya. "Cukup sekali itu saja. Aku tidak akan kembali lagi kesana." ucapnya.

Source : Majalah Warnasari, no.185 - Juni 1994

Sabtu, 02 Juli 2011

Kisah-Kisah Memprihatinkan Para Buruh di Negeri Asing

MASALAH ketenagakerjaan, menjadi salah satu masalah sosial yang sampai kini tetap belum dapat terpecahkan. Ternyata bukan masalah TKI(Tenaga Kerja Indonesia) saja, negara lainpun terutama Asia mempunyai persoalan yang sama. Dilema tenaga kerja, memang telah menjadi suatu masalah global, mendunia.

ZULFIKAR adalah contoh soal.  Dia warganegara Pakistan yang datang dari Ikelum ke Jepang pada 1987 untuk mencari pekerjaan. Begitu pertama kali menginjakkan di Bandara Narita, Tokyo, ada tekad dari pemuda ini untuk menangguk uang dinegeri orang.

Modalnya hanya paspor dan visa turis yang bakal habis dalam tempo 3 bulan. Zulfikar tiba di Oizumi, 60 kilometer dari Tokyo diterima sebagai tukang cuci peralatan mobil Nissan. Upahnya Rp.80.000,- satu jam. Ini cukup besar, dibandingkan upah rata-rata di Pakistan, apalagi untuk pekerjaan serupa.

Buruh Asing Di Dubai
Namun Zulfikar rupanya tidak puas dengan upah yang diterimanya.  Dia pun pindah kerja, dan ditempat pekerjaan barunya mendapat upah bulanan Rp.5 juta. Zulfikar boleh dikatakan cukup beruntung, yang dengan cepat mendapatkan pekerjaan juga upahnya memadai. Keadaan seperti ini, hampir tidak setiap orang memperolehnya dalam waktu demikian singkat, tanpa lika-liku yang menyulitkannya. Namun Zulfikar tidak lepas dari kondisi secara umum di Jepang, yakni tingginya biaya hidup.

Keasyikannya bekerja tanpa dilindungi surat-surat yang sah untuk bekerja di Jepang, Zulfikar menghadapi persoalan baru. Selain visa turisnya habis, dia juga harus berurusan dengan dinas imigrasi setempat, karena memang tidak mempunyai izin bekerja.

Kerugian Zulfikar sebagai tenaga kerja ilegal cukup dirasakannya. Ketika dia menjalani kehidupan sehari-hari di Jepang. Misalnya saja, pemuda Pakistan ini tidak bisa membuat SIM, memasang pesawat telepon sendiri, atau membuat kartu anggota untuk peminjaman barang, contohnya untuk penyewaan kaset video. Lalu dia pun harus berurusan dengan polisi.

Beruntung, majikannya cukup banyak membantu, karena selama bekerja dia dikenal jujur. Namun itu tidak cukup, Zulfikar tetap sebagai tenaga asing ilegal yang harus hengkang.  Terlebih visanya juga habis. Jepang rupanya beda dengan di Eropa atau pun Amerika.

"Jika saya tinggal dalam tempo tertentu di Eropa atau Amerika, saya bisa memiliki surat-surat izin tinggal, apalagi punya pekerjaan tetap dan ada majikan yang mempertanggunjawabkan," Keluh Zulfikar. Pemuda Pakistan ini pun jadi contoh, betapa tidak gampang mencari uang di negeri asing.

Namun begitu, Zulfikar sekali lagi cukup beruntung. Dengan bantuan majikannya dia bisa pulang kampung halaman, membawa sisa penghasilan. Jika dia mau dia bisa kembali ke Jepang, dengan berbekal visa yang batas waktu tinggalnya terbatas. Itu hanya visa turis, karena yang resmi butuh biaya besar.

 

Dihadang Peraturan



TENAGA KERJA seperti Zulfikar, yang menggunakan visa turis atau bahkan tanpa paspor dan visa sama sekali, karena masuknya kenegara lain secara diam-diam, menyelundup, menjadi persoalan sendiri bagi negara-negara Asia yang keadaan ekonominya mulai maju, seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan dan tentu saja Jepang.

Para pekerja ilegalnya, dibekali sepotong surat atau tidak sama sekali, biasanya datang dari Bangladesh, Pakistan, Cina, Thailand, Phillipina, bahkan ada juga yang dari Iran. Karena tidak ingin menghadapi masalah dalam kaitannya dengan tenaga kerja asing ini. Singapura dan Hongkong termasuk dua negara yang sangat hati-hati menerima tenaga kerja asing.

Untuk menghadang membanjirnya tenaga kerja asing yang ilegal, kedua pemerintahan negara itu memberlakukan banyak aturan yang harus dipenuhi siapa saja, yang ingin bekerja disana.  Bagi Taiwan, malah tenaga kerja asing yang diberi upa jauh lebih rendah, bisa mempengaruhi tingkat pekerja lokal dan mengurangi keinginan para pengusaha untuk lebih mengembangkan usahanya.


Lain Taiwan, lain pula Jepang. Asal mengikuti prosedur keimigrasian, pekerja asing boleh menangguk Yen di negeri sakura tersebut. Orang Jepang ternyata menganggap nilai manusia sama saja, tenaga asing atau lokal.  Biasanya tingkat upah yang diberikan cukup tinggi, bedanya hanya sedikit saja dari yang diterima pekerja Jepang secara umum. Jangan terkejut, kalau kemudian ternyata ada pekerja asing yang ketemu jodoh, dan malah menjadi warganegara setempat.

Kanji Nishio, seorang wartawan Jepang yang terkenal sejak menulis masalah ketenagakerjaan asing dengan berbagai persoalannya, menyebutkan bisa saja terjadi dari masalah ketenagakerjaan ini merusak hubungan persahabatan sebuah negara dengan negara lain.

Karena masalah tenaga kerja sebagai masalah sosial yang harus ditangani secara hati-hati, banyak negara yang mencoba memenuhi permintaan tenaga kerja asing dengan menetapkan prosedur asing yang lebih baik dan resmi.

Di Singapura misalnya, para majikan yang melanggar ketentuan tenaga kerja akan didenda kira-kira Rp.24 juta, untuk satu pelanggaran.  Denda ini tentu saja baru saja dijatuhkan, setelah secara resmi pengadilan memutuskannya.

Di Taiwan, jumlah tenaga kerja asing yang ilegal ternyata tidak sedikit, ada sekitar 57000 orang. Dari jumlah ini, setahun terakhir 80% dipulangkan segera ke negaranya masing-masing. Disana tenaga kerja asing lewat prosedur resmi juga dibatasi, hanya 55000 orang.

Hongkong, agak beda dengan yang lain.  Negara ini kurang memperhatikan soal tenaga kerja.  Ini barangkali Hongkong memiliki banyak persoalan yang berkaitan dengan ekonomi, yang harus mendapat penanganan prioritas ketimbang soal tenaga kerja asing. Akibatnya bisa ditebak, tidak terhitung berapa banyak tenaga kerja ilegal yang masuk negeri ini.

Para pekerja asing ilegal itu banyak bekerja diperusahaan-perusahaan asing, restoran, bar, bahkan ditempat-tempat hiburan lainnya.  Biasanya menampung wanita, yang dijadikan penghibur di sana. Ketika tenaga kerja ilegal ini membengkak jumlahnya, baru pemerintah Hongkong melakukan pengusiran, dan setahun terakhir ada setidaknya 54.000 orang asing yang bekerja ilegal di sana di pulangkan.

Tenaga kerja ilegal di Hongkong menempati sektor industri kecil dan pekerja bangunan. Untuk menekan jumlah tenaga kerja ilegal ini, pemerintah Hongkong baru saja mengeluarkan ketetapan pengadilan, yang intinya menjatuhkan denda pada majikan yang dipergoki mempekerjakan pegawai ilegal.  Denda tersebut sekitar Rp.64 juta, untuk setiap kasus.

Di Jepang sendiri kini ada 292.000 orang asing yang tinggal disana, melebihi batas waktu menetap.  Sebagian besar yang ternyata bekerja itu, mengaku sebagai turis, atau pelajar.  Sekalipun sebagai pekerja dikenal tekun, tetap saja mereka harus mengikuti peraturan yang ditetapkan, kembali ke negaranya. Biasanya atas dasar telah habis visa kunjungannya.

Wanita Penghibur

TENAGA KERJA pendatang, ternyata tidak hanya menjadi buruh suatu perusahaan atau kuli-kuli bangunan, terutama yang wanita tidak sedikit menjadi wanita penghibur. Diperkirakan, hampir 100.000 wanita tenaga kerja asing yang menjadi penghibur di sejumlah negara Asia yang lebih maju, terutama Jepang. Sebagian besar dari Thailand, Phillipina bahkan secara mengejutkan ada yang dari Rusia.

Di Jepang, menjamurnya tenaga kerja asing mulai tampak pada awal 1980-an, berkaitan dengan makin makmurnya ekonomi orang Jepang. Pada waktu itu peraturan untuk bekerja di negara tersebut belum seketat sekarang, dan sebagian besar datang dari Pakistan, Iran, Phillipina dan Thailand.

Pendatang dari Pakistan, Iran dan Phillipina, sebagian bekerja di restoran, pencucian pakaian dan menjadi kuli-kuli bangunan. Sedangkan yang datang dari Thailand, wanitanya banyak yang menjadi penghibur. Bersama sebagian wanita asing dari Phillipina, mereka menempati rumah-rumah bordil pinggir jalan.

Seperti halnya Zulfikar, para pekerja asing yang lewat prosedur resmi atau tidak, umumnya tinggal di wilayah Oizumi. Kedatangan pekerja asing sebenarnya tidak selalu disambut baik penduduk setempat. Terutama ada kaitan dengan semakin menyempitnya kesempitan buat bekerja, karena banyak lowongan yang diisi tenaga asing tersebut.

Keluhan juga datang berkaitan dengan banyaknya wanita penghibur, terutama di kalangan wanitanya. Mereka merasa kehadiran para wanita penghibur itu telah mengganggu ketentraman rumah tangga, mengganggu suami mereka. Kebanyakan keluhan datang dari penduduk di Kimaro yang tidak jauh dari tempat-tempat hiburan.

Banyak yang mengatakan, jika pemerintah Jepang tidak cepat mengambil tindakan, soal ketenagakerjaan asing ini bisa menimbulkan lebih banyak masalah. Kemungkinan terjadi peningkatan yang luar biasa pada tahun 2000 nanti, terutama para wanita penghiburnya.  Ketakutan lain adalah, semakin mewabahnya AIDS, penyakit yang belum ada obatnya dan ditularkan melalui hubungan seks. Selain soal ini, kehadiran tenaga asing di Jepang secara ilegal, juga mempertinggi tingkat kejahatan. Ini dibuktikan, sejak tenaga kerja ilegal membanjir dari tahun 1987 sampai 1991 terjadi peningkatan kejahatan yang luar biasa. Pelakunya kebanyakan para pendatang ilegal. Kejahatan juga sering terjadi di lokasi pelacuran. Ini dibuktikan hampir setiap tahun ditemukan ada mayat wanita penghibur yang ditemukan. Secara psikologis menimbulkan efek kekhawatiran di kalangan masyarakat setempat.

Memprihatinkan

INI salah satu kisah yang memprihatinkan.  Janchara, salah seorang wanita penghibur di sebuah bar dekat Tokyo. Dia mengaku lulus sekolah kejuruan di Bangkok, namun ketika melamar menjadi Polwan ternyata tidak lulus tes.  Kegagalan itu yang mendorongnya menerima tawaran seorang teman, ketika disodori tawaran untuk bekerja di Jepang sebagai pelayan restoran.

Tawaran yang menarik itu membawa langkahnya ke Tokyo, dengan berbekal paspor dan visa turis untuk jangka waktu 8 bulan.  Di kota itu, wanita yang masih sangat muda ini menemui seorang agen penyalur tenaga kerja.  Dia ternyata harus mengeluarkan cukup banyak uang sogok, agar mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya.

Harapan mendapat pekerjaan baik-baik dengan upah layak, ternyata jauh dari dugaannya.  Janchara malah dipekerjakan sebagai wanita penghibur.  "Saya menangis selama beberapa malam ketika saya menyadarinya. Tapi, saya tetap memutuskan bekerja, dari pada pulang tanpa membawa apa-apa," katanya.  Ditambah lagi persediaan uangnya semakin menipis.

Sampai kapan pekerjaan itu akan dijalaninya? Wanita penghibur asal Bangkok ini mengaku, baru akan pulang setelah cukup uang untuk membeli rumah dan sedikit modal usaha kecil-kecilan. Janchara tentu saja tidak sendirian mengalami nasib buruk seperti itu, terlantar di negeri orang dan hidup dengan menjadi seorang wanita penghibur.

Banyak diantara wanita penghibur itu mengakui, mereka berada disana bukan atas kemauan sendiri, melainkan akibat jebakan penyalur tenaga kerja. Apalagi tidak ada uluran tangan dari kepolisian, jika mereka dilapori. Akhirnya yang dilakukan hanya meneruskan pekerjaan tersebut. Sebenarnya, pemerintah Jepang memberikan perhatian pada pekerja asing. Mereka mendapat perlindungan secara hukum dan kesehatan, asalkan mereka datang secara resmi.  Untuk menangani persoalan yang dialami tenaga kerja ilegal, ada badan khusus yang menanganinya, yakni The Asian People's Friendship Society, yang berlokasi di bagian utara Tokyo.

Menurut badan sosial ini, banyak tenaga kerja dari Pakistan, Sri Langka dan lainnya yang minta bantuan untuk mengatasi masalah mereka.  Bantuan ini bersifat sukarela dan tidak dipungut bayaran sama sekali.  Masalah yang diutarakan sebagian besar menyangkut pembayaran gaji yang tidak sepadan, pelayanan kesehatan, bahkan kadang masalah perkawinan yang terhambat karena masalah status tidak sah mereka.

Sumber : Majalah Warnasari - No.184, Mei 1994

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes