Jumat, 05 Agustus 2011

Minyak Batu Bara, Pengganti Minyak Bumi (BAGIAN 2)

SAYANGNYA, menurut Lambok, ketika minyak. "setengah jadi" dari BB difraksinasi di kilang minyak untuk mendapatkan premium, nilai oktannya masih lebih rendah dibandingkan dengan premium dari minyak bumi. "Ini perlu ditingkatkan misalnya dengan menambah additive," jelas Lambok.

Atau, dalam proses di kilang dicampur dengan calon BBM dari minyak bumi supaya nilai oktan produk akhir lebih tinggi dari semula. Perbandingannya, 10 - 20% minyak BB, sisanya minyak bumi. "Untuk sementara masih sebatas itu. Tapi kalau kita kembangkan lagi jenis katalisnya, persentase minyak batu baranya bisa kita tingkatkan sampai 40% tergantung pada pengujian lebih lanjut," tambahnya.


Selama ini katalis yang digunakan dalam proses pembuatan BBM diantaranya methyl tertier buthyl ether (MTBE) atau dimethyl ether (DME). Sementara, untuk menghasilkan solar pencampuran juga masih perlu dilakukan karena tanpa pencampuran dengan calon BBM dari minyak bumi, kualitas solarnya masih belum tercapai.

Tidak seperti minyak bumi, by product dari pencairan batu bara sangat kecil. "Pada teknologi kita , kalau bisa ditekan sampai nol. Tapi itu tidak mungkin. By-product tetap akan terjadi. Dalam teknologi kita ini di setting maksimal 5%," jelas Lambok.


Lebih murah

Di Indonesia, pencairan batu bara menjadi BBM memang belum berjalan secara komersial. Namun, di Afrika Selatan sudah berlangsung lama. Latar belakangnya bukan kelangkaan minyak bumi, tetapi tekanan politik dunia yang membuat negara itu di kucilkan dalam perdagangan dunia, temasuk untuk komoditas minyak bumi. Ketika itu Afrika Selatan menerapkan politik aphartheid.


Beruntung Jerman berbaik hati dengan membantu teknologi pencairan batu bara agar rakyat negeri itu tidak terlalu menderita. Maka mulailah negara itu mencairkan batu bara yang dimilikinya menjadi BBM untuk memenuhi kebutuhan warganya. Karena kadar abunya tinggi, proses pencairannya dilakukan tidak langsung.



Rupanya, ketika menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita mengetahui adanya teknologi pembuatan BBM dari batu bara. Tahun 1991 ia menyurati koleganya, Menteri Negara Riset dan Teknologi, ketua BPPT, B.J. Habibie. Isinya kurang lebih Departemen Pertambangan dan Energi meminta BPPT untuk melakukan penelitian kemungkinan pencairan batu bara di Indonesia.



Berdasarkan data, cadangan batu bara Indonesia memang berlimpah. Setidaknya, 36,3 miliar ton batu bara ngendon di perut Bumi Indonesia. Sekitar 85% di antaranya (30,9 miliar ton) berupa lignit. Ditempat persembunyiannya, batu bara muda ini mudah terbakar oleh provokasi panas dan sulit dipadamkan.

Kalau 1 ton BB kering bisa menghasilkan 4 barel minyak, cadangan tadi - dengan asumsi kadar airnya rata-rata 30% - bisa diubah menjadi minyak sebanyak kira-kira 86,5 miliar barel. Jumlah ini kira-kira 18 kali cadangan minyak bumi negara kita saat ini. Dengan asumsi konsumsi minyak nasional tetap, jumlah sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan lebih dari 100 tahun! Habibie segera menindaklanjutinya.



Pemilihan teknologi mana yang paling cocok digunakan pun dimulai. Ternyata teknologi BCL dari Jepang di anggap paling cocok. Pada 1993 dilakukan negosiasi intensif dengan Jepang. Januari 1994 MoU ditandatangani. Program pencairan batu bara pun dimulai, bekerja sama dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang. Tim penelitinya antara lain dari BPPT (Direktorat Konversi dan Konversi Energi, Direktorat Material, UPT Laboratorium Sumber Daya Energi di Serpong), PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam, dan Pertamina.

Program ini dibagi atas empat tahap, yakni studi kelayakan awal, studi kelayakan lebih detil, persiapan komersialisasi, serta pembuatan pabrik dan komersialisasi. Dua tahap pertama pelaksanaannya di bawah koordinasi BPPT dan dipimpin Hartiniati. Dua tahap terakhir di bawah kendali Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Saat ini telah memasuki tahap kedua.

Pada tahap pertama dilakukan technical assessment (uji teknis) yang berlangsung selama lima tahun, sejak 1994 - 1999. Diantaranya, penelitian pada skala laboratorium, survey, dan pengambilan contoh batu bara di beberapa lokasi sumber batu bara muda Indonesia, serta seleksi terhadap batu bara yang paling sesuai untuk dicairkan. Ternyata dari hasil seleksi di laboratorium diketahui, batu bara Banko menunjukkan hasil minyak paling tinggi. Diketahui pula, biaya pencairannya sekitar AS $ 18 -19 per barel.

Namun, terjadinya krisis ekonomi membuat perhitungan menjadi tidak feasible lagi. Maka, ketika tahap kedua ditapaki, pengkajian ekonominya diulang kembali oleh BPPT, sekaligus dilakukan penyempurnaan terhadap prosesnya untuk meningkatkan efisiensi. Akhir tahun ini pengkajian ulang diperkirakan bisa selesai. Hartiniati yakin, dari faktor ekonomi pencairan batu bara masih tetap layak dilakukan.

Tahap ketiga proyek ini diserahkan ke Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral karena sudah memasuki tahap realisasi atau komersialisasi. Pada tahap ini dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), pendesainan dari dasar sampai detil, eksplorasi secara sungguh-sungguh, pendidikan tenaga operator, penyiapan lahan, dsb. Tak ketinggalan program mempersiapkan masyarakat.



"Soalnya, dalam Amdal tidak cuma dampak lingkungan yang diperhitungkan, tapi juga dampak sosial. Jadi, harus dipertimbangkan untuk merekrut warga setempat sebagai tenaga pengoperasian pabrik," ujar Ir. Yusnitati, M.Sc., anggota tim lainnya. Baru pada tahap keempat, pabrik pencairan batu bara dibuat. Setelah selesai komersialisasi pun dilakukan.

Bila program yang telah disusun berlangsung lancar dan ada investor yang bersedia menanamkan modal untuk membangun pabrik pencairannya, pada 2010 kita sudah bisa menghasilkan BBM dari batu bara. BBM yang dihasilkan kelak tidak berbeda dengan BBM yang ada sekarang, kecuali bebas timbal.

Dengan demikian, mesin kendaraan yang semula berbahan bakar dari minyak bumi, tidak perlu dimodifikasi mesin atau ditambah peralatan baru. Yang perlu diperbaharui barangkali sikap pengguna BBM agar lebih berhemat sehingga sumber daya alam yang ada bisa dimanfaatkan lebih lama lagi.

Source : Majalah Intisari no.448 - November 2000

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...