Selasa, 03 April 2012

Menepis Stress, Menyembuhkan Sakit Perut

Gangguan perut bukan cuma karena infeksi kuman, Perut berulah justru ketika orang sedang sibuk-sibuknya beraktivitas, atau ketika menghadapi masalah. Sebaliknya, selagi santai, perut pun ikutan tenang. Itulah irritable bowel syndrome (IBS).


SAYA sendiri merasa nyeri perut dan kembung, tapi begitu buang air besar, gangguan hilang. Frekuensi ke belakang juga meningkat dan berbentuk cair.Tetapi ketika buang air besar, rasanya tidak lampias. Kenapa Dok?" begitu keluh seorang pasien wanita muda, sebut saja Dewi, kepada dokter yang memeriksa. Lalu ia pun diberi obat penghilang kembung dan anti-diare karena diduga, gangguan pada organ pencernaannya akibat salah makan saja.


Selang beberapa minggu, saat Dewi sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian semester, ia kembali ke dokter dengan keluhan yang sama. Bahkan ditambah dengan gejala lain, yakni buang air besarnya diikuti lendir. Mahasiswi semester empat ini pun disarankan dokter untuk melakukan pemeriksaan endoskopi (pemeriksaan organ tubuh dengan "teropong" endoskop) plus pemeriksaan laboratorium. Hasilnya, semuanya baik, tidak ada infeksi pada organ pencernaan, tumor, maupun bakteri yang mengkhawatirkan. Ia cuma disarankan lebih banyak istirahat dan untuk sementara mengurangi makanan merangsang: pedas dan asam.


Gangguan seperti dialami Dewi di kalangan kedokteran dinamai irritable bowel syndrome (IBS). Kasus gangguan perut yang kebanyakan diderita perempuan berusia 20 - 40 tahun ini belakangan sering terjadi dan menjadi perhatian kalangan dokter ahli gastroenterologi (pencernaan).


Di negara Barat dilaporkan, 10 - 20% keluhan pada perut disebabkan oleh IBS. Lebih dari 50% penderitanya wanita. Di Asia pengidap IBS tertinggi adalah kaum muda Jepang. Mungkin karena tuntutan hidup yang begitu tinggi sehingga banyak mengalami stress. Di Indonesia sampai saat ini belum ada data pasti penderita sindroma ini. Namun, dr. Dharmika Djojoningrat, Sp.PD.KGEH, spesialis penyakit dalam dengan subspesialisasi penyakit pencernaan dan hati dari RS Siloam Gleneagles, Lippo Karawaci, Tangerang, menemukan banyak pasiennya - khususnya dari Jakarta - mengidap gangguan ini.


Kalangan medis membedakan IBS atas dua tipe, IBS konstipasi (selama 5 - 7 hari tidak buang air besar) dan IBS diare (IBS seperti dialami Dewi). Pada tipe IBS diare, gerakan peristaltik motilitas usus pengidap begitu cepat sehingga isi kotoran dari usus besar cepat di transfer ke luar. Konsekuensinya, air dalam kotoran belum sempat diserap, sudah harus dikeluarkan dibarengi rasa mulas. Sebaliknya, pada tipe konstipasi, karena gerakan peristaltik motilitas ususnya lambat, maka kotoran akan terlalu lama ngendon dalam usus. Penyerapan airnya pun terlalu lama dengan akibat feses menjadi keras.


IBS konstipasi kebanyakan diderita oleh penduduk di negara Barat. Sedangkan, IBS diare kebanyakan dialami oleh penduduk negara di belahan Bumi lainnya, termasuk Indonesia. Hingga kini belum ada penelitian yang bisa mengungkapkan mengapa terjadi demikian. "Mungkin karena pada malam yang berbeda," duga dr. Dharmika.


Ambang rangsang rendah


Penggunaan kata sindroma pada IBS itu karena gangguan kesehatan ini tidak menunjukkan gejala khas seperti penyakit asma, TBC, atau tifus. IBS memang suatu kumpulan gejala yang tidak diformulasikan dalam bentuk satu penyakit. Gangguan ini keluhannya beraneka macam, mulai dari rasa nyeri dan kembung, tapi begitu buang air besar keluhan hilang, sampai dengan pengeluaran lendir bening dan terasa tidak lampias.


"Gejala IBS memang tidak khas walaupun kalangan kedokteran menyatakan gangguan ini merupakan sindroma usus sensitif," tambah dr. Dharmika. Namun, tidak seperti penyakit pencernaan lain, macam diare karena infeksi kuman, disentri, dll., IBS tidak akan mempengaruhi bobot badan penderita dan tidak dijumpai kelainan organik. "Malah ada yang naik bobot badannya," ungkap dr. Dharmika. "Sebab itu tidak jarang pasien suka terheran-heran, kenapa gejala berulang padahal dikatakan tidak tampak adanya kelainan apa pun pada ususnya."


Pada penderita IBS frekuensi buang air besar jenis cair bisa lebih dari 1 - 3 kali sehari. Gangguan bisa berulang kapan saja, kebanyakan tergantung pada keadaan psikologis penderita. Menurut kriteria Bristol, buang air besar dibilang abnormal kalau frekuensinya lebih dari tiga kali sehari atau kurang dari tiga kali per minggu. Sedangkan perubahan bentuk feses dapat berupa cair, lembek, atau keras. Proses buang air besar abnormal dapat berupa mengejan, rasa tidak lampias serta diikuti mukus atau lendir.


Terkadang pengidap IBS juga merasakan gejala lain seperti agak sulit tidur, sering buang air kecil, sakit pinggul, sakit saat bersenggama, merasa malas dan lelah.


Khusus bagi mereka yang berusia 45 tahun bila mengalami gejala mirip gejala IBS, disarankan oleh dr. Dharmika agar segera memeriksakan diri ke dokter untuk diketahui apakah kelainan disebabkan oleh gangguan organik seperti tumor, polip, infeksi, atau sekedar gangguan fungsional saja. Pemeriksaan bisa dilakukan dengan endoskopi, biopsi, pemeriksaan darah, dll.


Pencetus munculnya IBS kebanyakan faktor psikologis (50%), bukan karena infeksi. Umpamanya, seseorang sedang mengalami depresi, somatisasi (gangguan psikis yang berdampak pada gangguan fisik), kecemasan, gangguan panik, hipokondria (rasa tertekan dan kehilangan semangat), dll. Hal itu bisa saja terjadi karena susunan saraf pusat memang mempunyai efek kuat terhadap saluran cerna. Pada penelitian terhadap orang sehat diketahui, stimulasi nyeri somatik dan rangsangan stress emosional dapat menimbulkan peningkatan kontraksi rektal (sekitar anus), perubahan pola motorik atau motilitas usus halus, serta pelambatan pengosongan lambung.


Pengidap IBS umumnya mempunyai konflik diri lebih tinggi dibandingkan dengan non-penderita IBS. Begitu setting pada otak tidak beres, maka pengaruhnya akan langsung ke usus. Padahal, dinding usus mempunyai ambang rangsang terhadap berbagai stimulus (rangsangan). Dalam keadaan depresi, ambang rangsang dinding usus akan cepat menurun.


"Bagi mereka yang ambang rangsangnya rendah dan peka, stimulus kecil saja sudah menimbulkan rasa nyeri atau mulas. Malah tidak jarang pula, karena demikian rendah ambang rangsangnya, stimulus yang normal bagi non pengidap IBS sudah mengakibatkan rasa nyeri pada penderita IBS," tutur dr. Dharmika. Dengan kata lain, kalau gerakan peristalik pada usus non-penderita IBS tidak akan terasa apa-apa, pada orang berpembawaan IBS sudah menimbulkan gejala.


Namun, dalam studi kedokteran tidak dikatakan bahwa faktor emosional menjadi penyebab satu-satunya. Fakta intoleransi makanan (misalnya terhadap laktosa dalam susu, kopi, MSG, dsb.) juga sedikit banyak ikut andil walaupun belum ada bukti nyata. "Makanan bukan merupakan faktor penyebab bersifat tidak langsung, melainkan lebih merupakan faktor penyebab langsung," ujar dr. Dharmika. Artinya, intoleransi seseorang terhadap makanan bisa langsung terlihat setelah makanan dikonsumsi.


Intoleransi makanan (bukan alergi makanan) ini sifatnya sangat individual. Umpamanya, kalau bagi si A susu langsung menyebabkan rasa nyeri, bagi si B mungkin kopi atau minuman cola. "Tentu saja ini perlu pencermatan individu masing-masing," katanya.


Ada pula yang mengatakan, 10 - 20% merupakan dampak dari gangguan pencernaan akut sebelumnya. Jadi, mungkin akibat organ pencernaan masih dalam keadaan belum stabil.


IBS bisa juga dikatakan sebagai pemunculan potensi yang telah ada dalam diri penderita atau merupakan suatu interaksi yang dialami penderita selama menjalani hidup. Misalnya, sewaktu anak-anak ia tidak pernah merasakan gangguan ini, tiba-tiba ketika dewasa dan menghadapi banyak tantangan, gangguan ini mulai dirasakan.


Mengatur pola hidup


IBS memang tidak berakibat fatal, tapi bisa mengganggu kualitas hidup penderita. Sebab itu gangguan ini perlu dikelola dengan baik. Penderita hendaknya berusaha mengatur pola hidupnya menjadi lebih baik. "Usahakan untuk menghilangkan konflik yang terjadi," tutur dr. Dharmika. Di negara-negara Barat, praktik konsultasi dengan psikiater atau psikolog serta melakukan latihan hipnoterapi untuk belajar mencari faktor penyebab konflik ternyata sangat membantu.


Selain terapi psikologis, juga dibutuhkan penerapan makanan seimbang. Pengidap IBS diare perlu membatasi makanan merangsang seperti pedas dan asam, dan makanan penyebab kembung perut seperti kol dan minuman bersoda. Pengidap IBS konstipasi dianjurkan menambah makanan berserat. Tetapi jangan berlebihan karena ada kalanya penambahan serat berlebihan dapat meningkatkan gas penyebab kembung.


Melakukan olahraga yang disukai juga dapat menunjang kesembuhan IBS. Apalagi kalau dilakukan secara rileks.


Menurut dr. Dharmika, hingga saat ini khasiat obat yang tersedia masih belum memuaskan. Obat-obatan itu hanya bersifat simtomatik (menghilangkan gejala) dan hanya diberikan secara insidentil. Misalnya, untuk menghilangkan rasa nyeri digunakan antispasme. Bila terjadi konstipasi (sembelit), diberikan obat agar buang air besar lebih teratur. "Obat biasanya hanya untuk memodifikasi regulasi peristaltik usus serta ambang rangsangnya saja," katanya. Obat antidepresan juga banyak dicoba untuk mengatasi keluhan nyeri perut serta gangguan kapasitas aktivitas sehari-hari.


Dr. Dharmika menyarankan, usahakan untuk selalu hidup nyaman, hilangkan stress agar perut tidak menjadi korban!


Source: Majalah Intisari, no.457 - Agustus 2001

1 comments:

unikgaul mengatakan...

nice info ni gan. :)

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...