Jumat, 09 Desember 2011

PISAU CUKUR, Pisau Pengukur Kejantanan (BAGIAN 1)

Telah 7.000 tahun lebih pisau cukur dikenal umat manusia. Rupanya ia tak melulu digunakan untuk memangkas bulu dan rambut yang tak dikehendaki, tetapi juga menjadi simbol kaum laki-laki, lantaran ketajamannya yang penuh risiko.


TAHUKAH Anda, dalam 24 jam rambut akan bertambah panjang 0,000375 cm? Sekali cukur kumis, janggut, dan cambang dalam takaran normal, potongan bulu berjumlah 10.000 hingga 30.000 lembar? Juga, tahukah Anda, ada sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Amerika menghasilkan data: 90% dari pria berusia di atas 15 tahun punya kebiasaan mencukur kumis dan cambang, 6 hari dalam seminggu, 6 hari dalam seminggu? Nah, bagi produsen alat cukur, bukankah ini peluang besar?


Menurut penelitian itu, setiap pria menghabiskan waktu 3-10 menit untuk sekali cukur. Dengan frekuensi 6 kali seminggu, alokasi waktu yang dihabiskan sepanjang hidup mereka mencapai 3.000 jam alias 125 hari. Diprakirakan anggaran tahunan masyarakat Amerika untuk membeli peralatan ini mencapai AS $ 80 juta. Hampir 30% di antaranya berupa alat cukur elektronik, sisanya jenis manual permanen (10%) dan jenis yang langsung dibuang ketika sudah tumpul 60%. Jangan salah duga, nilai produksi pisau dan alat cukur pengganti ini sangat tinggi, yakni AS $ 900 juta (hampir Rp. 2 triliun) per tahun. Belum lagi kalau ditambah dengan nilai produksi sabun cukur, krim, dan macam-macam losion. Sungguh bukan pasar yang kecil.


Takluk terhormat


Antropolog David Givens pernah menjelaskan, "Bagi seorang pria, mencukur kumis atau cambang bukan semata-mata kegiatan rutin atau kebiasaan.


Ada perasaan tertentu dari si pelaku mengenai dirinya. Dengan menatap wajah di kaca, seseorang menjadi sangat dekat, bahkan bersentuhan dengan diri sendiri."


Itu argumen mutakhir. Padahal, pada 1886 Oliver Wendell Holmes Sr. pernah mengungkapkan lewat esainya.


"Cukur kumis adalah pekerjaan paling tidak enak. Sesuatu yang sangat simpel namun menjebak, karena kaum laki-laki harus melakukannya, mau tak mau, suka atau tak suka."


Ada keniscayaan, sekalipun bukan kodrat. Ada pula nada kepasrahan, kendati tak sepenuhnya. Majalah Antiques terbitan 1927 memberi tambahan nilai bagi keadaan itu, yakni "Kepasrahan atau rasa takluk secara terhormat."


Perihal ketajaman pisau cukur, banyak film dan cerita telah dibuat, kebanyakan dengan menyalahgunakan fungsinya. Pisau cukur, yang memang identik dengan laki-laki, makin memperoleh pembenaran sifat maskulin dari berbagai gambaran itu. Rasa perih, sifat sadistis, kengerian akan goresan, dan lain-lain, tak pelak lagi, hanya dunia maskulin yang punya. Kendatipun model safety razor alias pisau cukur berpengaman mulai diperkenalkan sejak seabad lalu, risiko tergores bagi pemakai ketika mengganti isinya tetap ada.


Pengingkaran identitas


Kegiatan pemangkasan bulu yang tak dikehendaki, diduga telah ada sejak 7.000 tahun lampau. Di zaman neolitik, sekitar masa-masa akhir zaman batu, kegiatan pengasahan dan pemolesan perkakas kehidupan telah ada. Dalam situs berusia 7.000 tahun, para antropolog menemukan benda pipih yang mirip pisau terbuat dari tanduk binatang, batu api, atau jenis batuan lain. Lukisan di gua-gua purba juga menunjukkan banyak pria dengan kumis pendek dan rapi atau bahkan klimis. Fungsi benda tajam untuk memangkas rambut juga ditunjukkan pada relief zaman dinasti pertama Mesir, 5000 tahun lalu. Salah satunya terdapat gambar Raja Namer mengarahkan pedang ke musuhnya, dengan bagian ujung pedang hampir memotong rambut si musuh. Dalam pertempuran tangan kosong, rambut adalah kelemahan. Dapat dimengerti jika karena alasan ini, prajurit Mesir kuno selalu memangkas rapi rambut mereka.


Sebagai bagian dari kebiasaan, kebersihan, bahkan pertahanan diri, pencukur rambut atau kumis tak pernah mengalami masa keemasan. Kumis, cambang, maupun janggut, selalu muncul dan hilang sesuai mode. Alexander Agung pada 4 abad sebelum Masehi, misalnya, sama sekali tak berkumis. Selain karena sadar dirinya tampan, ia melakukan itu karena pertimbangan kemiliteran. Maka ia pun memerintahkan semua prajuritnya untuk bercukur pendek. Namun perintah ini ditentang oleh tokoh bijak Yunani bernama Diogenes. Menurut dia, pencukuran kumis dan janggut adalah pengingkaran terhadap jenis kelamin. "Kaum pria ditakdirkan berbulu pada bagian muka. Jika ini dihilangkan, apa bedanya dengan muka kaum wanita?"


Di zaman Romawi, ketika para bangsawan dan kaum berada bercukur klimis, para budak dan masyarakat kelas bawah brewokan. Teori etimologi yang pernah diajukan menunjukkan: kata "barbarian", kaum barbar, berasal dari kata         
bearded one alias kaum brewokan. Ini terbukti dalam sejarah, ketika gerombolan liar brewokan mengacaukan kekaisaran.


Sebaliknya, di Turki para budak disuruh cukur rapi, sementara para bangsawan memelihara janggut sesuai dengan statusnya. Di beberapa negara Eropa, aturan ini juga berlaku selama beberapa abad.


Bersambung - PISAU CUKUR, Pisau Pengukur Kejantanan (BAGIAN 2)

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

DAFTAR ISI

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...