JANGAN bertanya apapun, lakukan semua yang diperintahkan kepadamu, dan teruslah bergerak tak perduli bagaimana pun situasinya. Ditengah-tengah musuhnya yang terus memburunya, penerbang yang tertembak jatuh pesawatnya itu menyadari, bahwa keselamatan jiwanya sangat tergantung pada bantuan gerakan bawah tanah dan serangkaian panjang mata rantai orang-orang yang tak dikenalnya.
PADA 15 Desember 1944, Martha Blanton Elliott sedang sibuk didapur rumahnya membuat kue-kue persiapan hari libur, seperti selalu dilakukannya selama berpuluh-puluh tahun. Dia juga mempunyai kegiatan lain yang bersifat sosial, menghibur ibu-ibu yang putra-putra mereka sedang mendapat tugas berperang diluar negeri.
Namun bagi Martha sendiri, sebenarnya sangat sulit untuk merasa bergembira. Sebab satu-satunya anak lelakinya, Jack seorang kopilot pesawat pembom B-24 Angkatan Udara Amerika, sembilan bulan yang lalu telah tertembak jatuh di atas wilayah Jerman dan dilaporkan hilang.
Telegram yang diterima dari Departemen Peperangan juga kurang rinci, sebab disitu tidak disebutkan apakah terlihat adanya parasut-parasut yang mengembang setelah pesawat terbakar.
Apa yang bisa dilakukan Martha kemudian, hanya berdoa semoga ada seorang ibu Jerman yang baik hati yang menemukan putranya itu dan menolongnya. Setelah itu dia mencoba untuk tak memikirkan lagi hal tersebut.
Dia memilih menyibukkan diri membantu suaminya, "Big Jack", mengumpulkan telur-telur, memberikan makan ayam-ayam, dan bersiap menebar bibit gandum di ladang mereka yang terletak di luar Kota Richmond, Virginia, Amerika Serikat bagian selatan.
Dia juga tetap meneruskan kegiatannya bekerja suka rela di Palang Merah, suatu kegiatan sosial yang pasti diinginkan dilakukan putranya.
LETNAN Dua Jack Elliot sedang terbang dengan ketinggian 7.500 meter di atas wilayah Perancis Utara dalam misi pemboman, menuju ke lokasi pabrik senjata Jerman di Friederickshafen, ketika pesawat pembom B-24nya kena tembak. Sayap kiri pesawatnya terbakar hebat, pada saat dia merangkak menuju pintu pesawat dan meloncat keluar dengan parasutnya.
Dalam waktu singkat parasutnya itu mengembang. Begitu keluar dari gumpalan awan, ketika memandang ke arah bawah, Jack melihat hamparan salju dibawah sana.
"Salju?" pikirnya "Mungkin Aku Jatuh di Wilayah Swiss!"
Rasa sakit yang luar biasa terasa menyerang lutut kaki kirinya, ketika mendarat dengan selamat di hamparan salju itu. Dia berjalan terpincang-pincang, menuju ke semak-semak, mengubur parasutnya disitu, menutupinya dengan salju.
Setelah itu diambilnya perlengkapan survivalnya dari kantong celana pilotnya, memakan sedikit ransum lapangan, lalu menyuntik bagian bawah lutut dengan morfin untuk menghilangkan rasa sakit. Baru setelah itu, dengan menggunakan kompas kecil, dia berjalan ke arah barat, menjauhi wilayah Jerman.
Setelah berjalan beberapa saat lamanya, dia melihat ada seorang pria tua sedang naik sepeda dan menuju ke arahnya. Menyadari dirinya tak akan mampu bergerak cepat untuk bersembunyi dengan lututnya yang sakit itu, dia lalu memutuskan untuk meminta tolong lelaki tua itu saja.
Pria tua itu mengerem sepedanya dengan kakinya, namun tak berkata sepatah kata pun. Mencoba memanfaatkan kemampuan Bahasa Perancisnya yang dulu pernah dipelajarinya di perguruan tinggi, Jack berkata," "J'Aime America" (Saya orang Amerika).
"Ya," sambut lelaki tua itu.
Ternyata Jack jatuh di pinggiran wilayah Perancis, dimana juga bertemu perbatasan Jerman dan Swiss. Pria Perancis tersebut seorang guru yang lancar berbahasa Inggris. Secara kebetulan pula, dia simpatisannya pasukan sekutu.
Pak Guru itu menyembunyikan Jack di loteng sebuah sekolahan desa dan memberinya roti, keju, dan juga pakaian ganti. Saat itu lutut Jack membengkak hingga tiga kali ukuran normalnya dan berwarna biru tua.
"Kelihatannya lututmu itu remuk," Kata guru Perancis tadi. "Jadi kami terpaksa harus membawamu ke kota Bern, Swiss, untuk mengobati kakimu itu. Sekarang kamu tidur dulu saja."
Jack berbaring di kasur jerami dan mencoba untuk tak memikirkan orang tuanya, mencoba tak membayangkan wajah kaget dan sedih ibunya, ketika menerima telegram tentang dirinya dari Departemen Peperangan.
Kakinya dirasakannya semakin sakit, sehingga dia terpaksa menyuntik morfin lagi di bawah lututnya.
Pak Guru Perancis itu membangunkan sebelum fajar merekah. Dengan duduk di sepeda, pak guru tadi memboncengkannya hingga ke dekat perbatasan Swiss.
"Berjalan lurus melintasi hutan, sementara aku menyuap penjaga perbatasan," kata pak guru itu. "Berjalan cepat-cepat dan menyusup dibawah bentangan kawat berduri pagar perbatasan. Berjalanlah saja terus sampai kamu mencapai sebuah jalan besar. Aku akan menantimu di sana."
Jack melangkah terpincang-pincang dengan lututnya terus berdenyut nyeri. Kemudian tiba-tiba pikirannya menjadi ragu-ragu. Bagaimana kalau dia menyusuri jalan yang salah nanti?
Bagaimana kalau mereka menangkap pak Guru yang menolongnya tadi?
Namun akhirnya Jack memutuskan untuk berjalan.
Itu pelajaran pertama hukum saling mempercayai dalam gerakan bawah tanah: Jangan bertanya apa pun, lakukan semua apa yang diperintahkan kepadamu, terus saja berjalan tak perduli dalam situasi yang bagaimanapun.
Akhirnya Jack memang sampai ke suatu hamparan padang terbuka yang berada di pinggiran jalan, dimana pak guru Perancis tadi duduk menantinya.
"Kamu bergerak kurang cepat!" hanya itulah yang dikatakan pak guru Perancis itu.
Setelah melakukan perjalanan selama 2 hari lagi, mereka pun sampai di kota Bern. Ketika keduanya telah sampai di pintu gerbang rumah sakit, pak guru Perancis itu langsung saja pergi menghilang.
Hal itu merupakan pelajaran kedua bagi Jack tentang bagaimana cara beroperasinya gerakan bawah tanah. Pak Guru Perancis tadi tak membutuhkan ucapan terima kasih, tak ingin mengetahui nama orang-orang yang ditolongnya atau mengingat-ingat wajah mereka.
Dengan cara seperti itu, kalau mereka sampai tertangkap pasukan Nazi, tak akan ada informasi yang bakal bocor dari mulutnya.
Ketika Jack dianggap sembuh dan bisa berjalan lagi, dia dan dua serdadu Amerika lain disarankan melintasi daerah pegunungan menuju ke Laussane. Dari kota itu, mereka harus menyeberangi danau Jenewa, menuju wilayah Perancis dan mencoba kembali ke kesatuan masing-masing lewat Spanyol atau Portugal.
Hal pertama yang dilakukan gerakan bawah tanah Perancis ialah, memisahkan ketiga serdadu Amerika itu. Jack dibawa ke Kota Annecy dan diberi instruksi-instruksi dengan cepat dalam bahasa Inggris "Jangan sekali-kali melewati jalan besar. Jangan bersiul, sebab orang Perancis jarang sekali bersiul. Jangan memasuki kota. Seseorang akan menemuimu sebelumnya nanti. Jangan pernah melewati jalan yang sama. Kalau kamu mencapai suatu pertigaan jalan sebelum ada seseorang yang menjemputm, ambillah jalan yang menuju ke arah kanan. Jangan memperhatikan rambu jalan atau papan penunjuk jalan. Kami sering memindah-mindahkannya untuk membingungkan pasukan Nazi Jerman."
Selanjutnya mereka menukar sepatu Amerikanya dengan sepatu bersol kayu dan merubah rambutnya yang berwarna abu-abu menjadi hitam, mengecatnya dengan jelaga. Dia harus nampak seperti seorang penduduk desa.
Perintah yang diberikan kepadanya ialah, untuk menyusuri sebuah jalan kecil menuju kota tertentu.
"Kamu akan dijemput setelah melewati sebuah rumah pedesaan dengan jendela kayu ber cat merah dan seekor sapi ditambatkan di pintu pagar."
"Bagaimana aku bisa mengenali orang yang akan menjemputku?" tanya Jack.
Orang Perancis itu hanya tersenyum meninggalkannya sambil menjawab, "Kamu tak perlu mengenalnya."
Percaya Diri
APA yang tak pernah dipersiapkan oleh orang Perancis itu ialah, memperingatkan Jack supaya selalu percaya diri. Ditengah kegelapan malam, yaitu waktu dimana dia harus bergerak, setiap langkah kakinya terdengar sangat jelas yang membuat hatinya kecut. Dia juga berusaha keras menahan diri supaya tak bersiul untuk menenangkan hatinya.
Setiap kali mendengar suara berisik di sekitarnya, bulu kuduk Jack langsung berdiri. Suara berkereseknya daun, suara patahnya ranting yang patah tersambar binatang yang lari. Akhirnya pada saat fajar merekah, dia melihat rumah pedesaan, dengan jendela bercat merah itu.
Namun tak nampak ada seorang pun yang keluar.
"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" pikir Jack bingung.
Tiba-tiba muncul seorang bocah lelaki, entah dari mana datangnya.
"Jangan Kelihatan Takut. Terus Saja Berjalan. Dia kan Hanya Seorang Anak Kecil," batin Jack menentramkan hatinya sendiri.
Bocah lelaki itu ternyata langsung menuju kearahnya, meskipun Jack terus berusaha menjauh darinya. Ketika Jack mencoba mendahului anak itu sambil mengambil mengangkat topinya, anak itu justru memegang tangannya.
Jack memandang anak kecil tersebut, merasa malu karena tangannya gemetar. Bocah kecil yang umurnya tak lebih dari 7 tahun itu, tanpa berkata sepatah kata pun, mengantarnya ke sebuah rumah dan menyembunyikan di dalam loteng rumah tersebut.
(Bersambung)
0 comments:
Posting Komentar