Kamis, 15 Maret 2012

Takut Makan Telur Karena Kolesterolnya yang Tinggi

Telur merupakan makanan hewani yang banyak keunggulannya. Harganya relatif murah, praktis memasaknya, lezat rasanya, sempurna pula gizinya. Namun, karena kadar kolesterol yang tersimpan dalam bagian kuningnya lumayan tinggi, belakangan mulai muncul ketakutan makan telur. Jadi, patutkah kita menjauhi telur? Hasil-hasil penelitian di manca negara ini barangkali dapat dijadikan cermin.



GARA-GARA bagian kuningnya kaya kolesterol, belakangan telur makin di pojokkan dan dicurigai sebagai provokator serangan stroke dan penyakit jantung koroner (PJK). Sampai-sampai muncul istilah "koles-telur-fobia": takut makan telur.


Padahal telur itu sumber gizi hewani murah yang lengkap gizi: mengandung 13 vitamin esensial serta mineral dengan protein bermutu tinggi. Nilai energinya pun hanya 75 kalori per butirnya. Rasanya, tak ada makanan hewani lain yang bisa dimasak sepraktis telur, dengan rasa yang begitu lezat. Melihat "kebaikannya" itu, kita jadi bertanya-tanya, apa betul telur memang provokator PJK? Bagaimana sih duduk perkaranya?


Didakwa menaikkan kolesterol


Kolesterol merupakan bagian dari lipid, yang secara gampang sering disebut lemak tubuh. Di dalam tubuh, kolesterol merupakan bagian dari membran sel dan myelin (pelindung serat saraf), khususnya saraf otak. Tak kurang dari 11 persen berat otak adalah kolesterol.


Ia juga memegang peranan penting dalam pembentukan hormon seks, vitamin D, dan asam empedu yang diperlukan untuk menerima lemak makanan. Meningkatnya kekebalan tubuh antara lain karena jasanya pula, lewat kerja membentuk sel darah putih.


Jadi, secara alami kolesterol memang sudah terdapat dalam tubuh. Kadar normalnya 15 - 250 mg/dl. Belum pernah ada laporan tentang timbulnya defisiensi kolesterol. Sebaliknya, sudah mulai banyak yang menderita kelebihan kolesterol (hiperkolesterolemia) lantaran kadar kolesterol darahnya melebihi 250 mg/dl. Belum pernah ada laporan tentang timbulnya defisiensi kolesterol. Sebaliknya, sudah mulai banyak yang menderita kelebihan kolesterol (hiperkolesterolemia) lantaran kadar kolesterol darahnya melebihi 250 mg/dl.


Selama beberapa dasawarsa sejak 1960-an, telur menjadi lauk sarapan favorit di Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu, muncul kesimpulan sejumlah penelitian yang menyebutkan adanya peningkatan drastis prevalensi (angka kejadian) penderita penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis) akibat menumpuknya kerak lemak pada dinding pembuluh. Karena makanan telur sekarang jadi tren kala itu, jadilah telur didakwa sebagai biang keroknya.


Maklumlah kalau ia di curigai sebab sebutir telur (70 g) mengandung 213 mg kolesterol. Padahal menurut American Heart Association dan US National Institute of Health, asupan kolesterol yang aman tidak lebih dari 300 mg per orang per hari. Berarti sebutir telur sudah menjejalkan dua pertiganya. Bagi penderita hiperkolesterolemia, kolesterol sebutir telur itu berlebihan. Soalnya, mereka tidak diperbolehkan mengkonsumsi kolesterol melebihi 200 mg per hari.


Jika konsentrasi kolesterol dalam darah berlebihan, maka protein tertentu, yakni apo protein B, akan pontang-panting mengangkutnya dalam ikatan lipoprotein, untuk di amankan ke dalam hati. Berjejalnya jumlah kolesterol itu membuat protein dalam ikatan lipoprotein mesti mengalah dan mengurangi kepadatannya guna memberi tempat pada lemak. Karena itu, ikatannya disebut lipoprotein kepadatan (berat jenis) rendah (low density lipoprotein, LDL).


Ibarat sebuah truk yang memuat dua kelompok berbeda, maka kelompok mayoritas biasanya akan mendominasi. Begitu pun dengan kolesterol, jumlahnya yang melimpah dan wataknya yang cenderung destruktif menutupi sifat baik dari protein. Tak heran jika ikatan LDL tadi lalu dikenal sebagai "kolesterol jahat".


Kalau jumlahnya berlebihan, LDL yang kelayapan dalam darah akan mondok di mana-mana di sepanjang dinding pembuluh darah, membentuk kerak lemak. Akibatnya, pembuluh darah menebal dan mengeras, hilang pula kelenturannya. Makin lama kerak lemak akan makin menggunung sehingga lubang pembuluh darah menjadi makin sempit.


Lantaran jalannya menyempit, debit pengiriman oksigen menuju otak dan jantung jadi terganggu. Kalau sampai pasokannya ke otak sempat terhenti, terjadilah stroke, kelumpuhan saraf otak. Lebih gawat lagi jika kemacetan sampai mengganggu pasokan oksigen menuju jantung, bisa-bisa jantung mogok. Syukurlah kalau mogoknya itu tidak untuk selama-lamanya.


Hiperkolesterolemia diyakini para ahli "dunia lama" sebagai akibat konsumsi kolesterol berlebihan. Padahal kolesterol bukanlah zat essensial yang harus dipasok dari luar karena bisa dibuat sendiri di dalam hati. Berapa pun jumlah kolesterol yang diperlukan, tubuh sanggup memenuhinya sendiri, karena hati mampu menghasilkan 2.000 - 3.000 mg kolesterol per hari.


Kalau tubuh bisa memenuhi sendiri kebutuhan kolesterolnya, mengapa kita perlu makan telur yang notabene kaya kolesterol? Apalagi asupan kolesterol justru bikin runyam kesehatan. Inilah yang menimbulkan "koles-telur-fobia", ketakutan makan telur dengan pertimbangan takut akan munculnya kemungkinan dampak buruk kandungan kolesterolnya.


Fakta tentang telur


Mengapa makan telur itu sehat?
Telur merupakan bahan makanan hewani yang harganya relatif murah, praktis dan mudah disiapkan serta lezat rasanya. Selain itu telur mengandung cukup mineral dan semua vitamin, kecuali vitamin C. Komposisi asam aminonya nyaris sempurna, begitu pun daya cerna dan daya serapnya, hanya terkalahkan oleh air susu ibu (ASI). Kalau ASI, daya cernanya 100%, telur 93%. Sementara bahan makanan hewani lainnya jauh di bawahnya, seperti susu sapi (84,5%), ikan (76%), daging sapi (74,3%).


Kolesterol pada telur hanya terdapat dalam bagian kuningnya, sama sekali tidak dalam bagian putihnya. Uniknya, hampir semua kandungan gizi telur justru tersimpan dalam bagian kuningnya yang berkolesterol itu. Hanya beberapa vitamin B-kompleks, seperti riboflavin (B2) dan niasin (B3), serta natrium yang kadarnya sedikit lebih tinggi dalam putihnya telur.


Masalahnya sekarang, mungkinkah memanfaatkan gizi telur tanpa memungut dampak buruk kolesterolnya?


Sebagian pakar menganggap, tudingan kolesterol telur dapat memicu serangan PJK terlalu dibesar-besarkan, sekalipun bukan berarti tidak ada efeknya sama sekali terhadap kenaikan kolesterol darah. Hasil penelitian Harvard School of Public Health terhadap lebih dari 100.000 penduduk AS yang sehat menyebutkan, responsivitas setiap individu terhadap asupan kolesterol telur berbeda-beda.


Hanya sepertiga responden yang kolesterol darahnya meningkat setelah makan satu butir telur per hari. Itu pun kenaikannya cuma 3 mg/dl, tidak cukup berarti dibandingkan dengan asupan 213 mg/dl kolesterol yang berasal dari sebutir telur. Bahkan sebagian kecil di antara responden makan dua butir atau lebih setiap hari.



Pertanyaannya kemudian, mengapa konsumsi telurd tidak otomatis meningkatkan kadar? Tim Harvard menemukan adanya sejumlah zat gizi dalam telur - antara lain zat antioksidan, asam folat, dan komponen vitamin B lain - yang bersifat counter balance terhadap naiknya kadar kolesterol darah (Journal of the American Medical Association, 21 April 1999).


Selain zat-zat tadi, sifat meredam kenaikan kadar kolesterol darah juga terdapat dalam lemak telur. Dari 5 g kandungan lemak totalnya, lebih dari separuhnya merupakan lemak tak jenuh dengan ikatan rangkap tunggal. Lemak tak jenuh tunggal, yang menyokong kadar "kolesterol baik" (high density lipoprotein, HDL), ini justru bersifat antiaterosklerosis - mencegah penyempitan pembuluh darah dan bersahabat dengan jantung.


Sebagai pembanding, tim Harvard juga melakukan penelitian efek lemak lain terhadap kenaikan kadar kolesterol darah. Hasilnya, dibandingkan dengan konsumsi makanan berkolesterol, makanan mengandung lemak jenuh dan lemak trans sebenarnya lebih berpotensi memicu hiperkolesterolemia, yang berujung pada meningkatnya risiko terserang stroke dan PJK.


Sementara itu tim peneliti US National Heart, Lung, and Blood Institute menyimpulkan, konsumsi makanan berkolesterol tidak memberikan efek berarti terhadap kenaikan kadar kolesterol darah. Penelitian dilakukan dengan membatasi konsumsi kuning telur para responden. Hasilnya, hanya 15% responden yang mengalami penurunan kolesterol darah, itu pun persentase penurunannya relatif sedikit.


Asam lemak jenuh lebih berperan


Dr. Wanda Howell dkk. dari University of Arizona melakukan analisis statistik terhadap 224 hasil penelitian tentang hubungan antara diet dan kolesterol darah. Seluruh penelitian melibatkan lebih dari 8.000 responden dan dilakukan sepanjang 25 tahun. Kesimpulannya, konsumsi makanan mengandung asam lemak jenuhlah yang paling berperan menaikkan kadar kolesterol darah, bukan konsumsi makanan berkolesterol (American Journal of Clinical Nutrition, 1999: 65).


Karena itu, Frank Hu, M.D., ketua tim peneliti Harvard, menasihatkan pembatasan konsumsi makanan mengandung lemak jenuh (misalnya daging,  ayam ras, susu berlemak) dan lemak trans (misalnya margarin) lebih penting daripada membatasi kolesterol telur. Dalam kesempatan berbeda Dr. Wanda Howell pun menekankan, konsumsi lemak jenuh pada orang sehat selayaknya lebih diperhatikan daripada konsumsi kolesterol. Soalnya, terbukti bahwa telur mengandung kolesterol yang aman bagi kesehatan jantung, sekaligus lezat dan bergizi.


Temuan ini setidaknya bisa membantu menjelaskan mengapa konsumsi telur per kapita yang tinggi di suatu negara tidak secara otomatis membengkakkan prevalensi PJK. Contohnya, konsumsi telur per kapita di Prancis, AS, dan Inggris masing-masing 5,1 butir; 4,5 butir, dan 3,3 butir. Sementara data kematian akibat PJK per 100.000 penduduk per tahun di negara-negara itu berturut-turut 250 orang, 400 orang, dan 516 orang.


Dalam data itu terlihat, prevalensi kematian akibat PJK berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi telur. Di antara ketiga negara,  Perancis yang konsumsi telurnya tinggi, tingkat kematian akibat PJK justru paling rendah. Sebaliknya dengan Inggris, sekalipun konsumsi telur perkapitanya paling rendah, tingkat kematian penduduk akibat PJK justru paling tinggi.


Yang menarik, kematian akibat PJK di Jepang justru paling rendah, padahal konsumsi telur per kapita di sana paling tinggi di dunia, yakni 6,5 butir (Nutrition Close-Up, 13(3), 1996).


Tetap menikmati telur


Jika demikian hasilnya, mengapa prevalensi hiperkolesterolemia di AS meninggi bersamaan dengan membudayanya makan telur? Ternyata pada saat yang sama, tingkat konsumsi lemak mereka per kapita mencapai 37% dari kebutuhan energi. Padahal batas toleransi konsumsi lemak yang sehat maksimum 30%.


Dengan demikian, tidak layak menghubungkan telur dan risiko PJK. Atau, kalaupun ada hubungannya, telur pasti tidak bekerja sendirian sebagai pemicu PJK.


Pada orang sehat dan sedang dalam masa pertumbuhan, asupan kolesterol umumnya hanya menaikkan kolesterol darah sedikit. Sejumlah penelitian membuktikan, orang-orang yang konsumsi lemaknya rendah dapat makan 1 - 2 butir telur per hari tanpa peningkatan kolesterol darah secara berarti. Hal sebaliknya terjadi pada penderita kencing manis (diabetes mellitus), kolesterol darah mereka sangat responsif terhadap asupan kolesterol makanan.


Lalu siapa saja yang bisa leluasa makan telur? Siapa pun yang masih dalam masa pertumbuhan (terutama anak prasekolah), tidak memiliki silsilah keluarga dengan PJK, mempunyai profil lemak darah sehat, berat badan normal (ideal), tidak merokok, dan rutin berolahraga. Profil lemak darah disebut sehat jika kadar kolesterol total 200 mg/dl, kolesterol HDL 50 mg/dl, kolesterol LDL 150 mg/dl, dan trigliserida 150 mg/dl.


Baku debat soal ada tidaknya pengaruh konsumsi telur terhadap PJK yang telah dimulai sejak 1960-an agaknya masih belum akan berakhir. Namun, tentu ada cara menikmati telur tanpa perlu menerima akibat negatifnya,  yakni dengan membatasi diri hanya makan 3 - 4 butir telur per minggu. Bahkan dalam dasawarsa terakhir dinaikkan ambangnya menjadi 4 - 5 butir. Karena yang mengandung kolesterol hanya bagian kuningnya, maka bagian putihnya boleh bebas di konsumsi.


Jika jumlah itu belum memuaskan Anda, boleh saja menambahkan penggunaan telur substitusi dalam makanan sehari-hari. Untuk menggantikan setiap butir telur, kocok 2 putih telur, 1 sendok makan susu bubuk tanpa lemak (nonfat milk), dan sedikit pewarna kuning alami seperti kunyit bubuk. Sebagai penambah rasa, bubuhkan garam dan merica bubuk. Agar lebih gurih, tambahkan minyak goreng, lebih baik yang kaya lemak tak jenuh tunggal seperti minyak zaitun, minyak wijen, atau minyak kacang tanah.


Jadi, tak ada halangan untuk menikmati telur. Bagi anak-anak, yang sedang dalam masa pertumbuhan, telur tetap merupakan makanan bergizi tinggi yang harganya terjangkau. Di AS pun satu di antara empat penderita salah gizi (malnutrition) tertolong dengan paket makanan sehat ditambah telur. Karena itu, tidak selayaknya kita ikut-ikutan menderita "koles-telur-fobia", alias takut makan telur.


Source: Majalah Intisari, no.452 - Maret 2001

3 comments:

unikgaul mengatakan...

wah makasi gan infonya,,ga bole makan terlalu banyak ya., :)

http://www.unikgaul.com/2012/02/cara-mengatasi-kecanduan-rokok.html

Menjadi Pribadi yang Tak Habis mengatakan...

Nice share gan... infonya sangat berguna.
blogwalking dan berkomentar juga di blog ane ya. salam kenal

Yulius Takeda mengatakan...

Nice infonya gan,,

Kunjungi balek dan komen artikel ini yah

Cara membuat otot tubuh six pack dengan cepat

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...