Sabtu, 09 Juli 2011

Untung Rugi Berkartu Kredit (BAGIAN 1)

SATU kali saya pernah di traktir kawan makan di restoran dan dia membayar dengan kartu kredit. Tidak terpikir bahwa suatu saat saya akan berhubungan juga dengan kartu plastik berharga tersebut hingga suatu hari saya ditawari kartu kredit domestik, BCA Card, pada tahun 1985, disusul dengan Master Card yang saat itu baru berganti status dari Master Charge.

Tahun pertama saya lebih memanfaatkan Master Card di luar negeri, karena jauh lebih praktis untuk dipakai belanja dibandingkan dengan memakai uang tunai. Namun, uang tunai harus tetap kita sediakan sekadar untuk bayar taksi, jajan kecil dan tip hotel.

Kalau dipikir-pikir, benar juga kata seseorang, bahwa kartu kredit itu seperti bunglon: di Singapura ia berubah jadi uang dolar Singapura, di Jepang jadi yen. Di Jerman jadi mark, dst. Jadi, kartu plastik itu benar-benar "uang universal".
Setelah melakukan "percobaan" dengan berbelanja di Toserba Isetan, Singapura, baru saya memanfaatkan BCA Card saya di Hotel Indonesia. 

Ternyata disini saya diminta untuk memperlihatkan KTP, mungkin untuk mencocokkan tanda-tangan atau lainnya. Pengalaman seperti itu tidak pernah saya temui lagi dihotel-hotel lain hingga hingga sekarang. Membayar dengan kartu kredit di hotel ada untungnya. Kita tidak perlu menyetor uang jaminan (deposit), dianggap lebih bonafid, dan lebih dilayani oleh bell boy (asal jangan lupa memberi tip setelah membawa koper Anda).

Lonjakan kurs valuta asing

Di pertengahan dekade 80-an, BCA Card belum populer. Ketika hendak digunakan di Pasar Baru, Jakarta, kartu plastik saya tidak laku. "Kalau pake Amex atau Visa boleh," kata mereka. Rupanya saya terlalu dini memiliki BCA Card. Walaupun saya terbilang terlambat mengenal kartu kredit, nyatanya masih banyak teman saya yang belum memiliki saat itu, sehingga ketika beberapa kali "bisnis sambil jalan-jalan" ke luar negeri bersama kawan-kawan, saya terpaksa menalangi. Alasannya, agar uang tunai bisa untuk belanja keperluan lain. Sekembali ke tanah air, mereka mengembalikan pinjaman dengan uang rupiah. Celakanya, saat itu terjadi lonjakan kurs yang cukup besar dan tagihan dari luar negeri justru diperhitungkan dengan kurs baru.

Setelah tahu enaknya memiliki kartu internasional, beberapa teman langsung minta diantar dan direkomendasikan untuk mendapatkan Master Card dan Visa. Soalnya di AS, misalnya untuk sewa mobil harus dibayar dengan kartu kredit. Tak mungkin bayar tunai.

Namun, ada juga pengalaman yang tak enak. Kami menginap di sebuah hotel di Bali. Ketika hendak membayar dengan kartu kredit, petugas disana bingung. 

Akhirnya dia berkata, "Bapak hanya bisa membayar Rp. 1 juta dengan kartu kredit, selebihnya harus tunai ." Mendapat jawaban demikian saya bingung. Untung dalam rombongan ada karyawan bank yang bisa menjelaskan bahwa kartu kredit gold dapat dibelanjakan sampai Rp 20 juta. Ada lagi sebuah hotel di Yogyakarta yang menyodorkan dua pilihan: kalau bayar tunai dapat potongan 10% kalau dengan kartu kredit tidak.

Satu tahun setelah aktif memanfaatkan kartu kredit, datang tawaran buku dan majalah dari luar negeri. Entah melalui jaringan apa mereka bisa mendapatkan nama dan alamat saya. Semua tawaran itu selain mendapat diskon khusus, juga ditambah bonus seperti travel bag, jam tangan, jam meja, vulpen, bolpen, dan lain-lain. Rupanya, dengan berkartu kredit, nama kita langsung go international.

Pramusaji Kecewa

Kalau dipikir-pikir, fasilitas kartu kredit memang praktis. Dari pada harus membuka bank draft atau menyelipkan uang ke amplop dengan risiko hilang, tentu akan lebih cepat dan mudah mengisi formulir kecil yang biasa dikirim bersama daftar pesanan. Yang perlu dibubuhkan hanya nomor kartu kredit masa berlakunya, jumlah pembayaran, dan tanda tangan. Pengalaman gaya belanja jarak jauh dengan kartu kredit cukup baik. Walaupun pernah sekali terjadi di tagih dua kali. Saya klaim lewat bank, tapi lama tidak ada kabar beritanya, lalu saya menanyakan ke perusahaan yang menjual. Jawabnya, "Tidak ada kesalahan hingga tertagih dua kali. Mungkin bank perantara yang keliru." Beberapa saat saya masih memperjuangkan nasib uang saya, namun tetap tak terpecahkan.

Dulu pembayaran dengan kartu kredit di pasar swalayan bisa cepat asal belanja minimum berjumlah Rp.25.000,-. Sekarang semua kartu kredit harus "dilitsus" (otorisasi) dulu sebelum sah dinyatakan tidak masuk daftar hitam. 

Cuma, "penglitsusan" kadang-kadang menyebabkan para pemegang kartu kredit harus antre. Ini yang menyebalkan.

Membeli tiket pesawat juga bisa dengan kartu kredit. Namun, kita akan dibebani biaya tambahan sebesar 2 - 4% (Diners paling tinggi). Walaupun begitu ada juga keuntungannya. Karena, secara otomatis penumpang diasuransikan terhadap kecelakaan dan kematian. Pembebanan seperti itu juga berlaku bila belanja peralatan elektronik, kamera, perhiasan, dan barang-barang mewah lain.

Kartu kredit makin disambut baik dan "tanpa bunga", termasuk di restoran-restoran. Namun banyak pramusaji yang kurang senang, karena dengan sengaja atau tidak, setelah kita membayar suka lupa memberikan tip.

(bersambung)

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

DAFTAR ISI

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...