Untungnya, bea cukai AS telah banyak melakukan analisis gas yang mengapung di atas heroin dan kokain. Juga telah mengisolasi beragam alkohol, alkana, ester, dan asam. Semua itu sudah dikatalogkan. Dengan demikian Revell dan Juehne tinggal mencoba-coba pelbagai kombinasi. Mereka melakukan beberapa tes untuk setiap jenis narkotik, lalu dicobakan pada anjing yang sudah terlatih mengenal narkotik. Berdasarkan temuan tersebut mereka memperbaiki bahan tiruan itu.
Labrador, si Anjing Pelacak |
"Mengembangkan ganja tiruan jauh lebih rumit," kata Revell. "Kami tak cuma berurusan dengan satu senyawa murni tapi dengan seluruh tanaman ganja. Untuk mengisolasi molekul-molekul ganja dan menemukan kandungannya, dia menggunakan kromatografi gas. Metode ini juga dipakai untuk memisah-misahkan bahan-bahan kimia berdasarkan kecepatan penguapannya. Juga dipakai spektometri massa untuk mengidentifikasi senyawa berdasarkan massa dan dan muatan listrik atomnya.
Yang dicari Revell adalah bahan yang bisa menguap pada suhu rendah. "Sayangnya, zat yang membangkitkan kewaspadaan masing-masing anjing berbeda-beda. kendati semua anjing telah dilatih dengan bau bahan kimia yang mereka kenali untuk identifikasi berbeda-beda."
Revell akhirnya berhasil menciptakan bau tiruan ganja dengan mencampur beberapa senyawa paling populer di antara para anjing. Namun sigma masih akan menyempurnakan koktail bau ciptaannya karena kadang-kadang datang laporan ciptaannya gagal untuk melatih anjing pelacak ganja.
Dicuri buaya dan burung bangkai
Pada 1990 banyak pelatih mengeluhkan masalah mereka kepada Sigma dalam melatih anjing untuk mengendus bau mayat. Karena tugas ini tidak rutin, mereka harus melatih binatang itu paling tidak sekali seminggu. Yang dijadikan bahan untuk berlatih biasanya tanah atau debu kotoran yang diambil dari bawah tempat tergeletaknya mayat. Tanah atau debu kotoran itu biasanya sudah terimbas bau busuk mayat. Alat bantu ini mereka sebut misalnya "debu busuk" atau "Fred B Dead".
Karena baunya yang amat menyengat, Carl Makins, pelatih anjing dari Greenville, Carolina Selatan, menyimpannya dalam kantung plastik rangkap, kemudian dimasukkan dalam peti kedap gas. Begitu pun setiap kali membuka peti itu, biar sekejap, ia harus menyemprot seluruh ruangan parfum wangi. Belum lagi ancaman tular HIV, hepatitis, dan penyakit lain yang disebarkan oleh cairan mayat. Mendengar kesulitan itu, Patricia Carr, perantara Sigma dengan para pelatih itu berpesan kepada Revell dan Juehne, "Buatkan mayat dalam botol."
Itu tak berarti mereka sembarangan saja mencomot segala macam bau mayat untuk diuji di lab. Dari membuka-buka jurnal iptek Juehne menemukan, ada pelbagai tingkat pembusukan tubuh manusia.
Setiap tahap pembusukan dihasilkan berbagai macam zat kimia yang jenis dan jumlahnya berbeda-beda termasuk ptomaines. Dengan inilah para patolog menentukan waktu kematian si korban sementara ahli-ahli kimia mencoba meniru baunya.
Juehne merinci bahan-bahan yang paling mungkin ada di udara ataupun tanah di sekitar mayat. Baik yang masih baru (Pseudo Corpse I) atau yang sudah relatif lama (Pseudo Corpse II). Mereka lalu mencari bau khas mayat manusia yang membedakannya dengan bangkai hewan.
Begitu mendapatkan senyawa-senyawa potensial, Tom menyuruh Revell untuk membauinya sambil bertanya apakah bau ini sudah mirip bau mayat. Maklumlah Revell pernah 7 tahun bekerja di lab forensik. Kalau sudah mirip, maka ia melarutkannya lagi sehingga hanya bisa tercium oleh anjing. Lalu mengirimkannya ke 6 orang pelatih anjing. Botol pertama dengan baik diterima, yang kedua dipuji-puji.
"Mulanya saya tak percaya," kata Billy Smith, "tetapi segera sesudah kami menyembunyikan bahan itu di balik gunungan pasir di tepi sungai, buaya mencurinya. Lalu kami menaruh beberapa di pohon, eh dicuri juga oleh kucing, sementara yang diletakkan di bonggol pohon dicuri burung pemakan bangkai."
Aroma korban trauma
Penguji lain adalah Caroline Hebard dari New Jersey yang telah mendapat penghargaan internasional karena prestasi SAR-nya bersama anjing. "Ya, yang ini sudah bagus. Sekarang buatkan bau tiruan manusia yang masih hidup," katanya.
Sudah bertahun-tahun Hebard dan anjingnya sering bertugas di reruntuhan puing akibat gempa bumi atau ledakan. Dia merasa perlu melatih anjingnya untuk bisa membedakan bau korban masih hidup yang terkubur dengan para penolong dan pekerja. Orang yang mengalami kaget dan trauma menyebarkan bau khas campuran asam dan keringat. Mereka yang bekerja di ambulans pasti mengenal bau itu.
Untuk itu, Juehne membolak-balik jurnal lagi. Dia mendapatkan analisis detail senyawa badan yang dikeluarkan lewat kulit. "Saya membutuhkan bau manusia yang universal, yang sama, tak peduli beda jenis makanan, jenis kelamin, ataupun umur. Mulai dari bayi sampai lansia," ujarnya.
Sesudah melakukan berbagai percobaan, Juehne mengirimkan Pseudo Distressed untuk dites di lapangan. Ternyata berhasil. Anjing-anjing yang dilatih dengan bahan ini mampu menemukan korban-korban dalam operasi penyelamatan sungguhan. Bukan hanya itu, mereka juga bisa menemukan anak-anak yang hilang di hutan dan napi yang mencoba kabur lewat saluran udara di penjara.
Produk Sigma yang terakhir adalah Pseudo Drowned Victim untuk melacak korban tenggelam dengan mereformulasi bau-bauan mayat kedalam kapsul yang tenggelam dalam air. Namun yang dibutuhkan oleh para pelatih adalah bau yang dapat menempel pada selembar film tipis yang mengambang di permukaan air - persis seperti bau bangkai mayat yang sebenarnya. Permintaan ini pun dapat dipenuhi oleh para peneliti dari Sigma dengan cara membuat kapsul yang lebih lama larutnya dan mengisinya sebagian dengan garam supaya tenggelam.
Sering para pembeli mengkombinasikan dengan bahan-bahan tradisional. Misalnya Smith, yang melatih anjingnya mula-mula dengan bau mayat buatan,lalu baru meningkatkan kemampuannya dengan mayat betulan. Herbard malah mengkombinasikan bau tiruan dengan rambut manusia supaya lebih kuat baunya.
Namun banyak juga pelatih yang masih menghindari bahan-bahan itu. "Menggunakan bahan tiruan itu seperti menembak dengan peluru kosong," kata David Frost, penyelia anjing pelatih anjing dari Komisi Pelayanan Umum Tenessee. "Kami menginginkan agar anjing benar-benar mampu membedakan bahan satu dengan yang lain. Untuk apa kami melatih mereka barang palsu."
Di Arizona, Detektif Frank Shenkowitz yang kini menangani kasus green tadi tetap penasaran. Ia masih sering mendatang dataran tinggi tempat ditemukannya sisa-sisa pakaian oleh Judge, si labrador. Belum lama ini, tak jauh dari lokasi temuan Judge, Shenkowitz menemukan sepatu koboi kecil ukuran anak usia 4 tahun. "Memang ini belum membuktikan adanya pembunuhan," ujarnya. "Tetapi saya tahu Judge dapat dipercaya."
Source: Majalah Intisari - No.402, Januari 1997
0 comments:
Posting Komentar