Lewat proses daur ulang, sisa organik dari hewan, manusia dan tumbuhan (bangkai, tinja, urine dan residu lainnya) yang jatuh ke tanah menjadi sumber energi bagi organisme tanah. Berangsur-angsur dilepaskanlah zat hara, terakhir dihasilkan humus - pupuk ciptaan alam dilepaskanlah zat hara, terakhir di hasilkan humus - pupuk ciptaan alam pembangun kesuburan tanah. Manusia lalu meniru proses alam itu untuk menghasilkan bahan serupa yakni kompos.
Sampai kini, sistem pertanian masih diandalkan meski jelas-jelas menguras bahan organik tanah. Tanah pun makin kurus, sehingga membutuhkan pupuk kimia makin banyak lagi untuk menghasilkan output produksi yang sama. Belum lagi dampaknya terhadap keseimbangan ekosistem biologis. Timbul ledakan-ledakan serangan hama penyakit yang sebelumnya jarang terjadi.
Kelemahan sistem pertanian kimia ini harusnya menyadarkan kita untuk kembali ke alam dengan sistem pertanian organik yang tanpa/sedikit menggunakan bahan kimia sintetis. Salah satu alternatif yang bisa dicoba adalah memanfaatkan cacing tanah, yang ternyata merupakan pembangun kesuburan yang sempurna di alam. Mereka hidup dalam lapisan tanah atas (top soil) setebal 30 - 40 cm. Kotorannya (casting) jauh lebih subur daripada humus lain.
Secara naluri mereka terus-menerus membuat liang yang menjadikan top soil gembur, berstruktur remah, stabil, dan kaya dengan kotoran cacing. Humus bentukan mikoorganisme tanah bercampur dengan kotoran cacing menjadi "vermi kompos". Penelitian membuktikan, dengan pupuk vermi kompos, produktivitas tanaman 36% lebih tinggi daripada yang dipupuk dengan kompos biasa.
Casting, selain memiliki hara lengkap dan tinggi, juga kaya enzim, hormon, dan mikroorganisme bermanfaat. Berkat kotoran cacing tanah ini, kegiatan mikrobiotik tanah ditingkatkan, sirkulasi unsur silikat (Si) terdorong sampai terserap tanaman. Padahal menurut V.T. Vernadski, seorang ahli dari Rusia, tak ada organisme yang hidup tanpa unsur Si. Kadar Si cukup dalam tanaman akan meningkatkan resistensi dan produktivitas tanaman itu.
Salah satu negara yang telah memetik hikmah cacing tanah adalah Cuba. Negara ini tertimpa krisis pertanian gara-gara embargo. Untuk menanggulangi ketergantungan pada pupuk kimia impor, para ahli pertaniannya kemudian mengembangkan paket teknologi vermi kompos (vermi culture). Program yang dimulai pada 1988 dengan modal dua kotak kecil cacing merah Eisena fetida dan Lumbricus rubellus ini, hingga 1992 telah melahirkan 172 pusat vermi culture dengan produksi total 93.000 ton vermi kompos. Sejak itu, impor pupuk kimia Cuba berkurang 80%. Mereka pun menemukan dosis vermi kompos untuk tanaman pangan, 4 ton/ha.
Programnya sendiri sederhana tapi efektif dengan pokok-pokok garapan sebagai berikut:
1. Kotoran sapi dikomposkan secara aerobik selama kurang lebih 30 hari.
2. Dibuat bedding (landasan) dari bahan kotoran ternak, blotong (limbah pabrik gula), kulit kopi, kompos sampah daun, dll. Ketebalan bedding kurang lebih 20 cm, lebar kurang lebih 150 cm, dan panjangnya tergantung ketersediaan bahan. Pilih lokasi terlindung.
3. Bedding dicampur tanah, dan bibit cacing ditebarkan di atasnya.
4. Gunakan sistem sprinkler untuk menjaga kelembapan.
5. Untuk pakan cacing diberikan periodik (1 - 2 minggu).
6. Kompos pakan cacing diberikan periodik (1 - 2 minggu).
7. Demikian seterusnya sampai timbunan kompos mencapai ketinggian kurang lebih 100 cm (krg lbh 90 hari), dan siap di panen.
8. Cacing terkonsentrasi pada lapisan teratas setebal krg lebih 10 cm. Lapisan ini dipisahkan untuk bibit.
9. Vermi kompos yang terkumpul di lapisan bawah dipanen, disaring, dimasukan kantong, dan siap dijual. Atau, langsung ditebar di kebun.
Cacing yang tidak dipakai untuk bibit bisa dikeringkan, dan diolah untuk pakan ternak. Kandungannya yang 75% protein, sedikit lemak, dan mudah dicerna cocok untuk suplemen protein bagi ternak.
Mari selamatkan bumi kita lewat program vermi culture dan pertanian organik!
Source: Majalah Intisari, no.468 - Juli 2002
2 comments:
kapan kapan mau ternak cacing ahhh
wah, info yang menartik gan.. salam kenal
Posting Komentar