Selasa, 12 Juli 2011

Kiat Hidup Irit di Perantauan (True Story)

Mendapat Kesempatan Belajar di luar negeri membanggakan. Namun, tak jarang juga menimbulkan masalah tersendiri, apalagi bila memboyong keluarga. Untuk itu perlu kiat dan jurus khusus agar tidak tersandung.

MENEMPUH studi lanjut di Amerika mungkin menjadi cita-cita sebagian besar dosen atau peneliti. Tak lain karena, konon Amerika gudangnya ilmu dan teknologi. Kecuali itu sistem pendidikan di AS dirasa cocok dengan tradisi pendidikan tinggi di Indonesia. Kecuali penyesuaian bahasa, umumnya dosen atau peneliti yang melanjutkan pendidikan di sana tidak mengalami kejutan-kejutan akademik.

Awal tahun 1998 saya memperoleh beasiswa untuk studi program doktor disana. Beasiswa sebesar  AS $750 (Saat ini kurang lebih Rp. 1.750.000)/bulan terasa besar sekali, karena gaji saya ditanah air mungkin hanya 1/7-nya.

Karena terbiasa hidup sederhana, semangat berhemat pun tertanam dalam diri saya. Setiap minggu saya belanja makanan maksimum AS $ 25 (kurang lebih Rp.58.000,-) untuk sayuran, telur, daging dan buah. Teman-teman saya sampai berkomentar, "Jadi jutawan kok belanja bulanannya pelit amat!"

Setelah dikurangi biaya sewa apartemen AS $ 225 (kurang lebih Rp.530.000), membayar listrik atau gas, saya masih bisa mengirim AS $200 (kurang lebih Rp.470.000) untuk anak-istri di Indonesia. Kasihan kalau istri sampai hidup kekurangan di tanah air, sementara saya hidup nyaman di negeri asing.

Dengan semangat menghemat tersebut, tawaran teman-teman untuk membeli sepeda, mesin ketik atau komputer saya tolak. Sepanjang masih bisa meminjam atau memanfaatkan fasilitas kampus, saya usahakan untuk tidak membeli barang-barang itu. Bahkan jaket tebal untuk musim dingin pun saya pinjam gratis di kampus! Jaket tersebut sumbangan masyarakat atau mahasiswa asing yang telah lulus. Dari pada di jual murah atau dibuang lebih baik didonorkan kekampus. Sekali lagi teman-teman berkomentar, "Hati-hati ada bibit penyakit kulit yang menempel di jaket!"

Bermodal nekat, memboyong keluarga

Setahun berada di Amerika, rasa kangen terhadap keluarga mulai tak tertahankan. Namun sponsor tidak menyediakan tiket bagi anggota keluarga, selain tidak ada tambahan uang saku. Karena itu saya harus mencari kiat-kiat, tekad kuat dan nekat untuk mendatangkan anak-istri. Pihak kampus mensyaratkan saya harus mempunyai tabungan minimum AS $ 5.000 (kurang lebih Rp.11.750.000), sehingga kehidupan kami sekeluarga tidak akan kapiran.

Terpaksa saya meminjam uang pada teman-teman, ada yang memberikan AS $ 1.000 atau AS $ 2.000. Tak heran kalau saldo tabungan saya langsung melejit. Tabungan itulah yang saya gunakan sebagai bukti, bahwa saya mempunyai cukup banyak uang. Seminggu atau dua minggu sesudahnya, uang itu saya kembalikan lagi ke teman-teman. Yang penting saya telah mendapat pernyataan dari bank bahwa saldo tabungan saya sekian puluh ribu dolar.

Kalau dulu saya merasa hidup berlebih, begitu anak istri datang dituntut pengaturan anggaran yang lebih ketat. Namun sebenarnya dengan beasiswa tersebut kami sekeluarga masih hidup layak.

Saat itu standar kemiskinan di Amerika adalah AS $1500 untuk keluarga beranak satu. Otomatis kami sekeluarga tergolong keluarga rawa ekonomi alias miskin. Dengan dalih kemiskinan ini kami memanfaatkan berbagai tunjangan sosial yang disediakan pemerintah Amerika.

Kebetulan memiliki anak balita, saya segera mendaftar ke salah satu program sosial yaitu Program WIC (Woman, Infants dan Children). Program WIC ditujukan bagi wanita hamil, menyusui dan anak balita persis seperti posyandu di Indonesia. Setiap bulan kami menerima cek sebesar AS $40 yang dapat ditukar dengan telur, sari buah, sereal dan susu di toko swalayan terdekat. Sebagai makanan tambahan, jatah tersebut kami rasakan lebih dari cukup. Bahkan saya masih bisa mencicipi jatah untuk anak kami tersebut. Karena kebetulan  anak kami tidak menyukai sereal, maka makanan itu lebih sering kami bagikan pada tetangga.

Saat musim semi di Kota Ames, Iowa, - tempat saya belajar - ada kegiatan Farmer's Market di mana petani-petani menjual sayur dan buah segar. Tentu dengan harga lebih murah daripada harga di pasar swalayan. Program WIC dalam hal ini membagikan cek khusus bagi anggotanya untuk belanja di Farmer's Market. Sekali lagi gratis.

Program sosial lain yang kami manfaatkan adalah bantuan rekening gas. Bila musim dingin tiba, rekening gas biasanya membengkak karena kami harus menggunakan gas untuk penghangat ruangan di rumah, selain untuk menghangatkan air di kamar mandi. Pokoknya, sebagai orang miskin, kita harus kreatif mengintip berbagai peluang program sosial yang disediakan pemerintah Amerika.

Ujian SIM 4 kali

Semiskin-miskinnya di Amerika, ternyata saya masih mampu membeli mobil. Sebuah sedan Chevrolet 1978 seharga AS $ 800 menjadi mobil kebanggaan kami sekeluarga. Karena seumur-umur di Indonesia belum pernah punya mobil, maka saya terpaksa menempuh ujian SIM sampai 4 kali. Setiap kali ujian SIM, petugas dari Departemen Transportasi memberi aba-aba belok kanan, belok kiri, stop, dst. Sambil bertanya berapa kecepatan maksimum yang diperbolehkan di jalan yang sedang kami lalui. Kesimpulannya, saya masih gugup dan membahayakan lalu-lintas sehingga tidak lulus.

Untungnya, saya tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun kalau tidak lulus. Sepengetahuan saya, tidak ada sistem tembak langsung untuk memperoleh SIM di Amerika.

Mobil saya hanya bertahan 2 tahun. Entah kerusakannya apa, yang jelas kalau mau diperbaiki ongkosnya AS $ 1.500. Jadi 2 kali lipat harga saat membeli. Dengan berat hati mobil tersebut saya buang ke junk yard (tempat pembuangan mobil bekas). Biasanya pemilik junk yard (tempat pembuangan mobil bekas). Biasanya pemilik junk yard menghargai AS $25 kalau mobil itu diantar. Kebetulan mobil saya mogok di pasar swalayan, dan saya tak peduli lagi dengan uang AS $ 25. Pemilik junk yard pun saya persilakan mengambil sendiri mobil tersebut. Sedangkan saya tidak memperoleh uang sepeserpun, padahal di Indonesia mobil mogok yang masih mulus, mungkin bisa laku kurang lebih Rp.2 - 3 juta.

Hidup rasanya hampa tanpa mobil, apalagi saya bekerja sebagai pegawai perpustakaan di Iowa State University. Kadang-kadang saya harus bekerja pukul 22.00 - 24.00. Terutama saat musim salju. Saya benar-benar tak berkutik tanpa mobil.

Itu sebabnya saya memutuskan untuk segera membeli mobil lagi. Sebuah Datsun 1983 saya beli seharga AS $100 plus biaya perbaikan AS $75. Mobil ini istimewa karena kecepatannya tidak bisa tinggi. Kalau pergi ke luar kota kami tidak berani lewat jalan tol, tetapi selalu mencari jalan kampung yang memungkinkan mobil jalan pelan-pelan. Dijalan kampung pun ada sopir yang marah-marah karena terhalang mobil kami yang slow but sure.

Pada akhir masa studi, mobil Datsun tersebut masih laku AS $ 140. Sudah menjadi tradisi, mahasiswa asing yang lulus menjual segala perabot rumah tangganya karena tidak mungkin dibawa pulang. Sebuah TV yang 2 tahun sebelumnya saya beli AS $ 100, akhirnya saya jual AS $75. AC yang dulunya berharga AS $50, tidak ada yang mau membeli karena suaranya berisik tetapi tidak menghasilkan udara dingin. AC itu saya letakkan di tong sampah, barangkali ada mahasiswa mencari barang bekas di tempat sampah, hal yang biasa terjadi di Amerika. Selama setahun saya tidak merasa risi tidur di atas kasur hasil temuan di bak sampah.

Source : Majalah Intisari - no.400, November 1996

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

DAFTAR ISI

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...