Jumat, 17 Februari 2012

Tidak Bodoh Tetapi Tinggal Kelas

Begitu tahu angka IQ anak di atas rata-rata, biasanya langsung diambil kesimpulan, ia pasti cerdas di kelas. Padahal menurut survei Departemen P dan K, sebagian besar anak SD yang tinggal kelas IQ-nya normal, bahkan di atas rata-rata. Ini pasti ada sebabnya.


SEORANG IBU MUDA bergegas keluar dengan mata berkaca-kaca dari ruang kelas 3 sebuah sekolah dasar, tempat anaknya bersekolah, gara-gara anak sulungnya ini tidak naik kelas. Sebetulnya bisa dimaklumi, sebab nilai rapornya banyak yang jeblok, bahkan nyaris "kebakaran" karena banyak merahnya.


Tapi si ibu tidak bisa maklum karena ia yakin anaknya bukan tergolong bodoh, mengingat angka IQ-nya di atas rata-rata. "Kenapa hal itu bisa terjadi?" si ibu terus bertanya-tanya.


Ibu dan anaknya itu rupanya tidak "menderita" sendirian. Dari laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1996 menyatakan, angka mengulang di kelas-kelas awal SD memang cukup tinggi; 16,7% di kelas I, 12,4% di kelas 2, dan 10,6% di kelas 3. Sedangkan kelas 4 sampai dengan kelas 6 persentasenya menurun; 8,5% di kelas 6. Sebagian besar anak yang tinggal kelas itu ternyata angka IQ-nya tidak di bawah rata-rata.


Potensi ibarat kendi


Anak yang tinggal kelas sering dicap sebagai anak bodoh. Ini tentu anggapan serampangan sebab kenyataannya tidak selalu demikian. Mestilah dilihat kasus per kasus. Setidaknya ada dua segi yang bisa dikaji dengan saksama untuk mencari penyebabnya, yaitu faktor psikologis dan fisiologis anak.


Dari sudut psikologis dapat dilihat selain IQ juga kondisi keluarga dan lingkungan tempat tinggal, serta pergaulan dan lingkungan sekolah. Dari segi fisiologis perlu ditengok faktor kesehatan si anak; umumnya faktor gizi dan gangguan penglihatan maupun pendengaran sangat mengganggu prestasi sekolah anak.


Dalam psikologi pendidikan dikatakan, anak-anak yang tinggal kelas umumnya tergolong sebagai anak yang underachiever atau tidak terpenuhi kebutuhannya. Prof. Dr. Conny Semiawan, seorang pakar pendidikan, lebih jauh menjelaskan bahwa anak yang underachiever dalam kesehariannya kurang mendapat pengarahan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya saja, si anak senang sekali membaca tetapi di rumah tidak atau kurang disediakan sarana bacaan yang sesuai dengan usianya. Atau si anak gemar sekali musik, namun orang tua tidak memperbolehkannya ikut les musik karena takut mengganggu pelajaran sekolahnya.


Sebagai gambaran, Conny Semiawan mengibaratkan otak atau potensi seorang anak cerdas-berbakat bagaikan sebuah kendi besar. Kalau kendi itu tidak diisi penuh, anak bisa membuat masalah. Anak yang berinteleligensi jauh lebih tinggi dari rata-rata teman sekelasnya, akan merasa hampir setiap pelajaran membosankan karena daya tangkapnya juga lebih cepat di bandingkan dengan teman-temannya.


"Kalau guru sedang menerangkan sesuatu yang mungkin bagi murid lain belum dimengerti, anak ini sudah terlebih dahulu menangkapnya. Akibatnya, ia mudah bosan, malas, dan mempunyai lebih banyak waktu untuk mengganggu teman serta mengabaikan gurunya. Anak seperti ini menjadi nakal di kelas dan tidak disenangi oleh guru maupun teman-teman sekelasnya," jelas Conny Semiawan. Barangkali anak dengan kategori semacam ini akan menjadi lebih serius kalau diberi pelajaran yang lebih banyak menuntut pemikirannya, sehingga apa yang dilakukan dia rasakan mengasyikkan.


Jadi, angka IQ di atas rata-rata tidak menjamin keberhasilan prestasi sekolah anak yang bersangkutan kalau "kendi"-nya tidak diisi penuh.


Orang tua penuntut


Faktor psikologis lain yang tidak kalah penting adalah emosi. Sikap ambisius orang tua sering kali membuat anak terkungkung dalam situasi yang menekan, bahkan terkadang menyiksa. Ambisi itu misalnya berupa sikap menuntut si anak berprestasi melebihi teman-temannya. Kalau si anak mendapat nilai 6 untuk suatu pelajaran, ia sudah dianggap gagal atau bodoh. Kemudian anak itu dimaki-maki atau tidak jarang dihukum dengan tindakan fisik, misalnya ditampar, dipukul, dikurung di kamar mandi (sampai si anak masuk angin, dan orang tuanya bingung sendiri), dll.


Situasi menekan lainnya yang juga sering dialami anak misalnya terus dijejali dengan berbagai les pelajaran sekolah. Atau, begitu pulang sekolah harus langsung belajar sampai petang hari sehingga ia tidak punya kesempatan untuk bermain. Kalau situasi yang menekan dan menyiksa ini berlangsung terus-menerus, anak yang bersangkutan bisa dihinggapi rasa takut pergi ke sekolah karena terus diliputi kekhawatiran. Sikap ambisius atau perfeksionis semacam ini sering kali justru bisa kontraproduktif, bahkan menghancurkan prestasi anak. Kalaupun prestasi sekolahnya baik, tidak jarang perkembangan psikologis maupun sosialnya terganggu.


Seperti pernah dikatakan Prof. Dr. Yaumil Agus Achir, seorang pakar psikologi, dalam sebuah seminar dengan Intisari, banyak anak rendah prestasinya belajarnya justru karena ia takut gagal. Soalnya, alam perasaannya diliputi kekecewaan, keragu-raguan, tekanan, dan anggapan bahwa dirinya kurang mampu. Ketidakberhasilan ini, menurut Yaumil, akibat terganggunya dorongan untuk meraih sukses sehingga anak lebih memusatkan perhatian pada usaha menyelamatkan diri dari kegagalan. Di sini motif menghindari kegagalan lebih besar daripada motif untuk berprestasi, sehingga si anak enggan mencoba mendapat nilai cemerlang.


Anak akan bisa belajar dengan baik kalau ia diliputi perasaan senang dan aman serta bebas dari paksaan.


Lingkungan tak mendukung


Reproduksi ingatan atau berpikir, pembentukan pengertian dan kesimpulan, persepsi maupun asosiasi merupakan faktor psikis penting lainnya. Si anak mungkin saja mengetahui dan menyadari letak gangguan yang menyebabkan kemunduran prestasinya, tetapi ia sulit atau tidak berani mengungkapkannya. Di sinilah pentingnya peran guru dan orang tua untuk menganalisis penyebab menurunnya prestasi anak.


Faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga ataupun sekolah juga ikut menentukan baik tidaknya prestasi anak. Keluarga yang kurang harmonis, orang tua sering cek-cok, anak kurang mendapat perhatian, semua itu akan mempengaruhi jiwa anak. Pada keluarga yang berkecukupan, banyak anak terlalu di manja dan santai sehingga ia kurang tertantang untuk maju. Sedikit saja menemukan kegagalan, ia sudah putus asa.


Kebutuhan anak bukan sekedar sandang dan pangan yang memadai, tetapi juga kasih sayang, perhatian, serta rasa aman yang cukup. Kemanjaan dan perlindungan yang berlebihan justru bisa mengembangkan sikap kurang mandiri pada diri anak.


Namun keadaan sosio-ekonomi yang kurang menunjang pun acap kali berpengaruh. Misalnya, tidak adanya tempat belajar tersendiri, penerangan yang tidak memadai, banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam rumah yang kecil sehingga keadaan yang hiruk pikuk tidak memungkinkan anak untuk dapat memusatkan konsentrasinya dengan baik.


Lingkungan kedua setelah rumah adalah sekolah. Sikap guru yang kejam dan galak, kurang berkomunikasi dengan murid, metode pengajaran yang kurang tepat dan terlalu cepat, materi pelajaran yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan latar belakang kehidupan anak, ditambah lagi dengan permusuhan dengan teman, semua itu bisa menghambat prestasi anak.


Keadaan masyarakat atau lingkungan tempat tinggal, misalnya anak "harus" hidup dalam lingkungan masyarakat yang kurang baik - seperti di daerah yang penuh dengan mereka yang sering mabuk-mabukan, tempat perjudian, pelacuran, dll. - juga akan berpengaruh bagi perkembangan jiwa dan prestasi anak.


Segi fisiologis yang menjadi perhatian utama adalah soal kesehatan anak. Dalam keadaan sakit, penglihatan atau pendengarannya terganggu, anak tentu tidak mudah berkonsentrasi ataupun menyerap pengetahuan yang diberikan. Anak yang mengeluh sering pusing atau setiap kali menonton televisi selalu mengerutkan matanya, perlu segera diperiksakan matanya ke dokter.


Pemberian makanan bergizi sesuai dengan perkembangan serta usia anak tentu juga sangat penting. Anak yang kurang gizi sehingga pertumbuhan otaknya ikut terganggu tentu prestasinya bisa terhambat.


Beri kasih sayang


Untuk mengurangi tingginya laju angka tinggal kelas di sekolah dasar, bisa ditempuh melalui berbagai upaya asalkan sebelumnya diketahui dengan jelas apa yang melandasi anak kurang bersemangat dalam belajar.


Dalam proses belajar mengajar tidak hanya berlangsung interaksi instruksional, tetapi juga interaksi pedagogis yang mengutamakan sentuhan-sentuhan emosional sehingga anak merasa senang belajar.


Pakar psikologi dari Swiss, Jean Piaget, membagi 4 stadium berpikir pada anak,  yakni stadium sensorimotorik (0-18 bulan), stadium pra-operasional formal (11 tahun ke atas). Ia menyinggung pentingnya metode mengajar anak yang seimbang dengan usia serta perkembangan fisik serta mental anak.


Anak usia 7 - 10 tahun berada pada stadium operasional kongkret. Pada stadium ini anak sudah mampu melakukan aktivitas logis tertentu tetapi masih dalam situasi kongkret. Maksudnya, kalau anak dihadapkan pada suatu masalah secara verbal saja, tanpa bahan yang kongkret, ia akan sulit menuntaskan persoalannya secara baik. Bahan kongkret ini bisa berupa alat peraga. Mereka akan lebih mudah belajar menjumlahkan angka dengan menggunakan alat bantu sederhana seperti lidi atau batang korek api.


Memberikan suatu pengertian bahwa sifat-sifat tertentu suatu objek akan tetap sama kendati ada transformasi pada objek tersebut (konservasi), bisa diperagakan misalnya dengan segenggam tanah liat yang diubah-ubah bentuknya menjadi segi tiga, segi empat, atau bulat. Bentuknya berubah tetapi beratnya tetap sama.


Namun metode ini harus didukung pula oleh berbagai faktor penunjang seperti perhatian serta dukungan orang tua, keadaan lingkungan serta kesehatan yang baik dan gizi anak yang cukup. Langkah-langkah yang perlu untuk menjalankan siasat jangka panjang demi perkembangan prestasi anak, menurut Yaumil, antara lain ialah lebih sering mengamati anak, mendengarkan obrolannya, mau berdialog dengannya, mendampinginya membuat PR. Langkah ini ditempuh agar orang tua mendapat masukan cukup yang diperlukan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.


Kalau sekali waktu anak gagal meraih prestasi, atau pahitnya sampai tidak naik kelas, hendaknya disikapi dengan empati, bukannya dihujani dengan serentetan makian atau hukuman yang merendahkan harga diri si anak. Untuk memperbaiki prestasinya, hendaknya ditelusuri penyebabnya. Kalau perlu, minta bantuan ahli atau guru kelasnya. Sebaliknya, berikan apresiasi (penghargaan misalnya pujian yang wajar, tidak selalu harus dalam bentuk materi) setiap kali anak menunjukkan prestasi. Anak butuh kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang terdekat dengannya, yaitu orang tua!


Source: Majalah Intisari, no.403 - Februari 1997

2 comments:

stupid monkey mengatakan...

mungkin orang tua juga harus bisa introspeksi ya sob, mengapa bisa terjadi hal seperti demikian, si anak bisa saja malas karena orang tuanya yang kurang respon, bisa saja kan :D

yus yulianto mengatakan...

orang tua berperan penting ya...

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...