AGAKNYA setiap orang sudah tahu apa yang disebut bandeng. Sejenis ikan laut, Chanos chanos, yang langsung seperti torpedo putih perak dengan punggung biru laut. Dagingnya juga putih seperti susu sampai orang Inggris menyebutnya milkfish.
Lezatnya memang bukan main, meskipun untuk itu kita harus pura-pura tidak merasa bahwa durinya menganggu. Waktu masih kecil biasanya kita takut tertelan duri bandeng (bukan kita yang ditelan oleh duri, tapi kita menelan duri tak sengaja). Saya sendiri juga begitu.
Namun sesudah tua, tak peduli lagi(saya) kalau ada duri ikut tertelan bersama daging bandeng. Itu gara-gara seorang rekan sejawat pernah membuka rahasia makan duri bandeng.
"Coba saja ditelan, nanti 'kan tidak apa-apa!" tuturnya selaku guru perikanan yang sudah banyak menelan bandeng. Ternyata memang benar. Duri bandeng itu tidak apa-apa. Ketika saya tanyakan, dari mana ia tahu bahwa duri bandeng itu tidak apa-apa? Jawabnya: berdasarkan pengalaman di lapangan. Para petani yang makan bandeng ditepi tambak tidak punya waktu untuk menyisihkan duri yang ber-jibun itu satu demi satu dari daging bandeng. Mereka tidak apa-apa. Lalu saya ikut-ikutan, tidak apa-apa!
Teorinya jelas
Kalau masalah duri mudah di atasi, masalah bau lumpur lebih rumit, namun tetap bisa ditanggulangi, asal kita mau.
Bandeng yang dijual di pasar ikan ada yang berasal dari laut sebagai hasil usaha penangkapan, dan ada yang berasal dari tambak (air payau) sebagai hasil pemeliharaan. Bandeng yang berbau lumpur terutama berasal dari tambak yang jauh letaknya dari pantai sampai kekurangan air asin. Sebaliknya bandeng dari tambak lanyah yang dekat dengan pantai, tidak berbau lumpur. Nanti akan jelas, mengapa begitu.
Untuk mencegah bau lumpur ini, sejak dulu sebetulnya sudah jelas teorinya (dalam buku); yaitu memanen (memungut hasil) bandeng harus menunggu saat datangnya air pasang tertinggi paling tinggi dari laut. Istilah ini, memang menggelikan, tapi itu diciptakan untuk membedakannya dari air pasang tertinggi harian. Air pasang tertinggi paling tinggi hanya terjadi dua kali sebulan, pada tiap mala bulan purnama (sekitar tanggal 15 kalender Jawa).
Pada saat-saat itulah, bandeng asli laut yang disekap dalam petakan tambak itu secara naluriah akan berbondong-bondong berkumpul di depan pintu air laut yang disekap dalam petakan tambak itu secara naluriah akan berbondong-bondong berkumpul di depan pintu air karena ingin merat ke laut lagi. Mereka memenuhi the call of the sea, untuk berpacaran, kawin dan bertelur seperti nenek moyangnya dulu.
Kebetulan pintu air tambak yang baik itu berupa kotakan persegi panjang raksasa,yang disekat-sekat menjadi beberapa kotakan raksasa kecil. Kalau sudah dibuka daun pintunya agar air laut bisa masuk, ia sengaja dipasangi kere bambu supaya bandeng yang mau merat bisa masuk ke kotakan itu, tapi tidak mungkin lolos ke luar terus. Kalau gerombolan bandeng yang sudah 'mabuk laut' itu terjebak beramai-ramai dalam kotakan pintu air itu, pemilik tambak mempunyai kesempatan yang bagus untuk memilih ikan yang sudah cukup besar saja (untuk ditangkap), sedang yang kecil dikembalikan lagi ke tambak.
Bandeng yang ditangkap secara ini (tekniknya disebut cara nyerang, karena bandengnya memang betul-betul beringas mau menyerang kere di pintu air), selalu masih segar bugar dan lebih bagus keadaannya daripada ikan yang ditangkap dengan cara lain, yaitu mengeringkan petakan tambak pada pagi hari kalau air laut sedang surut, lalu menggiring ikan ramai-ramai bidai kekubangan dekat pintu air, untuk ditangkap dengan jala sodoran. Dengan cara ini bandengnya jelas mengaduk-aduk lumpur dalam perjuangannya menghindari maut.
Bisa dicegah asal tidak jamuran
Yang lebih runyam ialah, pada cara penangkapan biasa (yang bukan nyerang) ini, bandeng hasil tangkapan malah dikumpulkan dalam kubangan kecil yang keruh airnya, sebelum diangkut ke pasar. Maklum! Air tambak memang dikeringkan, sampai tak ada air yang cukup lagi untuk mencuci bandeng. Cara ini jelas kurang betul, namun petani tambak memang sering dihadapkan pada satu-satunya pilihan yang tidak betul ini. Banyak bandeng yang kemudian rusak dan berbau lumpur. Masalah ini sebenarnya masih bisa diatasi dengan jalan mengumpulkan bandeng hasil tangkapan itu dalam saluran penampungan yang tidak keruh airnya, yang sengaja dibangun sebelumnya sebagai perlebaran dari petak pembagi air. (Setiap unit tambak biasanya terdiri atas sejumlah petak pemeliharaan dan petak pembagi air). Air dalam saluran penampungan ini jelas lebih dalam dan masih lumayan bersihnya. Jadi bisa dipakai sekalian untuk mencuci bandeng.
Cuma supaya tidak mengaduk-aduk lumpur dasar, bandeng hasil tangkapan di timbum dalam hapa(bak apung dari jala) dulu, yang ditenggelamkan dalam saluran penampungan itu. Untuk ini saluran sengaja diisi air yang ekstra dalam dulu, lalu dibendung selama ada kesibukan penangkapan.
Sesudah beberapa jam ditampung dalam hapa, lumpur yang mengotori bandeng diperkirakan sudah bersih, dan bandengnya bisa diangkat bersama hapa tempatnya, untuk dipindah ke keranjang pengangkut.
Namun, cara ini hanya berhasil kalau tambak itu memang berisi air yang kadar garamnya 15 - 25 per mil, selama masa pemeliharaan bandeng yang bersangkutan. Air tambak yang kepayauannya sekian itu bebas dari cendawan Actinomycetes dan ganggang biru Oscillatoria tenuis. Cendawan dan ganggang ini mengeluarkan senyawaan geosmin, yang baunya seperti lumpur.
Dalam air payau yang kadar garamnya setinggi itu juga masih cukup tersedia ganggang biru, pembentuk klekap, yang menjadi makanan utama ikan bandeng. Klekap ialah istilah petani tambak bagi kumpulan ganggang biru, terutama Lyngbia dan Phormidium, yang mula-mula memang tumbuh menempel di dasar tambak tapi sesudah tertimpa sinar matahari terik dan giat berfotosintesis, terangkat ke permukaan air gara-gara diapungkan oleh sejumlah oksigen (hasil fotosintesis ganggang itu) yang tersekap diantara anyaman benang-benang ganggang. Klekap yang mengapung ini diolok-olok sebagai tahi air dekat permukaan ini sudah tentu bebas lumpur, karena tidak perlu mengaduk-aduk dasar tambak.
Begitu kadar kepayauan tambak itu berubah lebih rendah daripada 15 per mil, (ini terjadi di petakan yang jauh letaknya dari pantai), maka yang tumbuh subur bukan ganggang biru pembentuk klekap tahi air lagi, tapi bermacam-macam ganggang yang lain, antara lain ganggang kersik dan ganggang hijau. Bagi bandeng, itu bukan makanan kesukaannya.
Perlu dijaga kepayauannya
Bandeng yang tidak menemukan ganggang biru klekap itu akan kasak-kusuk lebih ngeri mengaduk-aduk lumpur dasar tambak. Namun, sia-sia saja mencari klekap.
Celakanya, kalau petakan tambak itu dipupuk hebat dengan kompos dan bahan organik berlebihan, tapi kurang cepat terbongkar menjadi mineral. Timbunan kompos ini bisa ditumbuhi jamur Actinomycetes dan ganggang biru Oscillatoria tennuis yang terlalu lama gentayangan dalam tambak. Lalu dimakan oleh bandeng yang sia-sia mencari Lyngbia dan Phormidium pembentuk klekap tadi.
Kalau sampai saat dipanen mereka tetap saja sia-sia mengaduk lumpur dalam pencarian nafkahnya sehari-hari, maka yang tertelan mentah-mentah ialah jamur penghasil geosmin yang berbau lumpur itu. Bau lumpur yang melekat padanya sudah mendarah daging, karena tidak sekedar diserap melalui insang masuk ke peredaran darah saja, tapi juga diserap usus dan meresap ke dalam daging. Sia-sia saja ditampung dan dicuci dalam hapa yang ditenggelamkan kedalam dalam saluran penampungan. Ia tetap berbau lumpur.
Untuk mencegah bandeng gentayangan mengaduk lumpur, yang toh tidak ada klekap-nya itu, petakan tambak mutlak harus diusahakan agar mampu menumbuhkan ganggang biru pembentuk klekap yang cukup. Untuk itu kepayauannya harus mantap 15 - 25 per mil. Ini bisa dipantau setiap hari dengan salinometer; sejenis areometer yang skalanya langsung menunjukkan kadar garam per mil. Begitu kepayauannya berubah, petani tambak yang baik biasanya segera berusaha memasukkan air laut pada saat air ada air pasang tertinggi harian (pada malam hari, biasanya).
Dengan kepayauan setinggi itu jamur Actinomycetes dicegah perkembangan biaknya, hingga tidak ada yang menghasilkan geosmin, biang keladi bau lumpur.
Kalau tambaknya dekat pantai, usaha ini tidak ada masalah. Sebaliknya, kalau tambak itu jauh dari pantai, maka yang masuk bukannya air laut yang asin tapi air sungai yang tawar. Usahanya sia-sia. Kalau berdasarkan pengalaman memang sulit mendapat air laut pada waktu memerlukannya itu, seharusnya petakan tambak itu tidak dipakai memelihara bandeng enak lagi.
Apa daya?
Apa kuda-kuda yang harus dipasang oleh konsumen, supaya tidak terjebak membeli bandeng bau lumpur itu?
Pertama-tama, sebagai konsumen kita harus selalu waspada terhadap bandeng yang punggungnya tidak biru seperti bandeng hasil laut. Sebaiknya membeli sendiri ke pasar dan memilih bandeng dengan tolok ukur yang dipegang ketat. Hanya bandeng yang punggungnya biru saja yang kita beli. Menyuruh pembantu membeli bandeng sering mengecewakan, karena umumnya mereka kalah dikibuli penjual bandeng.
Kedua, kalau pada musim hujan tidak ada kegiatan penangkapan di laut, dan pasar ikan dibanjiri bandeng tambak yang punggungnya pucat, tidak meyakinkan birunya, atau bahkan kuning coklat, sebaiknya kita berpuasa makan bandeng dulu, untuk sementara. Musim paceklik bandeng hanya sebentar. Begitu ada kegiatan penangkapan ikan di laut lagi, bandeng akan tersedia cukup kembali.
Warna punggung kuning coklat atau abu-abu pucat menandakan bahwa bandeng itu dulunya tumbuh di lingkungan tambak yang dangkal karena kekurangan air. Letaknya mungkin jauh dari pantai, sehingga sulit mencari air laut untuk mempertahankan kepayauan yang disyaratkan. Bandeng semacam itu tidak usah dibeli, dan tambak seperti itu dibanting saja setirnya.
Source: Majalah Intisari, No.289 Agustus 1987
0 comments:
Posting Komentar