Lebih dari 30 tahun sebelumnya William Herschel, pegawai pemerintah Inggris di India, sekitar tahun 1858 melihat bahwa permukaan tangan itu bergaris-garis, dan bahwa sidik jari tiap orang itu khas, serta tak berubah.
Ketika kembali ke London tahun 1880, Herschel membaca tulisan Dr. Henry Faulds dalam jurnal Nature tentang sidik jari. Menurut Faulds yang lama bekerja di Jepang, sudah berabad-abad masyarakat lokal menggunakan sidik jari. Bahkan, keringat dari pori-pori di ujung jari meninggalkan cetakan sejelas bercak darah atau tinta. Faulds pun menganjurkan polisi untuk mencari sidik jari pada setiap lokasi terjadinya kejahatan. Sayangnya, sama seperti Faulds, tulisan Herschel pada Nature pun tidak diperhatikan orang. Sampai pada 1888, saat ilmuwan masyhur Inggris, Sir Francis Galton - yang sedang mencari-cari metode mengidentifikasi pelaku kejahatan - ingat karya Faulds dan Herschel. Galton yang kemudian menjadi pendukung fanatik sidik jari berpendapat, perlu sistem klasifikasi sederhana bila cetakan sidik jari akan digunakan dalam praktik sehari-hari dinas kepolisian.
Baru 1869 Edward Henry, ketika inspektur jenderal di Bengali, India, berhasil menemukan sistem yang disebut sistem klasifikasi Galton-Henry. Lima tahun kemudian metode klasifikasi itu digunakan oleh Scotland Yard.
Selanjutnya dikenallah dactyloscopy, yaitu ilmu penggunaan sidik jari sebagai alat identifikasi yang sangat diperlukan pelaksana hukum modern. Termasuk didalamnya adalah membersihkan jari dengan bensin, mengeringkannya, kemudian menggulingkannya ke permukaan gelas yang telah dilapisi tinta cetak. Selanjutnya jari-jari itu dengan hati-hati di tempelkan ke kartu hingga menghasilkan cetakan abu-abu terang dengan jarak antara guratan terbaca jelas sehingga bisa dihitung dan dilacak.
Untuk mencari sidik jari tersembunyi yang ditinggalkan oleh penjahat, dikenal sebagai sidik jari laten, ahli sidik harus menemukan lokasi sidik, mengawetkan, dan mengidentifikasi cetakan sidik jari tersebut. Dalam sidik jari laten, guratan-guratan itu tidak direproduksi dengan tinta, tetapi zat lain seperti keringat, lemak kotoran, atau bahan-bahan alami lain yang ada pada jari si penjahat. Kebanyakan sidik jari laten tidak berwarna karenanya perlu dibuat "kasat mata" dengan mengoleskan bubuk abu-abu atau hitam yang berisi kandungan kapur atau jelaga di campur dengan zat lain. Selanjutnya sidik jari laten itu difoto atau diangkat dengan selotip untuk disimpan sebagai bukti.
Bila Galton-Henry membagi pola sidik jari menjadi 5 tipe dasar, maka FBI AS, mengelompokkan menjadi 8 pola: radial loop (melengkung ke jempol), ulnar loop (melengkung kelingking), double loop (dua lengkungan), central pocket loop, plain arch, tented arch (menjulang runcing seperti menara atau gunung), plain whorl (garis melingkar atau spiral), dan accendental. Sidik jari kelompok loop mendominasi kurang lebih 65% dari seluruh pola sidik jari, di susul whorl kurang lebih 35%, selanjutnya gabungan kelompok arch dan tented yang cuma 5%.
Sejak 1920-an FBI resmi menggunakan sistem itu. Hasilnya hingga saat ini FBI menyimpan rapi lebih dari 140 juta set sidik jari dalam komputer, sehingga tugas pembandingan dan pengidentifikasiannya bisa dilakukan dengan cepat.
Meski sistem klasifikasi Galton-Henry paling banyak digunakan dinas kepolisian diseluruh dunia, dikembangkan pula teknik lain, misalnya dengan spektograf suara yang dapat memberi cetakan grafik berbagai variabel suara seperti frekuensi, intensitas, dan panjang suara. Sedangkan tes DNA bisa mengidentifikasi seseorang melalui berbagai jenis unsur fisik ditemukan, misalnya percikan darah, cairan air mani, atau sehelai rambut. Tes DNA itu banyak digunakan dalam pembuktian hubungan kekerabatan seseorang, sebagaimana dalam forensik.
Source : Majalah Intisari, no.394 - Mei 1996
0 comments:
Posting Komentar