SETIAP orang kota pasti sudah mendengar gas buangan knalpot kendaraan bermotor tidak sehat. Gas yang terutama berupa karbon monoksida (CO) itu akan digabung oleh hemoglobin dalam tubuh kita. Akibatnya, hemoblobin ini tidak mampu mengangkut oksigen lagi. Padahal oksigen ini perlu untuk "membakar" zat makanan, agar menghasilkan energi dalam tubuh. Energi inilah yang membuat kita segar bugar.
Tapi gara-gara menghirup gas itu, tubuh kekurangan oksigen, lalu ngantuk, lesu, tak bersemangat. Kalau yang dihirup itu udara knalpot yang lebih pekat, kepala ikut pusing, perut mual, pingsan atau mati pelan-pelan.
Di luar negeri, kota besar yang "sakit knalpot" semacam itu berusaha membatasi pengeluaran gas buangan dengan bermacam-macam pengaturan lalu-lintas dan teknik otomotif. Di Kota Lubeck, dekat Hamburg, misalnya mobil pribadi tidak boleh masuk pada hari Sabtu pertama dari setiap bulan.
Pada hari itu, orang hanya boleh datang sampai batas gerbang masuk. Disana disediakan tempat parkir mobil pribadi, taksi dan bus. Penumpang dipersilahkan berjalan kaki memasuki kota itu. Atau naik sepeda. Kalau yang dituju jauh, boleh naik taksi atau bus yang masih boleh memasuki kota.
Di kota itulah, orang mengalami sensasi baru. Mereka bisa leluasa berleha-leha menikmati udara segar yang sudah jauh berkurang gas buangan knalpotnya.
Pada kita, pengaturan semacam itu baru merupakan "berita mancanegara" saja.
Sebenarnya kita sendiri juga bisa mulai mengurangi menghirup udara knalpot ini. Kalau hanya ke toko dekat saja, ya cukup berjalan kaki. Kalau agak jauh, ya pakai sepeda. Kalau tidak perlu sekali, tidak memakai mobil pribadi, "terjun" ke jalan raya.
Kalau setiap anggota masyarakat kota mau mengurangi pemakaian mobil, niscaya udara kota sempat pulih kesegarannya, seperti pada hari Sabtu dan Minggu, ketika sebagian besar warga kota yang bermobil libur santai di rumah, atau istirahat di pegunungan.
Tapi benarkah udara knalpot itu mengganggu? Nyatanya banyak warga kota yang tenang-tenang saja bekerja, makan dan minum di tepi jalan sebagai pedagang kaki lima.
Udara knalpot memang tidak apa-apa kalau kepekatannya tidak seberapa, karena berbaur dengan oksigen dari udara segar. Apalagi di jalan yang kanan-kirinya hijau ditanami pohon-pohon peneduh. Tapi yang pada suatu waktu terkonsentrasilah, yang membuat orang pingsan. Misalnya gas yang terkumpul dalam kabin, melalui lubang bocoran pada body dan knalpot, karena mobil berlama-lama merayap, gara-gara jalan macet total. Bukan salah jalannya, tapi kita sendiri, mengapa terjun ke jalan macet.
"Pakai AC 'kan? Mobil juga ditutup rapat-rapat!" bela sementara orang. Kebanyakan dari kita memang percaya bahwa duduk tersekap rapat dalam mobil lebih aman daripada berada diluarnya. Tapi hasil penelitian Friends of the Earth dan Koran The Sunday Times di Inggris menunjukkan, bahwa kadar CO dalam kabin ternyata 3 kali lebih pekat daripada di udara luar. Penelitian itu juga menunjukkan pentingnya perawatan bodi kendaraan, jangan sampai ada bocoran dibiarkan terlalu lama memasukkan udara knalpot, lalu meracuni penumpangnya.
Gas buangan knalpot yang tersekap dalam garasi tertutup juga sama jahatnya. Padahal garasi itu bersebelahan banget dengan kamar tidur kita. Karena itu, memanaskan mesin waktu pagi sebaiknya menghadapkan lubang knalpot ke arah jalan atau udara luar. Tidak ke arah rumah, apalagi jendela kamar tidur. Lagi pula tidak usah lama-lama. Cukup sampai jalannya mesin terdengar teratur mulus saja.
Source: Majalah Intisari, no.371 - Juni 1994
3 comments:
betuuulll.... orang indonesia terkenal pemalas. ke warung depan saja, naik motor..
ckck...
jalan kaki merupakan barang mahal...
salam,
Stylish Generation
paling sebel deh klo udah kebauan atau kena asap knalpot, apalagi asep dari bus.. buh rasanya pengen marah2 aja...
SALAM,
mampir yaa ^^
asap knalpot lebih berbahaya dari pada asap rokok
Posting Komentar