Rabu, 10 Agustus 2011

Negara Udik di Pasifik (BAGIAN 1)

KETIKA berada di New York saya berusaha minta visa untuk Belize, Tuvalu dan Kiribati melalui perwakilan Inggris, agar rencana ke negara-negara itu tidak mengalami hambatan. Melalui kawan saya, Stan Maringka dari Patria International Travel di New York, saya membeli dan memesan tiket penerbangan Majuro --- Tarawa --- Funafuti untuk hari Jum'at, 7 Juli 1989, pukul 05.10; dan Funafuti --- Tarawa ---  Funafuti untuk hari Jum'at, 7 Juli 1989, pukul 05.10; dan Funafuti --- Tarawa --- Majuro untuk keesokan harinya, Sabtu, 8 Juli 1989, pukul 11.00. Tiket penerbangan pergi-pulang seharga AS $ 720. Tiket ke Majuro sudah saya beli di Jakarta. Istri saya tidak ikut dalam perjalanan ke pasifik itu. Ia langsung pulang setelah bersama-sama keliling AS.




Nginap di bandara

Peta Funafuti
Hari Kamis, 6 Juli 1989, pukul 18.30, saya tiba di Majuro, Republik Kepulauan Marshall. Visa untuk masuk Kepulauan Marshall saya peroleh secara cuma-cuma, setiba di Majuro. Saya hanya perlu menunjukkan tiket penerbangan terusan (dari Majuro). Petugas bea cukai dan karantina memeriksa satu-satunya tas perjalanan saya sepintas lalu.

Di luar ruang kedatangan, saya langsung mendaftar ulang untuk penerbangan dengan AMI (Airlines of the Marshall Islands) ke Funafuti esok hari, pukul 05.10. Petugas bandara menjelaskan bahwa check-in penumpang akan dimulai pukul 03.00! 


Saya jadi bengong. Saat itu hampir pukul 20.00. Tak sampai 6 jam kemudian saya harus berada di bandara lagi. Rasanya tiada gunanya saya mencari hotel ke kota sejauh 16 km dari bandara. Beraksi pada malam hari yang sunyi, di suatu tempat yang belum saya kenal, mestinya juga tidak mudah. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu di bandara saja. Petugas memberi tahu bahwa bandara akan segera tutup. Restoran bandara juga sudah tutup. Tapi saya boleh menunggu di ruang check-in yang luas dan terbuka, serta terang-benderang.
 
Di ruang check-in terdapat lima buah bangku kayu yang kokoh. Ternyata ada dua orang penumpang ke Tarawa yang mengambil keputusan sama seperti saya. Padahal mereka sebenarnya sudah memesan hotel di kota. Seorang mahasiswi Jepang berumur 21 tahun, yang akan menggabungkan diri dengan rombongan guru besarnya yang melakukan riset di bidang arkeologi di Tarawa. Yang seorang lagi, pelaut asal Kiribati berumur 30-an, yang bermaksud pulang kampung setelah enam tahun bekerja di sebuah kapal niaga Jerman.

Sejak pukul 21.00, selain kami bertiga tak tampak ada orang lain dibandara yang cukup besar itu. Sambil mengobrol, kami masing-masing menempati sebuah bangku. Saya sempat tertidur, dan terjaga sekitar pukul 02.30, ketika para calon penumpang mulai berdatangan. Rata-rata semua membawa banyak bungkusan!

Tempat duduk bebas

Pukul 04.00 para penumpang dipanggil untuk boarding. Semua orang bergegas saling mendahului, karena ternyata berlaku sistem free seat, boleh memilih tempat duduk sesuka hati. Ketika pesawat British Aerospace 748 turboprop itu mengudara, semua tempat duduk (48) terisi. Dalam keadaan cuaca yang kebetulan buruk, pesawat yang tidak besar itu berguncang-guncang hebat.

Setelah terbang dua jam, pesawat mendarat di Tarawa, ibu kota Republik Kiribati. Kebetulan negara itu sedang merayakan HUT ke-X, sekaligus menjadi tuan rumah 15 Negara Pasifik. Tanpa sengaja, kami sepesawat dengan rombongon presiden FSM (The Federated States of Micronesia) dan istri. Di Bandara Tarawa mereka disambut resmi dengan tarian nasional Kiribati yang menarik. Saya sempat membuat foto atas izin kepala polisi, seorang Inggris dengan seragam gala.

Cuaca setempat cukup panas, 30 derajat celcius. Setelah berhenti sejam, pesawat mengangkasa dengan penumpang kurang dari separuhnya. Penerbangan Tarawa --- Funafuti berlangsung 3 jam 45 menit. Dari udara Atol Funafuti tampak paling besar di antara rentetan pulau karang lain. Bentuknya seperti bumerang ramping, dengan "tungkai" utara lebih pendek. Seluruh "tungkai" selatan tampak sebagai landasan yang seluruhnya beralaskan rumput hijau!

Tepat pukul 13.00 pesawat mendarat dan berhenti disebuah "los" kecil dan sederhana berukuran 5 x 8 m. Tak ada papan nama bandara maupun kota. Didalam los tanpa dinding itu ada sebuah meja tinggi berbentuk L dari beton. Sebuah bangku sepanjang 3 m menghadap ke lapangan. Hanya dua penumpang turun di Tuvalu, saya dan seorang Australia.

Di belakang counter beton berdiri empat petugas. Yang pertama petugas imigrasi yang berpakaian biasa. Ia membaca formulir imigrasi yang saya terima di pesawat. Dia minta bukti tiket penerbangan lanjutan dari Funafuti. Langsung saya diberi visa untuk sebulan secara cuma-cuma. Kemudian saya menunjukkan visa Tuvalu yang saya peroleh dari perwakilan Inggris di New York. Dia keheranan melihatnya, dan tersenyum sinis setelah mendengar bah wa saya membayar AS $ 34 untuk itu. Kali ini saya terkecoh karena terlalu hati-hati!

Di sampingnya berdiri petugas bea cukai berseragam. Ia memeriksa tas perjalanan yang saya bawa secara sepintas. Petugas karantina di sebelahnya menerima daftar isian saya. Akhirnya petugas AMI mencatat nama saya sebagai penumpang yang akan berangkat kembali ke Majuro keesokan harinya. Maka selesailah semua urusan.
 
Jalan kaki ke hotel

Di sekitar bandara hanya tampak dua buah mobil. Sebuah jip pemadam kebakaran dan sebuah pikup. Saya menanyakan soal kendaraan untuk pergi ke hotel. Petugas imigrasi menyatakan bersedia menolong saya untuk menunjukkan tempatnya. Tak lama kemudian segala kegiatan bandara selesai. Saya dan seorang penumpang dari Australia diajak mengikutinya ke jalan di sebelah kantor tadi. Baru 30 m kami sudah di sebuah perempatan. Dari situ dia menunjukkan sebuah hotel di sebelah kiri jalan. Hotel Vaiaku Lagi, tidak sampai 100m dari landasan!

Saya mendapat salah satu di antara ke-7 buah kamar yang semua menghadap ke halaman belakang dan laguna. Saya minta berbagai keterangan tentang Tuvalu kepada manajer hotel yang simpatik. Dia menunjukkan sebuah papan di depan hotel: Tuvalu Broadcasting & Information. Gedung kantor pemerintah ini hanya rumah biasa yang tidak besar. Sebagai penulis wisata saya dilayani dengan ramah oleh petugas setempat. Saya mendapat brosur, koran, dan berbagai keterangan.

Radio Tuvalu melakukan siaran empat jam sehari dalam bahasa lokal. Setiap jam siaran merelai warta berita dari BBC. Satu-satunya koran dalam bahasa Inggris, Tuvalu Echoes, terbit setiap dua pekan. Koran ini berbentuk stensilan setebal 10 halaman, di jual dengan harga 20 sen Tuvalu/Austalia (Rp.270,00). Isinya terutama kegiatan pemerintah dalam pembangunan, berita organisasi masyarakat, keberatan kapal dari Funafuti ke pelbagai pulau sekitar (biasanya sekali sepekan), pengumuman pasang-surut permukaan laut, iklan(eksportir Selandia Baru menawarkan bahan bangunan), ruang sahabat pena. Yang cukup menarik: pengumuman hasil perlombaan kerajinan tangan. Pemenang I mendapat hadiah Aus. $25, Kedua $15, Ketiga $10.

Bersambung

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...