Domba |
Jadi kalau ada domba dari Cimahpar, Bogor, dipotong di Jl.Blora, Jakarta dan dibuat menjadi sate oleh seorang nyonya dari Bogor, maka yang mendapat pujian dari manusia Jakarta yang gemar makan enak bukanlah domba, melainkan kambing.
Gejala numpang nama
Dalam berbagai segi kehidupan, kejadian seperti tidak langka. Tidak mengherankan kalau ada peribahasa Melayu yang mengatakan, Kerbau punya susu, sapi punya nama. Hal itu pun mengingatkan saya akan suatu kejadian di kaki lima di kawasan pertokoan Jembatan Merah, Bogor.
Seperti lazimnya terjadi di mana-mana, kaki lima di kawasan itu pun sudah berubah menjadi tempat menjajakan barang-barang kelontong. Seperti biasa pula, si penjaja ber-cuap-cuap dengan logat Minangkabau yang berat. Akan tetapi anehnya, saya melihat barang-barang kelontong itu diturunkan di situ dari sebuah pikup "tuyul" dengan bak terbuka. Kaca depan mobil bertuliskan Aek Godang, nama sungai di daerah Mandailing, Tapanuli Selatan. Benar saja. Sewaktu mendekat, saya mendengar percakapan yang mengalun dalam bahasa daerah Tapanuli Selatan. Suatu pertanda bahwa penuturnya berasal dari Mandailing.
Keingintahuan saya tidak dapat saya bendung, dan saya menanyakan kepada mereka apakah mereka urang awak, ataukah (h)alak (h)ita (Sesuai dengan ragam pengucapan di Mandailing, huruf "h" tidak dilafazkan). Dengan tersenyum, salah seorang menjawab bahwa mereka berasal dari Panyabungan dan Kotanopan.
"Mengapa menjajakan jualan dengan bahasa Melayu Minang?" tanya saya. "Ah, kalau tidak pakai logat Minang, dagangan kita tidak akan laku!"
Rupanya sudah ada pendapat umum, bahwa hanya orang yang berasal dari Minangkabau saja yang dapat menjadi pedagang kaki lima yang bonafide.
Begitulah, setelah pedagang kaki lima yang Minang asli itu berhasil dan mampu membeli kios di Pasar Anyar, tempatnya di kaki lima digantikan oleh orang dari daerah yang lebih ke Utara. Hanya saja, mereka belum dikenal andal sebagai pedagang kaki lima. Jadi mereka harus membangun reputasi dengan meminjam logat saudaranya yang berasal dari balik bukit.
Dua kejadian di atas menyangkut kehidupan dalam masyarakat Indonesia. Padahal andaikata di luar negeri ada sebuah restoran Indonesia menyajikan sate kambing dari daging domba, pemilik restoran itu bisa dituntut ke depan pengadilan oleh konsumen. Kenapa? Bukan hanya karena ekor domba menggantung ke bawah, dan ekor kambing mencuat ke atas, tetapi karena kambing bukan domba!
Dipaksa berusaha sendiri
Mari menyimak pola kehidupan serupa pada masyarakat bukan Indonesia. Pada suatu hari jum'at sore seperempat abad yang lalu di Amerika, saya datang ke kantor promotor saya. Sekali sebulan saya biasanya ikut pulang ke rumahnya untuk makan malam bersama keluarganya. Kebetulan keluarganya juga menjadi tuan rumah saya sebagai mahasiswa asing di kota itu. Biasanya, setelah saya datang kami segera berangkat. Akan tetapi, sekali itu ia meminta saya menunggu anak sulungnya sebentar. Benar saja, tidak lama kemudian anak itu datang berkaus oblong dan bersepatu tenis. Peluh bercucuran di wajahnya yang coreng-moreng.
Ayahnya mengomel sebentar dan memperingatkan anaknya agar selalu merapikan dirinya dulu sebelum datang ke kantornya. Kemudian ia menjelaskan kepada saya, bahwa anaknya yang masih bersekolah di SMTA itu, selama liburan musim panas bekerja mengangkut kayu gelondongan di fakultas kehutanan. Anak itu ingin sekali memiliki mobil sendiri, akan tetapi bapaknya hanya mau membayar separuh dari harga mobil bekas yang akan dibelinya. Selebihnya harus ia cari sendiri dari cucuran keringatnya, termasuk biaya operasi kendaraan itu. Dengan bangga promotor saya itu mengatakan, bahwa anaknya sudah mencukupi biaya pembelian mobil tersebut. Tinggal lagi harus mengumpulkan biaya operasi kendaraan selama satu tahun, yang harus ditabung di bank. Begitulah cara seorang guru besar ternama mengajari anaknya, betapa berharga kemampuan untuk mencukupi biaya hidup atas usaha sendiri.
Kejadian kedua saya alami di Bogor dengan seorang ilmuwan muda dari Amerika Serikat yang diperbantukan sebagai tenaga ahli. Sewaktu berbincang-bincang dengannya dalam suatu jamuan makan malam, saya mengetahui bahwa ia dilahirkan di Raleigh, tempat saya dulu menjadi mahasiswa pasca sarjana selama tiga tahun. Kemudian, setelah ia mendapatkan BS dalam agronomi, ia melanjutkan ke Ames dan meraih gelar doktor dalam ilmu tanah. Saya segera teringat bahwa nama belakangnya sama dengan nama seorang guru besar pakar ilmu tanah di Raleigh. Tanpa berpikir panjang, saya menanyakan apakah ia anak guru besar ilmu tanah yang terkenal itu. Rona wajahnya tiba-tiba berubah merah. Dengan tersendat-sendat ia berkata, "Maaf, saya mohon Anda tidak mengaitkan saya dengan ketenaran ayah saya sebagai ahli ilmu tanah. Saya sedang berusaha untuk dikenal sebagai ahli ilmu tanah atas dasar karya yang saya hasilkan sendiri!"
Saya menyadari kesalahan saya, dan meminta maaf kepadanya. Sungguh berat beban dipundaknya, karena ia ingin tampil menerobos ketenaran ayahnya. Kabarnya, ia sekarang sudah dikenal karena karya-karyanya sendiri. Yang saya pertanyakan ialah, apakah ia juga akan berhasil kalau dulu ia selalu 'berselancar di atas ombak' kemasyhuran ayahnya.
Maju sendiri dong!
Barangkali hal ini juga patut di renungkan, baik oleh para orang muda di Indonesia mau pun orang tua mereka. Terutama mereka yang orang tuanya sudah cukup dikenal masyarakat. Demi untuk kemantapan sukses di masa depan, sebaiknya setiap orang muda, berusaha memancangkan namanya sendiri, bebas dari keterkaitan dengan keberhasilan orang tuanya.
Biarlah sate kambing tetap kita sebut demikian, walaupun dagingnya berasal dari domba. Akan tetapi, marilah kita berupaya agar manusia-manusia muda Indonesia berani berusaha maju ke depan atas usaha mereka sendiri, dan bukan karena didorong dari belakang.
Source : Majalah Intisari, No.315 - Oktober 1989
0 comments:
Posting Komentar