Fungsi utama zat besi bagi tubuh adalah mengangkut oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), serta membentuk darah, Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh setiap harinya hanya 1 mg atau setara dengan 10 - 20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi dalam pangan nabati berbentuk ikatan ferri. Di dalam tubuh, ikatan ferri ini harus dipecah terlebih dulu dalam bentuk ferro oleh getah lambung. Dalam pangan hewani, zat besi sudah berada dalam bentuk ikatan ferro oleh getah lambung. Dalam pangan hewani, zat besi sudah berada dalam bentuk ikatan ferro yang lebih mudah diserap. Dalam bahasa ilmiah, zat besi dari pangan hewani sering disebut heme-iron, sedangkan yang berasal dari nabati disebut nonheme-iron.
Jumlah zat besi yang dikeluarkan melalui urine, keringat, dan faeses 0,5 - 1,0 mg per hari. Pada wanita jumlah zat besi yang dikeluarkan dua kali lipat lebih banyak daripada pria akibat adanya menstruasi.
Pada masa hamil trimester pertama kebutuhan zat besi sedikit karena tidak terjadinya menstruasi dan pertumbuhan janin pun masih lambat. Tapi, menginjak usia kehamilan trimester kedua sampai ketiga, terjadi pertambahan sel darah merah. Pada saat melahirkan akan terjadi kehilangan darah dan diperlukan tambahan besi 300 - 350 mg. Wanita hamil sampai saat melahirkan memerlukan zat besi sekitar 40 mg/hari atau dua kali lipat kebutuhannya di saat kondisi normal (tidak hamil).
Tidak mengherankan bila banyak wanita hamil akhirnya menderita anemia gizi besi karena kebutuhannya meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi.
Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah 70%. Ini berarti 7 dari 10 wanita hamil menderita anemia. Selain konsumsi makanan yang buruk, anemia pada ibu hamil disebabkan oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan zat besi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah sebabnya pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan, sehingga ibu siap untuk menerima janin kembali tanpa harus menghabiskan cadangan besinya.
Ibu hamil, karena sakit hati-hatinya, suka berpantang makanan tertentu. Ada yang tidak mau makan telur, daging, hati atau ikan karena alasan yang tidak rasional. Padahal pangan tersebut sumber zat besi yang mudah diserap tubuh. Penyuluh gizi sering tidak berdaya kalau sudah menyangkut aspek sosio-budaya yang telah dipercaya masyarakat secara turun-temurun.
Suatu penelitian menunjukkan, angka kematian ibu yang tinggi berhubungan erat dengan anemia yang dideritanya ketika hamil. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak tercukupi kebutuhannya akan oksigen. Pada anak-anak yang menderita anemia dilaporkan, kemampuan mental dan intelektualnya rendah. Hal ini ditandai dengan sikap apatis, iritabilitas yang tinggi, rendah konsentrasi, dan rendah kemampuan belajarnya.
Penderita anemia berat biasanya juga rentan terhadap infeksi. Hasil penelitian menunjukkan, hewan percobaan yang sedang bunting dan kekurangan zat besi melahirkan anak-anak yang daya tahannya rendah terhadap infeksi tidak dapat berfungsi maksimal gara-gara kekurangan besi.
Namun ada jenis-jenis bakteri tertentu yang tumbuh subur bila lingkungannya banyak mengandung zat besi, misalnya Salmonella dan Mycobacterium tuberculosis. Karena itu untuk kasus anemia ringan dan penderita sudah mempunyai gejala-gejala infeksi, sebaiknya jangan diberikan suplemen besi, tetapi harus diupayakan perbaikan menu makanannya untuk memenuhi kekurangan zat besinya.
Keadaan kurang zat besi merupakan fenomena yang kompleks. Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi tidak mengandung zat besi, peningkatan kebutuhan karena kondisi fisiologis (kehamilan), kehilangan darah karena kecelakaan, dan infeksi (kecacingan). Golongan masyarakat yang rawan dengan kondisi ini adalah masyarakat miskin, mereka yang tinggal di daerah dengan sanitasi buruk, dan golongan rawan gizi (anak-anak ataupun ibu hamil).
Salah satu upaya mengatasi anemia dengan memperbaiki menu makanan. Dengan mengkonsumsi daging, ikan, dan ayam serta bahan makanan yang mengandung vitamin C untuk membantu penyerapan besi, kita dapat mencegah anemia. Tetapi cara ini sulit dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Sedangkan bagi ibu hamil sangat disarankan minum pil besi selama tiga bulan yang harus diminum setiap hari. Pil ini dibagikan secara gratis melalui kegiatan posyandu. Suatu penelitian menunjukkan bahwa wanita hamil yang tidak minum pil besi mengalami penurunan ferritin (cadangan besi) cukup tajam sejak minggu ke-12 usia kehamilan.
Fortifikasi merupakan upaya lain untuk mengatasi kekurangan zat besi. Prinsip fortifikasi adalah menambahkan zat gizi mikro (zat besi) ke dalam bahan makanan yang banyak di konsumsi masyarakat. Bahan makanan yang ditumpangi tersebut disebut wahana. Syarat fortifikasi adalah, jenis makanan yang dijadikan wahana harus diproduksi secara tersentralisasi. Dengan demikian pengawasan oleh pemerintah menjadi mudah. Syarat lain, bahan makanan tersebut tidak mengalami perubahan warna maupun rasa, serta harganya tetap terjangkau oleh masyarakat.
Di Amerika dan negara-negara Eropa, tepung gandum dan roti telah difortifikasi dengan sukses. Zat besi yang ditambahkan dalam fortifikasi tersebut dapat memenuhi 20% angka kecukupan gizi yang di anjurkan. Di Filipina, fortifikasi besi dilakukan pada beras, tetapi efektivitasnya belum diketahui. Di India, fortifikasi garam dapur dengan zat besi telah dapat diterima oleh masyarakat. Sementara di Indonesia sampai saat ini baru fortifikasi garam dengan iodium yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi masalah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium).
Banyak masyarakat yang menganggap anemia dapat pula terjadi karena defisiensi (kekurangan) vitamin B12 atau pun asam folat. Para vegetarian yang konsumsi makanannya tidak mengandung atau mengandung sedikit sekali vitamin B12 cenderung menderita anemia jenis ini.
Gejala-gejala anemia karena kekurangan vitamin B12 atau asam folat ialah lesu badan, lemah, dan gangguan intestinal (saluran pencernaan) yang menyebabkan diare atau konstipasi (sulit buang air besar). Defisiensi vitamin B12 juga ditandai dengan gejala kesemutan pada anggota gerak lengan dan kaki, lemahnya kontrol otot, dan lemahnya ingatan.
Source: Majalah Intisari, no.410 - September 1997
0 comments:
Posting Komentar