Suatu suku bangsa percaya, rambut sebagai lambang dan sumber kekuatan. Semakin lebat semakin kuat pula pemiliknya. Contohnya, dalam kisah Samson dan Delilah para prajurit selalu memanjangkan rambutnya agar tidak kehilangan kekuatan dan kalah perang. Mereka pun pantang memotong rambut anak-anak sampai anak itu berusia 1 tahun. Bila dilanggar, di masa datang kekuatan dan kesehatan si anak akan berkurang.
Dengan berbagai cara orang lalu berupaya menebalkan rambutnya. Untuk itulah pertama kali wig dibuat. Pikir mereka, rambut yang lebat secara ajaib akan menambah kekuatan mereka dan membuat musuh ketakutan.
Wig juga berperan memperindah rambut, sekaligus menambah daya tarik antar pria-wanita.Warnanya, tak cuma hitam, pirang, dan putih. Teater di Yunani menggunakan wig berwarna-warni untuk mencerminkan karakter yang berbeda. Hitam mencirikan tirani, yang keriting pirang untuk pahlawan, sedangkan merah khusus bagi punakawan.
Karena mencolok dan mampu menonjolkan status sosial, wig di comot menjadi kelengkapan pakaian profesional yang sekarang masih digunakan dalam pengadilan dan parlemen Inggris.
Meski sudah dikenal di masyarakat Mesir, Asiria, Romawi, dan Yunani kuno, baru abad XVII wig mulai mantap dikenal di Eropa. Hal ini bermula karena nasib Louis XIII dari Perancis yang botak terlalu dini. Agar rambut palsu sang raja tidak terlalu mencolok, sekaligus untuk menjaga perasaannya, para bangsawan pun mengikuti model itu. Tak lama kemudian masyarakat kebanyakan ikut meniru. Perruque atau rambut palsu dalam bahasa Perancis selanjutnya menjadi periwig di lidah orang Inggris, yang akhirnya memendek menjadi wig saja.
Kebiasaan itu semakin menjadi-jadi karena Louis XIV. Ketika kanak-kanak, raja ini disanjung karena rambut ikalnya yang bagus sepanjang bahu. Para pelayan pun berusaha meniru model rambutnya dengan wig. Lucunya, setelah dewasa Louis XIV ikut-ikutan mengenakan wig yang bermula dari model rambutnya sendiri itu.
Selanjutnya wig menyebar ke seluruh Eropa, dikenal di Inggris pada paruh kedua abad XVII. Banyak variasi dengan nama-nama aneh disesuaikan dengan bentuknya seperti: tangga rumah, benih bayam, artichoke (model wig bersusun mirip kubis), komet, sayap merpati, dan punggung babi hutan liar. Sampai pertengahan abad XVIII ada kurang lebih 40 jenis wig.
Banyak orang - mungkin untuk menghemat biaya - dengan pintarnya menata rambut mereka sehingga seperti mengenakan wig. Ada wig yang sedemikian tingginya, sampai-sampai ada karikatur yang menggambarkan seorang tukang cukur yang harus berdiri di atas tangga kalau hendak menatanya.
Tepat sebelum Revolusi Perancis, riasan mahkota kepala ini ada yang tingginya mencapai 1m, sedangkan pirang merupakan warna favorit. Saking populernya wig saat itu, ada wanita yang memiliki hingga 30 wig dengan warna berbeda.
Bahkan di abad XVIII ketika masyarakat Barat memasuki era pemikiran rasional, para prianya pun terus saja mengenakan wig dan tidak peduli dengan kepalsuan itu. Bahkan penulis Inggris Samuel Pepys lebih nyentrik lagi. Ia menggunduli kepalanya lalu mengenakan wig dari rambut aslinya. Menurutnya, itu justru lebih bersih.
Ada lagi yang memilih rambut istri atau anak mereka sebagai wig. Mereka pun tak kurang harus mengawal keluarga mereka dari para pencopet rambut bersenjata gunting yang bisa dengan sigap merampas rambut keriting mereka yang tebal. Sedangkan kalangan masyarakat bawah memanfaatkan demam mode ini dengan menjual rambut mereka kepada penawar tertinggi. Sepanjang perkembangannya wig terbuat dari berbagai bahan: wol, bulu binatang, rambut kuda, jerami, kawat dan nilon.
Source: Majalah Intisari, no.384 - Juli 1995
1 comments:
posting yang bagus dan bermanfaat, jika ada waktu mampir yu ke blog saya
http://hoshikanoshi.blog.stisitelkom.ac.id/
Posting Komentar