SETIAP kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu timbul gejolak. Soalnya pasti di ikuti kenaikan harga barang dan jasa. Di masa normal saja sudah memberatkan, apalagi dimasa krisis seperti saat ini. Tak heran jika awal oktober 2000 lalu, banyak kelompok masyarakat di berbagai kota berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, yang mulai diberlakukan pemerintah sejak 1 oktober 2000.
Batu Bara |
Orang kebanyakan tidak menyadari kalau harga BBM di Indonesia bertahun-tahun disubsidi oleh pemerintah, Padahal duit yang dipakai untuk menomboki kekurangan itu duit milik rakyat.
Akibat harga murah itu, kita terlena dan cenderung boros. Tidak terpikirkan bahwa minyak bumi termasuk sumber daya alam tak terbarukan. Artinya, bisa habis jika di konsumsinya tetap, cadangan itu akan habis dalam tujuh tahun mendatang! Bahkan dengan bertambahnya jumlah penduduk, industri, dan kendaraan motor masa krisis BBM akan lebih cepat lagi datangnya.
Memang, ancaman krisis BBM ini mengglobal sifatnya. Karenanya banyak negara maju yang melakukan penelitian untuk menemukan teknologi yang bisa menghasilkan sumber energi alternatif. Salah satunya adalah mengubah batu bara (BB) menjadi BBM. Konversi inilah yang kini tengah diteliti di Indonesia, mengingat persediaan batu bara melimpah.
Pakai teknik pencairan langsung
Konversi dilakukan dengan mencairkan BB menggunakan tekanan dan suhu ekstratinggi. Batu bara yang dicairkan merupakan batu bara muda (lignit, kandungan airnya tinggi sekitar 30%) yang tidak laku dijual mentah-mentah.
Menurut Ir. Hartiniati Soedioto, M.Eng., manager Program Pencairan Batu Bara , dan Direktorat Konversi dan Konversi Energi, Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT), biaya untuk mendapatkan minyak dari hasil pencairan BB bisa lebih murah ketimbang harga minyak bumi. Dari perhitungannya, harga jual minyak dari proses pencairan BB sekitar AS $ 18 - 19 per barel. Sementara harga minyak mentah belakangan ini berkisar AS$ 30 per barel.
Lambok Hilarius Silalahi, M.Eng., anggota tim peneliti Program Pencairan Batu Bara, menambahkan, perbandingan nilai komersial minyak hasil pencairan BB dengan minyak mentah adalah 1,3 : 1. Artinya harga 11 minyak BB 1,3 kali harga 11 minyak bumi. Ini terjadi karena dalam minyak BB sudah tidak terkandung minyak berat atau residu, sementara dalam minyak mentah masih ada residunya. Agar punya nilai ekonomi, residu itu diproses lebih lanjut menjadi produk sertaan (by-product).
Ada dua cara pencairan yakni direct dan indirect liquefaction. Pada direct liquefaction (pencairan langsung), BB dicairkan secara langsung menjadi minyak. Sedangkan pada indirect liquefaction (pencairan tidak langsung), BB diubah dulu menjadi gas melalui proses gasifikasi, baru kemudian di cairkan.
Dari penelitian yang telah dilakukan, batu bara di Indonesia bisa dicairkan secara langsung dengan teknologi brown coal liquefaction (BCL) dari Jepang, yang bersama-sama BPPT dikembangkan lagi agar bisa digunakan sesuai dengan jenis BB kita.
Menurut Hartiniati, ini dimungkinkan lantaran kandungan abu batu bara kita rata-rata rendah, yakni sekitar 5%. Sementara pencairan tidak langsung dipilih bila kandungan abunya tinggi seperti BB Afrika Selatan yang kadar abunya 30-40%. "Kalau tidak digaskan dulu, abu di pabrik bisa meyumpal dimana-mana," jelas Hartiniati. Dalam proses gasifikasi itulah abu dipisahkan.
Secara kimiawi proses pencairan akan mengubah bentuk hidrokarbon batu bara dari bentuk kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Untuk itu rantai atau ikatan ring aromatik hidrokarbonnya harus dipotong. Caranya dengan menggunakan dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal de composition).
Setelah dipotong, luka potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya, perlu adanya pengikat atau stabilisator. Pengikat itu adalah gas hidrogen. Karena itulah dalam pencairan batu bara proses pengikatan tadi sering disebut juga proses hidrogenasi.
Gas hidrogennya dapat diperoleh dari semua jenis energi fosil hidrokarbon seperti gas alam, batu bara, dan sebagainya. Atau, melalui proses elektrolisa air.
Pada awal studi yang dilakukan BPPT, gas hidrogen yang hendak digunakan diambil dari proses steam reforming gas alam. Sayangnya, berdasarkan hasil investigasi, ternyata persediaan gas alam didaerah Sumatra tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 25 tahun masa operasi pencairan batu bara dengan kapasitas produksi 120 - 140 barel per hari. Alternatif teknologi pun dicari. Hasilnya, penyediaan gas hidrogen dilakukan lewat proses gasifikasi yang juga menggunakan bahan baku BB.
Dari proses pencairan BB diperoleh intermediate product berupa minyak, sebutlah minyak "setengah jadi". Jumlahnya sekitar 63% dari jumlah BB yang dicairkan. Selanjutnya, minyak "setengah jadi" itu di fraksinasi (diurai) menjadi berbagai BBM siap pakai.
Menurut Lambok, pada proses fraksinasi bersuhu 180 - 220 derajat celcius dihasilkan naptha (premium). Pada temperatur 220-260 derajat celcius diperoleh kerosine (minyak tanah), dan pada suhu 260 - 300 derajat celcius didapat diesel oil (solar) untuk industri maupun otomotif, termasuk aviation turbine oil (avtur). Persentase hasilnya kira-kira, light oil (premium) sebanyak 28%, middle oil (minyak tanah dan solar) 60-70%.
(Bersambung)
0 comments:
Posting Komentar