Minggu, 09 Oktober 2011

10 Kekeliruan Menjadi Pasien

Komunikasi pasien dan dokter menentukan mutu diagnosis. Visi, persepsi, dan mitos pasien tentang dokter dan penyakit memberi warna pada jalinan komunikasi pasien dengan dokter yang memeriksanya. Jika mutu komunikasinya buruk, bisa merugikan pasien. Apalagi kalau sampai tidak terjalin. 


Lalu hal-hal apa sajakah yang termasuk dalam kekeliruan menjadi pasien??
Diantaranya adalah:


1. Gejala bukan penyakit


Kebiasaan salah dokter adalah bertanya, "Anda sakit apa?", membuat pasien bingung harus memberi jawaban apa, Bukankah buat tahu apa dan mengobati penyakit itulah maka pasien pergi ke dokter??


Tapi jika pasien menjawab, "Sakit panas, Dok" , itu juga karena salah kaprah dari dokter sejak awal. Sebab, yang dimaksudkan dokter, "Apa keluhan Anda?"


Gejala tidak identik dengan penyakit. Demam, batuk, darah tinggi, kurang darah, gatal-gatal, dan mencret, bukanlah nama penyakit, tapi gejala dari suatu penyakit. 


Gejala dan keluhan di kumpulkan, dicampur dengan tanda-tanda penyakit yang dilihat, didengar dokter. Lalu diaduk dengan semua temuan dari hasil pemeriksaan badan. Alhasil sebuah diagnosis di kamar praktik bisa jitu, bisa juga meleset.


Sesatnya pasien dalam mengobati diri sendiri, karena anggapan salah bahwa gejala atau keluhan serupa dapat diobati dengan obat yang sama. Keluhan mata merah yang (kelihatannya) sama bisa berasal dari penyakit yang berbeda-beda. Juga untuk gatal, mulas, dan mencret.


2. Perut pusing, kepala mulas


Selain rancu, rata-rata pasien juga hobi ngalor-ngidul kalau mengungkapkan keluhannya. Pasien sering kurang tajam membedakan mana keluhan yang "ranting", mana yang "dahan" dan "batang". Dokter yang cerdik selalu memandu pasiennya agar hanya mengungkapkan alasan kuat yang mendorong pasien datang berobat. Ini yang dijadikan pedoman dalam mengarahkan pikiran  dokter untuk sebuah diagnosis.


Bahasa dan mutu ungkapan pasien sering kurang jernih. Dokter tak selalu mudah menghayati dan memahami keluhan pasien. Karena dokter belum tentu pernah mengalami sendiri setiap keluhan pasiennya. Sekolah kedokteran tidak mensyaratkan setiap dokter harus pernah merasakan nyeri haid atau melahirkan, atau harus mengalami sakit raja singa dulu supaya bisa mengobatinya, misalnya.


Bisa saja terjadi yang ditangkap dokter bukan seperti yang dimaksudkan pasien. Rasa nyeri, misalnya, banyak kalibrasi dan jenisnya. Bahasa Jawa paling lengkap ungkapan rasa nyerinya. Tapi tidak semua dokter mahir semua bahasa pasiennya, dan tidak setiap pasien menguasai bahasa dokternya. Kurang bulatnya pasien melukiskan keluhan yang dirasakannya bisa menyesatkan arah pikiran dokter dalam mendiagnosis.


Mampu tidaknya seorang dokter dalam menangkap keluhan-keluhan pasiennya amat tergantung dari pengalaman dan bekal medis yang dimilikinya. Pasien tifus bisa datang dengan keluhan demam. Yang lain bilang sakit perut. Yang lain lagi bilang sakit kepala. Dokter berpengalaman mungkin baru dengan melihat saja bisa mengenali pasien tifus sama jelasnya dengan pasien TBC.


3. Curigai dokter yang rajin membuka semua


Tidak semua pasien perlu diperiksa lengkap. Ketelitian memeriksa tidak harus membuka semuanya. Pemeriksaan dinilai arif kalau terpusat sesuai arah pikiran yang ditangkap dokter setelah bicara dengan pasien. Pasien congek atau panu tak harus disuruh membuka baju, apalagi pakaian dalam.


Pasien pria sebaiknya tidak memilih dokter wanita untuk berobat penyakit kelamin. Jangan tersinggung kalau dokter tak memeriksa apa-apa. Lebih banyak dokter wanita yang tidak mau melihatnya, konon karena merasa takut.


Teliti dan lama pemeriksaan bukan jaminan tepatnya diagnosis. Sebaliknya proses periksa kilat tak selalu berarti salah diagnosis. Kuncinya faktor pengalaman. Kecermatan memeriksa dan kesembuhan pasiennya menjadi salah satu ukuran bonafiditas seorang dokter, walaupun tak selalu harus dengan membuka baju orang.


4. Diagnosis "kucing dalam karung"


Salah, anggapan bahwa semua penyakit selalu mungkin didiagnosis di kamar praktik dokter. Ibarat kucing dalam karung, orang tidak mungkin menentukan jenis, warna dan sosok kucing hanya dengan mendengar bunyinya. Tidak semua penyakit bisa didiagnosis hanya dengan perangkat dan kemahiran dokter di kamar praktik. Kencing manis dan anemia perlu laboratorium. Patah tulang dan batu ginjal perlu rontgen. Ayan perlu EEG dan penyakit jantung perlu EKG.


Penyakit yang sebetulnya bisa didiagnosis langsung di kamar praktik bisa meleset kalau pasien datang tidak pada waktu yang tepat. Pasien tifus yang sudah datang ketika baru demam saja tak bisa dibedakan dengan penyakit demam lainnya.


Pasien yang setelah minum obat dan demamnya memburuk akan bilang dokter yang memeriksanya kurang pintar. Sedang dokter yang seminggu kemudian yang mendiagnosisnya tifus dibilang dokter hebat.


Belum tentu. Mungkin hanya karena "nasib" dokter yang belakangan lebih baik. Pasien datang pada saat sosok penyakitnya sudah tampak lebih gamblang. Kalau dokter pertama baru melihat daunnya, dokter yang belakangan memeriksa sudah melihat pohonnya. Kejadian sebaliknya bisa terjadi. Dokter yang sebelumnya dibilang bego bisa dibilang brilian oleh pasien lain kalau pasiennya baru berobat waktu sakitnya sudah parah. Waktu gambaran penyakitnya sudah sangat lengkap.


Enaknya dokter kesohor juga disitu. Karena umumnya pasien yang datang biasanya sudah berobat ke mana-mana belum sembuh, ketika gambaran penyakit biasanya sudah utuh dan gamblang sesuai dengan yang ada di buku teks.


5. Tidak semua "penyakit" perlu obat


Pasien yang datang berobat ke dokter sebagian besar bukan karena penyakit berat. Rata-rata bisa sembuh sendiri, bahkan sekalipun tanpa obat. Fungsi obat lebih karena karena sugesti pasien sendiri. Tipe pasien yang langsung sembuh begitu ketemu dokter, membuktikan bahwa obat tidak selalu diperlukan. Fenomena anak yang langsung sembuh begitu dipegang dokternya juga memberi arti tumbuhnya sugesti dokter terhadap pasiennya.


6. Tak selalu perlu pemeriksaan canggih


Sekarang pemeriksaan dengan alat canggih sering kali lebih demi mengikuti mode ketimbang fungsinya. Tak perlu iri jika untuk keluhan yang sama orang lain diperiksa dengan alat canggih, tapi kita tidak karena mungkin kondisi penyakitnya tak sama.


Alat canggih yang dipakai secara tidak tepat dan salah alamat menambah tinggi biaya berobat. Sekali lagi, alat-alat itu  itu hanya membantu, bukan satu-satunya cara dokter mendiagnosis. Belum tentu dengan alat lebih canggih diagnosis lebih jitu. 


7. Mahal belum tentu lebih mujarab


Kesembuhan penyakit tidak ditentukan oleh mahal tidaknya obat, melainkan oleh ketepatan dokter memilihkan obat. Obat yang salah alamat, betapapun mahalnya tidak menyembuhkan. Sebaliknya, obat yang murah namun tepat alamat, pasti tokcer.


Harus dibedakan antara obat murah dengan obat bermutu rendah. Masyarakat rancu dan pukul rata bahwa obat generik itu pasti kurang bermutu, dan obat bukan generik pasti bagus. Ada obat murah yang memang bermutu, ada juga obat mahal namun kurang bermutu. Keraguan pasien terhadap yang diminumnya ikut menentukan kesembuhannya. Tapi kalau ada obat yang lebih murah dan bisa menyembuhkan mengapa harus pilih yang mahal?


8. Kesembuhan, tidak ibarat makan cabai


Tidak ada penyakit yang bisa langsung sembuh begitu obat diminum. Yang mereda gejala dan keluhannya, sedangkan penyakitnya masih membara. Jangan pindah dokter dulu sebelum obat dihabiskan.


Karena pasien mengira penyakit itu identik dengan gejala, maka hilangnya gejala dinilai sama dengan sembuh. Makanya banyak dokter dituntut oleh pasien untuk lebih mengutamakan pengobatan menghilangkan keluhan dan gejala atau simtomatik ketimbang membasmi akar penyakitnya. Itu sebabnya resep sekarang lebih panjang karena lebih banyak obat diresepkan, yang sebetulnya kurang perlu.


Gejala nyeri kepala, demam, mual, mencret yang merupakan bagian dari suatu penyakit tak selalu perlu diberi obat. Yang diobati penyebab timbulnya keluhan dan gejala tersebut. Anak yang radang tenggorokan, selain demam dan batuk sering pula mencret. Mencretnya tidak selalu berarti ada gangguan usus, melainkan bagian dari penyakit radang tenggorokannya yang tak perlu diobati. Begitu juga kalau mual dan muntah. Obat pereda keluhan dan gejala baru diberikan kalau dan gejala baru diberikan kalau kondisinya sudah mengganggu. Misalkan akibat demamnya anak menjadi kejang, atau akibat batuk sampai muntah berkali-kali, atau mencretnya sampai membuatnya kekurangan cairan.


Kalau ada keluhan dan gejala yang langsung mereda dan tak muncul lagi sehabis minum obat, itu artinya bukan penyakit berarti. Anak yang demam, batuk, muntahnya atau keluhan dan gejala lain hanya turun jika minum obat, tidak boleh dibilang penyakitnya sudah sembuh. Pasien begini perlu obat yang membasmi akar penyakitnya. Sebaliknya, jika obat dokter sudah habis gejala dan keluhan masih tetap ada, mungkin diagnosis dokter meleset.


9. Tak semua penyakit bisa diobati sendiri


Pilihan pasien mengobati penyakitnya sendiri tak selalu salah. Gangguan dan keluhan sementara yang bisa mereda dengan obat bebas (OTC) tak perlu bantuan dokter. Tapi jika keluhan dan gejala menetap atau memburuk, jangan tunda pergi ke dokter.


Pasien kencing manis dan darah tinggi cenderung melanjutkan sendiri pengobatannya lantaran merasa bisa bebas membeli obat. Kebiasaan ini bisa berbahaya akibat dosis dan efek sampingan yang tak terpikirkan oleh pasien. Kadar gula atau tekanan darah yang anjlok jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan sedikit tinggi. Pemakaian obat secara rutin dan lama cenderung bisa menimbulkan kondisi demikian kalau tidak di awasi dokter.


Kebiasaan buruk lain dalam mengobati sendiri: obat yang sama dipakai untuk keluhan dan gejala yang sama. Obat tetes mata yang mengandung bahan kortison, misalnya, bisa berbahaya jika dipakai untuk semua penyakit mata. Demikian pula untuk salep kulit, bahkan untuk pilihan obat bebas pun perlu batas. Betapapun bebas pemakaian dan sederhananya obat, semua tetap punya efek sampingan.


10. Belum semua penyakit dapat disembuhkan 


Ini fakta medis yang harus kita terima. Artinya, perlu lebih skeptis dalam menerima tawaran penyembuhan yang kurang masuk akal secara medis. Untuk sebuah temuan medis dibutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit. Jangan mudah percaya jika sekarang ada pihak yang mengaku, misalnya mampu menyembuhkan AIDS atau hepatitis B. Karena jika benar begitu, seharusnya pihak ini berhak mendapat Hadiah Nobel.


Terapi alternatif sekarang mengarah kepada konsep kembali ke alam. Tidak seluruhnya salah, tapi belum tentu semuanya benar. Perlu bukti ilmiah memadai, bukan empiris, apalagi jika cuma "ilmu" warisan. Heboh daun kompring, susu kuda liar, benalu teh, di masa lalu mengajarkan kepada kita agar tidak terlalu sederhana melihat kerja besar puluhan tahun yang melahirkan sebuah temuan obat.


Penyembuhan nonmedis begitu mudah dipercaya karena didukung oleh pengakuan orang-orang yang berhasil disembuhkan oleh suatu obat atau suatu healing yang secara ilmiah belum terbukti. Mengapa? Karena yang cerita cuma yang sembuh, sedang yang tidak berhasil disembuhkan biasanya bungkam. Itu bisa berarti yang tidak disembuhkan masih lebih banyak daripada yang disembuhkan. Suatu obat atau healing secara ilmiah baru dinilai bermakna khasiatnya jika berhasil menyembuhkan semua pasien dengan penyakit asma. Selama masih ada yang tidak berhasil di sembuhkan berarti masih ada faktor kebetulan dalam kesembuhannya. Kita tahu faktor kejiwaan pun ikut berperan dalam kesembuhan. Rasa yakin dan berpikir positif yang kuat turut membantu proses kesembuhan pasien juga.


Source: Majalah Intisari, no.396 - Juli 1996

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...