Tampilkan postingan dengan label Minyak Bumi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minyak Bumi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2011

Bakteri Pemakan Minyak Bumi

POLUSI laut karena kapal tangki bertabrakan misalnya, memang memusingkan, terutama bagi negara-negara yang berdekatan. Namun ada cara efektif untuk mengatasi pencemaran oleh minyak itu yaitu dengan pengerahan bakteri ke lautan yang fungsinya untuk memakan minyak bumi tersebut.

BIOTEKNOLOGI kini mendapat perhatian di banyak negara. Penerapan ilmu ini cukup luas, mulai bidang kedokteran, pertanian, peternakan, industri kimia sampai penanganan masalah pencemaran lingkungan.

Bioteknologi lingkungan kini menarik perhatian, karena adanya kenyataan bahwa pengolahan limbah industri yang berupa zat organik dapat diatasi dengan bantuan mikroorganisme. Bioteknologi lingkungan ini menarik perhatian, karena adanya kenyataan bahwa pengolahan limbah industri yang berupa zat organik dapat diatasi dengan bantuan mikroorganisme. Bioteknologi lingkungan ini mencakup proses biologis memakai bakteri, fungi (jamur), maupun enzim untuk mendegradasi senyawaan organik dengan mengeluarkan enzim (suatu protein) yang dapat mengurai bahan makanan itu.

Proses bagaimana bakteri memakan minyak dilautan
Salah satu contoh penerapan bioteknologi lingkungan ini yaitu pada kasus pencemaran minyak bumi di laut. Ini pernah diterapkan. Yaitu, ketika 11 juta galon minyak bumi tumpah di laut dekat Alaska akibat kapal Exxon Valdes menabrak batu karang. Sebagian mencemari pantai dan menutupi permukaan laut, sehingga banyak ikan yang mati. Regu pengawas pantai AS dan Lembaga penanggulangan Lingkungan AS turun tangan. Mereka menyemprotkan jutaan "pasukan" bakteri (berasal dari 50 kg bahan kering yang mengandung bakteri) pada permukaan laut yang tercemar. Hasilnya menakjubkan, mereka melalap minyak itu dengan rakusnya. Bakteri yang sama juga pernah ditaburkan di Teluk Meksiko. Ketika itu terjadi kebakaran di kapal tanker milik Norwegia, Mega Borg. Sekitar 4,3 juta galon minyak bumi tumpah. Sebagian terbakar, sebagian menguap dan ada juga yang bisa dipungut lagi. Sedangkan yang tinggal dilaut diperkirakan sekitar 14.000 galon. Sisa inilah yang kemudian dimusnahkan dengan bantuan bakteri.

Bakteri ini sudah dicoba sejak tahun 1975 oleh Perusahaan Polybac yang bermarkas di AS. Perusahaan ini merupakan tiga besar produsen bakteri yang ditujukan khusus untuk mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga kemampuannya berbeda dengan bakteri pemakan minyak bumi yang mencemari tanah di air tawar. Itulah sebabnya, tersedia kemasan bakteri untuk keperluan di air asin dan air tawar.

Yang rakus tidak bisa gemuk

Bakteri pemakan minyak bumi itu mulanya berasal dari daerah pengeboran minyak dan sumur tua bekas penambangan minyak. Ia sudah terbiasa makan minyak bumi. Bakteri ini ada yang bisa melahap minyak bumi dengan rakus atau yang biasa-biasa saja. Bakteri yang rakus biasanya tetap kecil dan tidak bisa besar atau gemuk.

Yang paling rakus ini kemudian diisolasi, disimpan dalam tabung reaksi sebagai biakan bakteri murni. Selanjutnya diradiasi supaya terjadi mutasi genetika, sehingga didapatkan individu dengan sifat berbeda dari aslinya. Setelah itu dibiakkan dan diisolasi. Hasilnya, kumpulan bakteri yang sudah termutasi sekaligus rakus melahap minyak bumi. Bakteri ini kemudian diuji dalam berbagai media, misalnya air laut. Yang mampu hidup di air laut kemudian dipisahkan, dibiakkan, lalu ditambah partikel-partikel debu terbuat dari bahan alami dan dijual dalam bentuk kemasan bubuk kering.

Kehebatan bakteri pemakan minyak bumi ini bisa kita lihat contohnya di Pantai Laut Utara Inggris. Pada hari pertama, minyak bumi mulai memasuki daratan. Beberapa waktu kemudian ditaburi bakteri pemakan minyak bumi khusus yang mampu hidup di air asin. Pada hari ke-9 gumpalan minyak terlihat sudah menipis. Tiga belas hari kemudian tampak sudah makin menipis lagi. Pada hari ke-25 pantai sudah bersih dari minyak bumi. Begitu minyak bumi habis, tamat pula riwayat bakteri.

Source: Majalah Intisari no.331 - Februari 1991

Jumat, 05 Agustus 2011

Minyak Batu Bara, Pengganti Minyak Bumi (BAGIAN 2)

SAYANGNYA, menurut Lambok, ketika minyak. "setengah jadi" dari BB difraksinasi di kilang minyak untuk mendapatkan premium, nilai oktannya masih lebih rendah dibandingkan dengan premium dari minyak bumi. "Ini perlu ditingkatkan misalnya dengan menambah additive," jelas Lambok.

Atau, dalam proses di kilang dicampur dengan calon BBM dari minyak bumi supaya nilai oktan produk akhir lebih tinggi dari semula. Perbandingannya, 10 - 20% minyak BB, sisanya minyak bumi. "Untuk sementara masih sebatas itu. Tapi kalau kita kembangkan lagi jenis katalisnya, persentase minyak batu baranya bisa kita tingkatkan sampai 40% tergantung pada pengujian lebih lanjut," tambahnya.


Selama ini katalis yang digunakan dalam proses pembuatan BBM diantaranya methyl tertier buthyl ether (MTBE) atau dimethyl ether (DME). Sementara, untuk menghasilkan solar pencampuran juga masih perlu dilakukan karena tanpa pencampuran dengan calon BBM dari minyak bumi, kualitas solarnya masih belum tercapai.

Tidak seperti minyak bumi, by product dari pencairan batu bara sangat kecil. "Pada teknologi kita , kalau bisa ditekan sampai nol. Tapi itu tidak mungkin. By-product tetap akan terjadi. Dalam teknologi kita ini di setting maksimal 5%," jelas Lambok.


Lebih murah

Di Indonesia, pencairan batu bara menjadi BBM memang belum berjalan secara komersial. Namun, di Afrika Selatan sudah berlangsung lama. Latar belakangnya bukan kelangkaan minyak bumi, tetapi tekanan politik dunia yang membuat negara itu di kucilkan dalam perdagangan dunia, temasuk untuk komoditas minyak bumi. Ketika itu Afrika Selatan menerapkan politik aphartheid.


Beruntung Jerman berbaik hati dengan membantu teknologi pencairan batu bara agar rakyat negeri itu tidak terlalu menderita. Maka mulailah negara itu mencairkan batu bara yang dimilikinya menjadi BBM untuk memenuhi kebutuhan warganya. Karena kadar abunya tinggi, proses pencairannya dilakukan tidak langsung.



Rupanya, ketika menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita mengetahui adanya teknologi pembuatan BBM dari batu bara. Tahun 1991 ia menyurati koleganya, Menteri Negara Riset dan Teknologi, ketua BPPT, B.J. Habibie. Isinya kurang lebih Departemen Pertambangan dan Energi meminta BPPT untuk melakukan penelitian kemungkinan pencairan batu bara di Indonesia.



Berdasarkan data, cadangan batu bara Indonesia memang berlimpah. Setidaknya, 36,3 miliar ton batu bara ngendon di perut Bumi Indonesia. Sekitar 85% di antaranya (30,9 miliar ton) berupa lignit. Ditempat persembunyiannya, batu bara muda ini mudah terbakar oleh provokasi panas dan sulit dipadamkan.

Kalau 1 ton BB kering bisa menghasilkan 4 barel minyak, cadangan tadi - dengan asumsi kadar airnya rata-rata 30% - bisa diubah menjadi minyak sebanyak kira-kira 86,5 miliar barel. Jumlah ini kira-kira 18 kali cadangan minyak bumi negara kita saat ini. Dengan asumsi konsumsi minyak nasional tetap, jumlah sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan lebih dari 100 tahun! Habibie segera menindaklanjutinya.



Pemilihan teknologi mana yang paling cocok digunakan pun dimulai. Ternyata teknologi BCL dari Jepang di anggap paling cocok. Pada 1993 dilakukan negosiasi intensif dengan Jepang. Januari 1994 MoU ditandatangani. Program pencairan batu bara pun dimulai, bekerja sama dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang. Tim penelitinya antara lain dari BPPT (Direktorat Konversi dan Konversi Energi, Direktorat Material, UPT Laboratorium Sumber Daya Energi di Serpong), PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam, dan Pertamina.

Program ini dibagi atas empat tahap, yakni studi kelayakan awal, studi kelayakan lebih detil, persiapan komersialisasi, serta pembuatan pabrik dan komersialisasi. Dua tahap pertama pelaksanaannya di bawah koordinasi BPPT dan dipimpin Hartiniati. Dua tahap terakhir di bawah kendali Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Saat ini telah memasuki tahap kedua.

Pada tahap pertama dilakukan technical assessment (uji teknis) yang berlangsung selama lima tahun, sejak 1994 - 1999. Diantaranya, penelitian pada skala laboratorium, survey, dan pengambilan contoh batu bara di beberapa lokasi sumber batu bara muda Indonesia, serta seleksi terhadap batu bara yang paling sesuai untuk dicairkan. Ternyata dari hasil seleksi di laboratorium diketahui, batu bara Banko menunjukkan hasil minyak paling tinggi. Diketahui pula, biaya pencairannya sekitar AS $ 18 -19 per barel.

Namun, terjadinya krisis ekonomi membuat perhitungan menjadi tidak feasible lagi. Maka, ketika tahap kedua ditapaki, pengkajian ekonominya diulang kembali oleh BPPT, sekaligus dilakukan penyempurnaan terhadap prosesnya untuk meningkatkan efisiensi. Akhir tahun ini pengkajian ulang diperkirakan bisa selesai. Hartiniati yakin, dari faktor ekonomi pencairan batu bara masih tetap layak dilakukan.

Tahap ketiga proyek ini diserahkan ke Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral karena sudah memasuki tahap realisasi atau komersialisasi. Pada tahap ini dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), pendesainan dari dasar sampai detil, eksplorasi secara sungguh-sungguh, pendidikan tenaga operator, penyiapan lahan, dsb. Tak ketinggalan program mempersiapkan masyarakat.



"Soalnya, dalam Amdal tidak cuma dampak lingkungan yang diperhitungkan, tapi juga dampak sosial. Jadi, harus dipertimbangkan untuk merekrut warga setempat sebagai tenaga pengoperasian pabrik," ujar Ir. Yusnitati, M.Sc., anggota tim lainnya. Baru pada tahap keempat, pabrik pencairan batu bara dibuat. Setelah selesai komersialisasi pun dilakukan.

Bila program yang telah disusun berlangsung lancar dan ada investor yang bersedia menanamkan modal untuk membangun pabrik pencairannya, pada 2010 kita sudah bisa menghasilkan BBM dari batu bara. BBM yang dihasilkan kelak tidak berbeda dengan BBM yang ada sekarang, kecuali bebas timbal.

Dengan demikian, mesin kendaraan yang semula berbahan bakar dari minyak bumi, tidak perlu dimodifikasi mesin atau ditambah peralatan baru. Yang perlu diperbaharui barangkali sikap pengguna BBM agar lebih berhemat sehingga sumber daya alam yang ada bisa dimanfaatkan lebih lama lagi.

Source : Majalah Intisari no.448 - November 2000

Minyak Batu Bara, Pengganti Minyak Bumi (BAGIAN 1)

Pernah terbayang, batu bara bisa disulap jadi minyak? Batu bara memang dapat diubah jadi minyak. Dalam hal ini kita ketinggalan dengan Afrika Selatan yang sudah lama melakukannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Sepuluh tahun mendatang, Indonesia yang kaya dengan cadangan batu bara akan menyusul.

SETIAP kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu timbul gejolak. Soalnya pasti di ikuti kenaikan harga barang dan jasa. Di masa normal saja sudah memberatkan, apalagi dimasa krisis seperti saat ini. Tak heran jika awal oktober 2000 lalu, banyak kelompok masyarakat di berbagai kota berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, yang mulai diberlakukan pemerintah sejak 1 oktober 2000.


Batu Bara


Orang kebanyakan tidak menyadari kalau harga BBM di Indonesia bertahun-tahun disubsidi oleh pemerintah, Padahal duit yang dipakai untuk menomboki kekurangan itu duit milik rakyat.

Akibat harga murah itu, kita terlena dan cenderung boros. Tidak terpikirkan bahwa minyak bumi termasuk sumber daya alam tak terbarukan. Artinya, bisa habis jika di konsumsinya tetap, cadangan itu akan habis dalam tujuh tahun mendatang! Bahkan dengan bertambahnya jumlah penduduk, industri, dan kendaraan motor masa krisis BBM akan lebih cepat lagi datangnya.

Memang, ancaman krisis BBM ini mengglobal sifatnya. Karenanya banyak negara maju yang melakukan penelitian untuk menemukan teknologi yang bisa menghasilkan sumber energi alternatif. Salah satunya adalah mengubah batu bara (BB) menjadi BBM. Konversi inilah yang kini tengah diteliti di Indonesia, mengingat persediaan batu bara melimpah.



Pakai teknik pencairan langsung

Konversi dilakukan dengan mencairkan BB menggunakan tekanan dan suhu ekstratinggi. Batu bara yang dicairkan merupakan batu bara muda (lignit, kandungan airnya tinggi sekitar 30%) yang tidak laku dijual mentah-mentah.

Menurut Ir. Hartiniati Soedioto, M.Eng., manager Program Pencairan Batu Bara , dan Direktorat Konversi dan Konversi Energi, Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi (BPPT), biaya untuk mendapatkan minyak dari hasil pencairan BB bisa lebih murah ketimbang harga minyak bumi. Dari perhitungannya, harga jual minyak dari proses pencairan BB sekitar AS $ 18 - 19 per barel. Sementara harga minyak mentah belakangan ini berkisar AS$ 30 per barel.


Lambok Hilarius Silalahi, M.Eng., anggota tim peneliti Program Pencairan Batu Bara, menambahkan, perbandingan nilai komersial minyak hasil pencairan BB dengan minyak mentah adalah 1,3 : 1. Artinya harga 11 minyak BB 1,3 kali harga 11 minyak bumi. Ini terjadi karena dalam minyak BB sudah tidak terkandung minyak berat atau residu, sementara dalam minyak mentah masih ada residunya. Agar punya nilai ekonomi, residu itu diproses lebih lanjut menjadi produk sertaan (by-product).


Ada dua cara pencairan yakni direct dan indirect liquefaction. Pada direct liquefaction (pencairan langsung), BB dicairkan secara langsung menjadi minyak. Sedangkan pada indirect liquefaction (pencairan tidak langsung), BB diubah dulu menjadi gas melalui proses gasifikasi, baru kemudian di cairkan.


Dari penelitian yang telah dilakukan, batu bara di Indonesia bisa dicairkan secara langsung dengan teknologi brown coal liquefaction (BCL) dari Jepang, yang bersama-sama BPPT dikembangkan lagi agar bisa digunakan sesuai dengan jenis BB kita.


Menurut Hartiniati, ini dimungkinkan lantaran kandungan abu batu bara kita rata-rata rendah, yakni sekitar 5%. Sementara pencairan tidak langsung dipilih bila kandungan abunya tinggi seperti BB Afrika Selatan yang kadar abunya 30-40%. "Kalau tidak digaskan dulu, abu di pabrik bisa meyumpal dimana-mana," jelas Hartiniati. Dalam proses gasifikasi itulah abu dipisahkan.


Secara kimiawi proses pencairan akan mengubah bentuk hidrokarbon batu bara dari bentuk kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Untuk itu rantai atau ikatan ring aromatik hidrokarbonnya harus dipotong. Caranya dengan menggunakan dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal de composition).


Setelah dipotong, luka potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya, perlu adanya pengikat atau stabilisator. Pengikat itu adalah gas hidrogen. Karena itulah dalam pencairan batu bara proses pengikatan tadi sering disebut juga proses hidrogenasi.


Gas hidrogennya dapat diperoleh dari semua jenis energi fosil hidrokarbon seperti gas alam, batu bara, dan sebagainya. Atau, melalui proses elektrolisa air.


Pada awal studi yang dilakukan BPPT, gas hidrogen yang hendak digunakan diambil dari proses steam reforming gas alam. Sayangnya, berdasarkan hasil investigasi, ternyata persediaan gas alam didaerah Sumatra tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 25 tahun masa operasi pencairan batu bara dengan kapasitas produksi 120 - 140 barel per hari. Alternatif teknologi pun dicari. Hasilnya, penyediaan gas hidrogen dilakukan lewat proses gasifikasi yang juga menggunakan bahan baku BB.


Dari proses pencairan BB diperoleh intermediate product berupa minyak, sebutlah minyak "setengah jadi". Jumlahnya sekitar 63% dari jumlah BB yang dicairkan. Selanjutnya, minyak "setengah jadi" itu di fraksinasi (diurai) menjadi berbagai BBM siap pakai.


Menurut Lambok, pada proses fraksinasi bersuhu 180 - 220 derajat celcius dihasilkan naptha (premium). Pada temperatur 220-260 derajat celcius diperoleh kerosine (minyak tanah), dan pada suhu 260 - 300 derajat celcius didapat diesel oil (solar) untuk industri maupun otomotif, termasuk aviation turbine oil (avtur). Persentase hasilnya kira-kira, light oil (premium) sebanyak 28%, middle oil (minyak tanah dan solar) 60-70%.


(Bersambung)

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes