ORANG yang kerokan atau kerikan (digaruk-garuk kulitnya dengan uang logamnya) selalu merasa nyaman setelah "kerokannya keluar". Istilah "kerokannya keluar" ini istilah teknis para penggemar kerokan untuk menyatakan bahwa hasil garukannya positif. Tandanya: ada warna merah darah atau bahkan merah lembayung yang timbul di bagian badan yang digaruk itu. Kalau tidak seperti itu, dan hanya merah jambu, istilahnya ialah "kerokannya tidak keluar".
Apakah digaruk-garuk itu kulit tidak lecet?
Tidak, kalau kulit itu diolesi minyak kelapa sebelumnya. Kulit kemudian seperti diberi pelumas, ketika digaruk-garuk.
Pelepasan histamin
Walaupun belum ada penelitian tentang baik-buruknya kerokan yang diumumkan dalam jurnal kedokteran, tetapi para penggemar kerokan jalan terus. Untuk mendapat kejelasan bagaimana duduknya perkara sampai kerokan bisa memberi rasa nyaman itu, kita perlu menengok mekanisme kerja fisiologis pada kulit badan kita kalau dikerok.
Ketika saya sendiri dulu juga gemar kerokan, saya mendapat penjelasan "fisiologis" dari Dr. Soemardi Sastrakusumah (almarhum). "Tubuh manusia dilindungi oleh kulit aktif yang jaringan selnya setiap saat siap siaga dengan antibodi dan zat kimia pertahanan," tutur pakar fisiologi yang menjadi dekan Fakultas Perikanan, IPB Bogor tahun 1966 ini. "Kalau kulit terbentur pada sesuatu sampai lecet, sel-selnya yang rusak segera melepaskan histamin sebagai reaksinya. Pelepasan histamin ini perlu untuk memperlebar pembuluh darah kapiler di permukaan kulit yang luka itu. Jadi akan terbuka jalan bebas hambatan bagi darah yang saat itu perlu dikerahkan untuk menanggulangi, musuh di tempat benturan."
Dijelaskan juga, darah yang mengalir lebih deras ke tempat itu membuat badan hangat normal lagi. Karena suhu menjadi sama dengan badan yang lain, bagian itu tidak terasa sakit atau pegal lagi.
Pelebaran pembuluh darah gara-gara pelepasan histamin itu juga menyebabkan tekanan darah turun, sehingga orang merasa rileks. Karena rileks, badan terasa nyaman.
Kedua akibat inilah (yaitu pelebaran pembuluh darah, dan penurunan tekanan darah) dimanfaatkan oleh orang yang gemar kerokan. Tentu tidak dengan membentur-benturkan kulit pada sesuatu benda, melainkan menggaruk-garuk dengan uang logam saja.
Pegal masuk angin
Kalau kulit pada suatu bagian badan digentor oleh angin yang menyebabkan dingin setempat, seperti angin lewat jendela bus misalnya, udara dingin gentoran lubang AC, atau guyuran air hujan, maka bagian itu akan berusaha membatasi serbuan angin dingin di TKP (tempat kejadian perkara). Pembuluh darah di tempat itu menyempit, dalam usahanya mencegah jangan sampai suhu dingin penyerbu itu menjalar ke seluruh badan bersama peredaran darah.
Penyempitan inilah yang membuat bagian itu terasa pegal kaku. Kadang juga cekot-cekot. Itu baru hilang dan rileks kalau ada pelepasan histamin di bagian yang sudah dikerok.
Tetapi begitu histamin sudah tidak dilepas lagi karena tidak dirangsang, badan akan terasa pegal kaku lagi. Orang itu kemudian butuh kerokan lagi, sampai diolok-olok sebagai pecandu kerokan. Berkali-kali butuh dikerok ini memang timbul, kalau orang yang kerokan tidak melindungi badannya terhadap angin dingin, karena terlalu percaya bahwa ia sudah sembuh berkat kerokan. Padahal kerokan hanya membuat nyaman untuk sementara waktu, selama ada pelepasan histamin. Ia tidak menyembuhkan pegal kaku secara tuntas.
Kerokan tidak ada gunanya kalau orang yang bersangkutan tidak menghindari sumber angin dingin. Berapa kali pun ia kerokan, ia akan tetap pegal-pegal kaku lagi kalau tidak menumpas sumber penyebab suhu dingin itu. Duduk dekat lubang penyembur hawa dingin AC misalnya. Atau begadang di tempat terbuka yang diembus angin malam. Kemudian ada kepercayaan di kalangan antikerok, bahwa sesudah dikerok orang justru gampang "masuk angin". Jadi kalau bisa, tak usah kerokanlah!
Istilah masuk angin ini memang menyesatkan. Ia terjemahan istilah Jawa kelebon angin (kemasukan angin) karena suhu dingin yang menimpa bagian badan tertentu diyakini gara-gara ada angin yang masuk lewat pori-pori kulit. Istilah masuk angin baru terasa tidak betul, setelah kita juga mengalami perbedaan suhu dalam perut.
Kalau perut kosong yang belum ada bahan makanan penghasil energinya (yang panas) tiba-tiba di masuki es teler, ia juga disebut "masuk angin", padahal tidak ada angin sama sekali yang masuk.
Nenek moyang kita dari luar Jawa mengobati masuk angin dengan menggosok bagian badan yang dingin itu dengan minyak angin seperti minyak terbang atau balsem son saja. Jadi tidak perlu meringis seperti orang yang dikerok.
Pegal karena infeksi
Sialnya, pegal kaku juga timbul kalau kita menderita infeksi kuman. Pembuluh darah menyempit juga. Bukan karena serbuan angin, tetapi kuman patogen. Di kalangan kedokteran tidak ada "penyakit masuk angin". Yang ada ialah infeksi oleh kuman.
Gejala pegal kakunya sama dengan pegal kakunya masuk angin. Kalau kita kemudian pergi ke dokter, pasti akan di beri obat analgestik penghilang pegal, dan antiinfeksi penumpas kuman.
Obat-obatan ini ada yang cespleng, ada yang memble bertindak kurang cepat, dan ada yang malah tidak cocok sama sekali. Penderita yang diberi obat tidak cespleng, biasanya akan kerokan juga, untuk membantu obat dokter itu.
Infeksi kuman dapat timbul kalau kita tertular oleh orang yang sakit flu, tetapi kondisi tubuh sedang tidak prima. Terlalu capek misalnya, kurang tidur, atau kurang makan. Badan yang lemah tidak mampu mengatasi virus, lalu meminta waktu (istirahat di tempat) untuk memerangi virus dengan alat pertahanan nasional. Jelas ini tidak mungkin disembuhkan dengan kerokan, tapi mutlak dengan obat flu yang bersifat menenangkan, seperti asetaminofen misalnya. Jadi permohonan untuk mengatasi virus dengan kekuatan sendiri tadi dapat dipenuhi.
Sialnya, penyakit virus itu sering ditunggangi oleh bakteri bermacam-macam. Ada yang menyerang tenggorokan, ada yang menggedor saluran pernapasan, dan ada yang menggedor saluran pernapasan, dan ada yang malah menyerang paru-paru. Penyerang tenggorokan membuat kita gatal tenggorokan dan pancingan. Penggedor saluran pernapasan membuat sesak napas, dan penyerang paru-paru membuat batuk. Kalau tidak diobati tapi cuma dikerok leher dan dadanya, penyakit akan berkepanjangan. Kalau tidak dianggap serius, paru-paru yang kemudian meradang dapat menewaskan pasien. Dalam hal ini, mereka yang antikerokan merasa benar, bahwa kerokan itu percuma.
Bakteri harus ditumpas dengan antibiotik seperti amoksilin misalnya. Boleh saja membantu dengan kerokan, tetapi sebaiknya tidak mengandalkan kerokan sebagai juru selamat satu-satunya.
Sumber infeksi kuman lain ialah cacahan es balok yang kita minum, setelah dicuci dengan air ember yang tidak jelas asal-usulnya. Tanpa didahului oleh gejala pilek flu, segera saja tenggorokan meradang dan terlihat merah. Leher dan pundak pun terasa pegal kaku, karena pembuluh darah di tempat itu menyempit, dalam rangka menanggulangi serbuan kuman dari gigi.
Kalau daerah ini kemudian dikerok, rasanya juga nyaman karena pelepasan histamin. Tetapi itu tidak menjamin bahwa pegal kakunya tidak akan timbul lagi. Selama sumber infeksi kuman masih ada, kita masih akan menderita pegal kaku lagi seperti masuk angin. Penyakit gopok angin (gampang masuk angin) baru hilang kalau gigi berlubang sumber infeksi itu di tambal, atau dicabut kalau lubangnya sudah kelewat besar.
Source: Majalah Intisari, no.410 - September 1997
3 comments:
akibat kerokan orang ada yang menyimpulkan bahwa angin berwarna merah betul ga?
Ooooo.... Haha... Gini toh mekanisme kerokan....
Saya juga kalo masuk angin... suka kerokan... hbs kerokan, mnm tolak angin.... tidur.... langsung enak badannya... :)
Hansen
Informasi yang sangat edukatif. Kerokan obat murah meriah dan cespleng...
Posting Komentar