IBARAT NEGARA, rumah susun adalah sebuah republik egaliter yang kaya warna dan cerita berkat keragaman latar belakang, suku bangsa dan profesi warga yang menghuninya.
Bayangkan, satu saat Anda mendapati tetangga sebelah adalah seorang pengacara yang punya ritual berkaraoke lagu-lagu Panbers sebelum pergi ke kantor di pagi hari. Dan ketika dia pindah, unit itu ditempati pasangan muda dengan balita yang hobi menangis semalaman, bahkan ketika sang ayah sudah mati-matian mengajaknya bermain sampai pukul satu pagi.
"Untung kita cuma sementara tinggal di sini. Bisa gila kalau setiap hari bangun terpaksa karena tangisan Bonny", kata istri saya bersungut. Saya hanya menanggapi perkataannya dengan senyum kecut. Ketika pertama kali memutuskan tinggal di salah satu blok Rumah Susun Petamburan, Jakarta, saya memang berjanji kepadanya bahwa unit di lantai lima itu hanya akan menjadi tempat tinggal sementara sebelum kami membeli rumah baru.
Kenyataannya? Sudah hampir enam bulan kami tinggal disini dan bayangan punya rumah sendiri makin hari makin buram saja. Harga rumah yang merambat naik -- bahkan di pinggiran kota sekalipun - membuat kami tidak punya pilihan lain kecuali memperpanjang kontrak sewa unit berkamar satu itu setiap tiga bulan sekali.
"KALAU KAMPUNG gua nggak kena gusur, gua mungkin nggak akan punya tetangga atau teman yang bekerja sebagai wartawan, pengacara atau juga polisi. Orang-orang yang selama ini hanya gua baca dan dengar keberadaannya, sekarang tinggal di depan atau samping unit gua. Tinggal di rusun bikin gua dapat ilmu banyak," kata Phi'ay, 33 tahun, pria Betawi yang membantu saya mencari unit kosong untuk ditempati awal tahun lalu.
Bersama istri dan dua orang anaknya, Keluarga Phi'ay adalah segelintir warga "terprogram" (istilah korban gusuran yang mendapat ganti rugi berupa satu unit rumah susun yang dibangun di atas lahan gusuran) yang masih tinggal di rumah susun dengan 600 unit itu. Selebihnya memilih menjual unit mereka kepada warga pendatang yang kemudian menempatinya sendiri atau menyewakannya kepada orang lain - seperti saya dan istri.
Bisa jadi, yang dimaksud Phi'ay dengan ilmu aneka topik obrolan yang mengalir setiap kali tetangga-tetangganya, termasuk saya, nongkrong di teras depan unitnya. Saya sendiri baru mengembangkan hobi happy hour murah meriah ini beberapa minggu terakhir. Dan ternyata, bukan hanya Phi'ay yang "menimba" ilmu lewat obrolan ngalor-ngidul itu. Saya pun jadi tahu dan mengenal beragam karakter menarik yang mendiami enam blok rumah susun kami. Anthony, 50 tahun, misalnya, adalah warga negara Belanda yang "terdampar" di rumah susun karena bercerai dengan istri pertamanya. Krisis perkawinan tersebut, sialnya, juga menjadikan Anthony terdepak dari rumah seluas 600 meter di pinggiran Jakarta yang dibelinya dari honor menjadi pengajar bahasa Inggris privat selama hampir 15 tahun.
Anthony kini tinggal di lantai lima bersama istri keduanya, hidup dari honor mengajar yang berkurang drastis -meski jumlah Rp. 8 juta per bulan masih membuat mulut kami, peserta tongkrongan, ternganga. Jika dulu kemana-mana naik mobil dengan sopir pribadi, Anthony kini tidak malu menyetop taksi atau naik busa Patas ke tempat mengajar. "Nggak takut kepanasan dan bau matahari?" tanya saya iseng. "No, no, no. Turun dari bus, saya cari gedung perkantoran terdekat dan duduk lima menit di lobi. Panas hilang, armpit saya kering lagi," kata Anthony sambil "mengepakkan" lengannya dengan jenaka.
Biasanya, acara nongkrong di hari kerja berakhir sebelum pukul dua belas malam dan diperpanjang sampai menjelang subuh jika keesokan harinya libur. "Hidup di rumah susun sebenarnya tidak beda dengan area perumahan lain. Kita punya tetangga dan ada sejumlah aturan main yang harus dipatuhi. Bedanya, disini ketika membuka pintu depan, ada sekitar 10 unit dalam jarak pandang Anda yang membuka pintu unit mereka juga," kata Mantri, 35 tahun, pegawai perusahaan farmasi yang juga tinggal di rusun sejak tahun lalu.
Awalnya Mantri tinggal satu blok dengan saya. Gara-gara sebuah "insiden", dimana anak Mantri yang baru berumur empat tahun secara tak sengaja menyaksikan adegan 17 tahun ke atas yang dilakukan oleh tetangga mereka. Mantri cabut dan pindah ke blok sebelah. "Jika saya punya cukup uang, saya ingin pindah dari rumah susun ini. Lingkungannya kurang cocok untuk membesarkan anak."
BENAR KATA PHI'AY, hampir semua profesi terwakili di rumah susun kami ini, mulai dari pekerja pagi sampai pekerja malam -- profesi yang membuat Mantri terpaksa pindah unit. Saya tak sengaja menemukan fakta ini ketika satu pagi iseng menaiki semua lantai di enam blok rusun, sebagai ganti aktivitas jogging pagi di seputar Stadion Senayan.
Dan ungkapan "birds of the same feather flock together" ternyata berlaku juga di sini.
Blok satu sampai blok tiga sebagian besar dihuni oleh pekerja pagi, mulai dari pegawai pemda, wartawan, manajer pemasaran sampai penjaga butik bermerek. Blok empat, entah kenapa lebih variatif. Kapster salon, mahasiswa, warga asing yang berprofesi sebagai pedagang, sampai bartender. Di blok enam, sebagian besar penghuninya tidur lelap di pagi hari dan baru mulai bekerja ketika malam beranjak larut. Pukul setengah tujuh pagi, dengan napas tersengal, saya sudah sampai di blok empat dan terkejut menyaksikan sebuah salon lantai satu sudah mulai beroperasi dan pemiliknya tengah serius memotong rambut seorang langganan.
Dua tahun lalu, Devi, 35 tahun, adalah seorang pekerja seksual yang beroperasi di Taman Lawang dan bolak-balik menghuni Panti Sosial Kedoya, Jakarta Barat, jika musim pembrengsongan (razia) tiba. Kehidupan di jalan yang makin membahayakan membuat Devi memutuskan memakai uang tabungannya untuk memulai hidup baru di rumah susun. Ruang tengah berukuran 2,5m x 2m dijadikannya salon kecantikan yang siap melayani penghuni rusun selama 24 jam non-stop. Mata saya tertumbuk pada deretan foto-foto Devi dengan para mantan pacar -kebanyakan berasal dari Eropa - yang menghiasi dinding salon, berdampingan dengan ijazah kursus tata rambut.
"Di sini saya bisa cari makan dengan buka salon 24 jam, tanpa harus menghadapi cibiran masyarakat sekitar. Di pemukiman lain, siapa yang bisa jamin keamanan usaha seorang waria?" kata Devi sambil asyik merapikan potongan rambut kliennya. Awalnya, Salon Devi hanya buka sampai pukul delapan malam. "Tapi pukul dua atau lima pagi ada saja yang datang untuk potong rambut. Ya sudah, saya putuskan buka salon non-stop. Rezeki, kan nggak boleh di tolak ya, Mas?"
MESKI SADAR UNIT yang mereka tempati hanya seluas 21 m persegi, semangat wiraswasta warga rusun cukup mengagumkan, apapun alasan dibalik itu. Pagi itu saya menghitung tidak kurang dari 20 unit yang membuka usaha warung makan, 12 agen laundry, 10 wartel, 4 salon dan... sebuah spa!
Naik ke lantai lima di blok empat, saya disambut sebuah kandang kucing setinggi tubuh saya yang berisi tiga ekor kucing anggora yang tampak malas. Pemiliknya adalah lajang berusia 34 tahun yang rela merogoh kocek sebesar Rp. 35 juta untuk membeli unit yang dia tempati dari pemilik asli, sekaligus mengubahnya menjadi hunian layaknya apartemen. "Biar hanya rumah susun, kenyamanan tetap yang utama," ujar Gatur sambil mempersilahkan saya masuk melihat-lihat unitnya.
Dengan biaya renovasi sama dengan harga beli unit, Gatur merombak total ruangan dengan membobok dinding pemisah antara ruang tengah dan kamar tidur, sehingga ruang tengah menjadi lapang dan kucing-kucing anggoranya dapat lalu-lalang dengan bebas. Sedang bagian atas unit yang tingginya tak lebih dari satu setengah meter, dijadikan Aris kamar tidur lengkap dengan balkon mini berhias jejeran tanaman dalam pot.
Saya pun tidak berani membandingkan kenyamanan unit Aris dengan unit yang saya tempati. Ketika saya menuruni lantai lima, di tembok samping tertera peraturan Pemda yang melarang perombakan sebuah unit tanpa berkonsultasi dengan pengelola rumah susun.
HARI INI saya absen dari kegiatan nongkrong malam di unit Phi'ay. Mungkin karena terlalu lelah sehabis naik turun lima lantai di enam blok tadi pagi. Mungkin juga karena sibuk memikirkan jawaban untuk pertanyaan setengah bercanda dari istri saya, "Berapa lama lagi, nih, kita jadi warga negara Republik Rumah Susun?"
Di teras luar, tetangga kami yang berasal dari Timur Tengah sedang beradu mulut dengan kekasihnya. "Please, don't angry. I still love you, Mahmood. You still love me, ya?" tanya si kekasih dengan bahasa Inggris terpatah-patah. Saya kini tidak tahu, mana yang lebih mengganggu tidur malam kami; tangisan bayi rewel atau isak menghiba seorang wanita kepada kekasihnya.
Sebagai warga negara republik rusun yang cinta damai, hal terbaik yang dapat kami lakukan adalah menutup telinga rapat-rapat sambil mencoba tidur di tengah konflik antarbangsa yang kian menghebat itu.
Selamat datang di Republik Rumah Susun.
Source: Reader's Digest Indonesia - Agustus 2005
0 comments:
Posting Komentar