Dari manager hotel pula saya meminjam sepeda setelah mempelajari peta Kota Funafuti yang terpancang di lobi. Funafuti ternyata demikian kecilnya, sehingga tidak memerlukan sistem penamaan jalan. Setiap gedung-gedung utama tercantum di peta. Daerah pemukiman berpusat di sekitar bandara Landasan berawal dari pinggir laut menuju ke darat di Utara, dibagian pulau yang "ramping" sepanjang 1,5 km. Disisi barat landasan terletak kompleks Divisi Pekerjaan Umum yang dibangun dengan biaya 1 juta dolar Australia sebagai bantuan dari pemerintah Selandia Baru. Disebelah timur ada dua jalan sejajar landasan. Di bagian utara di sisi landasan terletak kompleks kediaman pejabat pemerintah Tuvalu: gubernur jenderal, perdagangan menteri, dan lima orang menteri.
Dengan santai saya mengayuh sepeda yang cukup ringan. Sebuah sepeda lumayan baru, dengan rem torpedo, dan ban besar. Sebenarnya saya sudah tidak pernah naik sepeda selama 30 tahun terakhir, kecuali beberapa jam ketika keliling Male, ibu kota Republik Maladewa yang kecil juga, tiga tahun yang lalu. Lalu-lintas menganut sistem sebelah kiri, sesuai aturan Inggris. Jalan-jalan semua beralaskan tanah yang cukup licin, tidak satu pun yang beraspal.
Saya tidak melihat rambu lalu-lintas maupun polisi di jalanan. Jumlah kendaraan bermotor sangat sedikit. Konon hanya sekitar 50 buah saja, sebagian besar berupa pikup atau bus mikro, jip yang agak tua.
Mobil sedan tidak ada. Ada juga sepeda kumbang dan sepeda motor, yang semuanya tua. Ada kendaraan yang berfungsi sebagai bus yang mondar-mandir ke segala penjuru sesuai permintaan penumpang, dengan biaya 30 sen (Rp.400,00). Selebihnya semua orang, pria maupun wanita dari segala umur, banyak yang naik sepeda.
Tidak ada salon rambut
Pusat kota terletak dalam radius 200 m dari Hotel Vaiaku Lagi. Kecuali bandara dan dua buah gereja, disitu kita jumpai semua kantor pemerintah, pertokoan, sekolahan, dan rumah sakit. Semua bangunan berbentuk rumah biasa dari kayu dan batu bata yang sederhana dan agak tua. Satu-satunya gedung berlantai dua ialah The National Bank of Tuvalu. Lantai atas dipakai sebagai kediaman general manager-nya. Selanjutnya di sekitar situ terdapat kantor polisi, kantor pos, kantor filateli, Perpustakaan Nasional, Pusat Kerajinan Tangan. Di tempat yang terakhir ini dipamerkan kerajinan anyaman: tikar dan topi, kalung dari kerang, kotak ukiran kayu. Semua sangat sederhana mutunya. Sebuah pendopo yang cukup luas, bertuliskan Toaso Lima, berfungsi sebagai gedung pertemuan umum dan sekolah dasar. Ada pula University of the South Pacific, Extension Centre yang menyelenggarakan kursus di bidang keguruan dan administrasi perusahaan. Nampak pula sebuah gereja aliran Bahai.
Di kompleks pertokoan hanya ada sepuluh toko kecil dan sederhana, masing-masing menjual keperluan penduduk, seperti bahan makanan, pakaian, alat rumah tangga, peralatan mengail, dan potong rambut. Saya tidak melihat ada salon kecantikan, atau toko cuci-cetak foto.
Tidak ada malaria
Siang itu saya menyempatkan diri mampir ke satu-satunya rumah sakit: Princess Margareth Hospital. Saya memperkenalkan diri sebagai dokter, dan dilayani seorang perawat senior yang sedang bertugas. Rumah sakit itu dilayani dua orang dokter, seorang dokter gigi, dan seorang apoteker, dengan kapasitas 31 tempat tidur. Jumlah tenaga paramedis 15 orang, 5 orang bidan. Pada saat itu ada 11 penderita yang sedang dirawat, dua orang di antaranya menderita TBC. Di Tuvalu tak ada malaria. Pelayanan kesehatan diberikan secara cuma-cuma, termasuk rawat nginap.
Kegiatan pemerintah terpusat di gedung perkantoran yang cukup luas, tetapi juga sederhana. Para pejabat pemerintah tinggal di kompleks khusus di ujung landasan. Meskipun tampak biasa, tapi lebih mewah dibandingkan rumah-rumah penduduk lainnya. Untuk ukuran Indonesia, tidak melebihi rumah golongan menengah yang sederhana.
Rumah-rumah penduduk agak terpisah, diktari halaman luas. Semua serba sederhana. Rumah selalu terbuka, dengan banyak jendela, dan ruang tamu yang luas beralaskan tikar. Perabotan rumah seperti kursi, meja, bupet, dirapatkan ke dinding. Terkadang tampak penghuni tiduran di tengah ruangan.
Halaman rumah pada umumnya ditanami pohon kelapa, pisang, sukun, pepaya, sejenis pandan yang tinggi besar, mangga, talas. Tanaman hias berupa kamboja, flamboyan, bugenvil, kembang sepatu.
Kecuali jalan yang langsung di sisi landasan, semuanya rindang sehingga nyaman juga untuk bersepeda. Suhu sebenarnya cukup panas, 31 derajat celcius, namun tidak terlalu terasa karena angin laut sangat kencang.
Setiap orang boleh dikata memperhatikan saya bersepeda keluar-masuk perkampungan. Mereka selalu membalas salam saya. Mereka tampak ramah, dan saya sempat mengobrol dengan sekelompok pemuda. Setelah dua jam saya merasa cukup melihat Funafuti dan kembali ke hotel.
Disko semalam suntuk
Hotel Vaiaku Lagi merupakan satu-satunya sarana penginapan di Tuvalu milik pemerintah. Bangunannya cukup luas, berbentuk kotak, berlantai satu. Batu pertama pembangunan hotel itu diletakkan sendiri oleh Ratu Elizabeth II dari Inggris pada tanggal 27 Oktober 1972. Sebuah prasasti di bagian depan hotel prasasti di bagian depan hotel menyatakan bahwa Ratu Elizabeth II pada kesempatan itu juga telah menanam sebuah tunas kelapa. Pohon kelapa itu sekarang sudah setinggi 4 m dan sarat berbuah. Hotel ini memiliki 7 kamar, 2 di antaranya pakai AC yang ketika saya datang sudah terisi. Negara ini rupanya memang belum memikirkan soal pariwisata.
Dalam kamar saya ada dua buah tempat tidur, kipas angin gantung besar, kamar mandi dan WC dengan pancuran air dingin/panas melalui alat listrik berupa tangki silinder besar. Semua jendela nako ditutup kawat nyamuk. Dikamar disediakan teko listrik untuk membuat air panas, susu bubuk, teh, kopi, gula dan air minum satu karaf.
Para tamu hotel hampir semua kulit putih. Selain saya hanya ada seorang tamu lain yang makan di restoran hotel. Kami merupakan tamu baru. Menu yang tersedia hanya satu macam: steak dan kentang goreng, selada telur, buah pir dari kaleng, kopi, dengan tarif Aus. $9,50 (Rp. 1300,-)
Jum'at malam itu, di bar hotel ada acara disko. Acara ini merupakan satu-satunya rekreasi penduduk Funafuti, diadakan sekali seminggu, pada akhir pekan. Pengunjungnya banyak sekali. Pria dan wanita berdatangan dengan membayar karcis Aus $1,00. Sebagian besar memakai hiasan untaian bunga segar di kepala. Mereka yang tidak ikut berdisko duduk bergerombol di halaman sambil minum bir. Kegaduhan acara itu tak memungkinkan saya tidur.
Pada pukul 23.30 terdengar pengumuman yang saya tafsirkan sebagai penutup, karena kemudian musik tak terdengar lagi. Para tamu juga mulai beranjak pergi. Sejam kemudian keadaan dr hotel sunyi senyap, dan saya bisa tidur nyenyak akibat keletihan bersepeda dan kurang tidur dibandara pada malam sebelumnya.
Sepak bola di bandara
Sabtu, 8 Juli 1989, saya terbangun agak siang. Menurut jadwal, hari ini pukul 11.00 saya harus meninggalkan Tuvalu menuju Kiribati, lalu ke Majuro dalam rangka perjalanan pulang. Saya membuat teh susu manis sendiri dengan teko listrik. Pukul 09.00 saya menyelesaikan urusan administrasi hotel. Kepada manajer hotel saya minta dicarikan uang logam Tuvalu untuk melengkapi koleksi saya. Dia menyanggupi untuk mencarikannya, dan menyusulkannya ke bandara.
Meskipun sebenarnya masih agak terlalu dini, saya dengan santai menentang tas perjalanan ke bandara. Bandara masih sepi, belum ada petugas yang datang. Saya duduk di bangku beton sambil menonton pertandingan sepak bola yang tengah berlangsung di landasan bandara. Penonton ternyata cukup banyak. Saya heran juga, dan menanyakan kepada beberapa orang di situ, bagaimana nanti kalau ada pesawat yang akan mendarat? Mereka menjelaskan dengan tenang, bahwa nanti akan ada sirine dua kali. Sementara itu, manajer Hotel Vaiaku Lagi datang naik sepeda, menyerahkan uang logam yang saya minta!
Ketika para petugas bandara datang, saya langsung check-in untuk balik ke Majuro dengan pesawat yang saya tumpangi kemarin. Segala urusan berjalan lancar, karena mereka semua mengenali saya.
Pada pukul 10.30 terdengar sirine yang nyaring. Para pemain sepak bola dengan santai berhenti menendang. Kedua gawang diangkat, dan semua orang minggir meninggalkan landasan. Seperempat jam kemudian terdengar sirine berbunyi lagi, dan sebuah pesawat tampak bersiap mendarat.
Selama pesawat berhenti dan mengisi bahan bakar, pertandingan sepak bola dilangsungkan lagi, tidak sampai 100 m dari hidung pesawat. Hanya ada seorang penumpang yang turun di Funafuti. Yang lain di perbolehkan turun untuk melemaskan kaki, daripada terkurung dalam pesawat yang sangat panas.
Ketika semua penumpang dipanggil untuk boarding, landasan dikosongkan dari segala kegiatan. Selain para pemain sepak bola dan penonton, juga kendaraan yang ingin menyeberangi lapangan menuju kampung di seberang bandara. Pukul 11.15 pesawat AMI yang hampir penuh dengan penumpang meninggalkan Funafuti, Tuvalu, menuju Majuro, lewat Tarawa. Berakhirlah perjalanan saya ke pulau-pulau di kawasan Pasifik.
Source: Majalah Intisari, no.317 Desember 1989
0 comments:
Posting Komentar