Selasa, 04 Oktober 2011

Styrofoam Plastik Busa Berbahaya

PLASTIK busa yang lazim dipakai sebagai tatakan kemasan bahan pangan dan pelindung barang elektronik - belakangan makin sering digunakan untuk wadah makanan dan minuman. Padahal, bahan penyusunnya bersifat racun sehingga bisa mencemari makanan atau minuman. Apalagi kalau hidangan itu dikemas panas-panas!


Bahan ini disinyalir bisa merangsang tumbuhnya sel tumor dan kanker serta potensial mengakibatkan cacat lahir.


Styrofoam hanya salah satu dari puluhan, bahkan ratusan jenis plastik. Orang awam memang sulit membedakan berjenis-jenis plastik, meskipun barang ini begitu gampang ditemukan di sekitar kita. Mulai dari sikat gigi, ember, gantungan baju, kabinet, peralatan dapur, sisir, tutup kaset, sampai kantung plastik. Tahukah Anda kalau benda-benda ini terbuat dari bahan plastik yang berbeda-beda?  


Plastik merupakan hasil proses pencampuran bahan kimia organik yang berasal dari minyak bumi, batu bara atau gas alam. Sebagai suatu bahan, plastik memang memiliki keistimewaan. Ia mudah dibentuk menjadi serat, lembaran, maupun padatan. Selain kuat dan awet, harganya pun relatif murah.




Gelas Styrofoam
Lantas, bagaimana kita bisa membedakan berbagai jenis plastik? Bergantung pada bahan dasarnya, yang secara umum disebut monomer. Untuk membentuk plastik, monomer-monomer ini diproses menjadi menjadi rantai-rantai panjang yang disebut polimer. Untuk menghasilkan plastik mentah - dikenal sebagai resin - polimer ini ditambah dengan berbagai bahan kimia lain. Baik sebagai pengisi, pelentur, pewarna, peliat, maupun pelumas. Perbedaan kombinasi jenis dan jumlah polimer serta bahan tambahan (aditif) inilah  yang membedakan karakter dan jenis plastik yang dihasilkan.


Perkembangan plastik sendiri dimulai sejak akhir abad IX. Yang dianggap berhasil mengembangkannya secara komersial adalah John W. Hyatt, seorang ilmuwan AS. Pada tahun 1968 John berhasil menciptakan bahan pembuat bola biliar, sisir, dan pengisi kerah baju dari campuran serat(selulosa), asam nitrat, dan kamper. Bahan ini oleh Perusahaan Eastman Kodak pada tahun 1884 dikembangkan menjadi pita seluloid, yang kini dikenal sebagai bahan dasar pita film dan foto. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1909, plastik sintetis berbahan dasar polimer organik ditemukan oleh Leo H. Baekland. Pada tahun 1930-an, setelah teori makromolekuler yang mampu menjelaskan susunan molekul polimer berkembang, teknologi plastik berkembang pula dengan pesat. Tak ketinggalan pada 1935 tim peneliti Perusahaan Du Pont menemukan nilon.


Disusul penemuan jenis plastik lain oleh berbagai pihak. Misalnya akrilik , teflon, melamin, saran, formika, sampai plastik busa atau styrofoam yang diprotes itu. Semua sebutan itu merupakan istilah umum dari berjenis-jenis plastik yang berbeda bahan dasarnya.


Monomer plastik yang paling banyak dikenal saat ini diantaranya vinil klorida , stirena, etilena, propilena, formaldehida, akrilida, dan beberapa jenis lain. Hasil penggabungan monomer, yang dikenal sebagai polimer dan merupakan bahan dasar utama plastik, diberi nama sesuai monomernya setelah ditambahi kata "poli". Diantaranya polivinil klorida, polietilena, polistirena, polipropilena. Ringkasnya, plastik adalah campuran polimer dengan beberapa bahan tambahan.


Keluarga besar plastik ini memang sangat banyak anggotanya. Masing-masing memiliki karakter dan kegunaan berbeda-beda. Dari sekian jenis, yang dianggap terpenting dan paling banyak digunakan saat ini ada sekitar 25 jenis. 


Selain nama dagang, plastik juga memiliki sebutan teknis yang baku, dengan penyingkatan bahan dasar polimernya. Misalnya teflon, nama teknisnya adalah polytetrafluorethylene (TFE). Teflon sekarang dipakai sebagai pelapis peralatan dapur. Sedangkan nilon, punya nama teknis polyamide (PA). Kita tahu nilon banyak digunakan dalam bentuk serat, untuk tekstil dan benang. Plastik saran, sebenarnya adalah polyvinilidene cloride (PVDC), banyak dipakai untuk kantung. Polyethylene (PE) banyak dipakai untuk peralatan rumah tangga seperti ember, panci, kursi, selain untuk kantung plastik.


Bagaimana dengan styrofoam?


Istilah teknis styrofoam adalah foamed polyesterene (FPS). Bahan dasarnya adalah polistirena, yang merupakan plastik sangat ringan, kaku, tembus cahaya, dan murah. Hanya saja, kelemahannya adalah sifatnya yang rapuh.


Untuk menambah kekuatannya dicampurkan senyawa butadiena yang merupakan karet sintetis. Penambahan butadiena inilah yang menyebabkan polistirena tidak jernih lagi dan berubah warna menjadi putih susu. Selain itu , untuk meningkatkan kelenturannya, ditambahkan juga zat plasticiser, seperti  dioktilptalat (DOP), butil hidroksi toluena (BHT), atau n-butil stearat.


Sedangkan istilah foamed berasal dari proses pembuatannya, yang salah satu tahapnya adalah peniupan, untuk membentuk struktur sel. Dalam proses peniupan ini digunakan gas chlorofluorocarbon (CFC). Hasilnya, ya, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini: plastik busa dalam berbagai bentuk dan penggunaan. Warnanya putih susu dan ringan. 


Migrasi zat racun


Lalu dimana duduk soalnya hingga pemakaian styrofoam diprotes banyak kalangan?


Ada dua masalah. Pertama pada bahan untuk membuat plastik busa itu sendiri dan kedua adalah pemakaian gas CFC itu sendiri dan kedua adalah pemakaian  gas CFC dalam proses pembuatannya.


Pada yang pertama adalah kemungkinan terjadinya perpindahan alias migrasi monomer-monomer stirena kemasan plastik busa ke dalam makanan atau minuman yang ada didalamnya. Persoalannya, menurut berbagai penelitian yang dilakukan sejak 1930-an, bukan sekedar terjadinya migrasi monomer ini. Yang penting adalah akibatnya, karena monomer bersifat toksik.


Vinil klorida dan vinil sianida, misalnya, mengakibatkan perubahan genetik pada mikroba. Akrilonitril menimbulkan tumor dan cacat lahir pada tikus. Stirena, yang merupakan bahan dasar styrofoam, juga bersifat mutagenik (mampu mengubah gen) dan potensial karsinogen (merangsang tumbuhnya sel  kanker). Beberapa jenis tumor kulit hewan juga ditemukan akibat stirena. 


Pada plastik busa risikonya bahkan lebih besar lagi, karena bahan aditif yang dipakai pun diketahui berbahaya. Butadiena sebagai bahan penguat, maupun DOP atau BHT sebagai plasticiser, keduanya karsinogenik. Suatu penelitian lain  juga menunjukkan DOP merusak testis hewan percobaan dan menimbulkan kemandulan.


Migrasi itu sendiri dapat terjadi karena monomer-monomer plastik, khususnya stirena , larut dalam air, lemak, alkohol, maupun asam. Waktu pendadahan dan suhu juga mempengaruhi. Makin lama makanan atau minuman kontak dengan permukaan plastik, dan makin tinggi suhunya, migrasi zat racun dalam plastik akan makin meningkat. Apalagi bila makanan atau minuman itu banyak mengandung lemak atau minyak. Begitu juga dengan plasticiser yang digunakan dalam plastik.


Celakanya, efek racun itu tidaklah langsung terlihat. Sifatnya akumulatif dan dalam jangka panjang baru timbul akibatnya. Hingga sering melenakan perhatian kita terhadap bahayanya.


Karena adanya risiko berbahaya itu, maka di negara-negara maju dibuat berbagai peraturan mengenai zat pembuat bahan pengemas, terutama yang dipakai untuk makanan dan minuman. Pengemas harus memenuhi syarat maksimum jumlah migrasi yang diizinkan.


Di Eropa migrasi plasticiser yang diizinkan maksimum adalah 60 mg/kg makanan. Demikian pula migrasi monomernya dibatasi secara ketat. Inggris menetapkan batas migrasi vinil klorida dalam makanan maksimum 0,1 mg/kg.


Jenis polimer dan bahan aditif yang boleh digunakan pun dibatasi. Di Amerikat Serikat, misalnya, segala jenis pengemas plastik yang terbuat dari vinil klorida (PVC) dilarang digunakan untuk mengemas susu ataupun olahannya dan juga minuman ringan bergas CO2.


Setiap negara memiliki ketetapan yang agak berbeda, meskipun semuanya merujuk pada standar internasional dari badan PBB, yaitu Codex Alimentarus Comission. Sementara negara-negara yang belum memiliki ketentuan seperti halnya Indonesia, bisa mengacu pada Codex.


Selain faktor-faktor di atas, jumlah komposisi masing-masing bahan plastik, polimer dan aditifnya, juga mempengaruhi besar kecilnya migrasi. Bagaimana dengan yang terjadi pada styrofoam?


Sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang secara khusus membahas tentang hal ini. Kemungkinan besar, karena pemakaian styrofoam untuk mengemas makanan sebenarnya tidak lazim. Kecuali untuk bahan mentah, seperti telur, daging, sayur atau buah. Itu pun biasanya cuma terbatas sebagai tatakan. Penggunaan styrofoam yang paling lazim adalah untuk bahan pelindung dan penahan getaran bagi barang-barang yang fragile, seperti barang elektronik.


Yang pasti, sebagaimana telah dijelaskan, baik monomernya (stirena) maupun aditif utama styrofoam (DOP dan butadiena) sama-sama mudah bermigrasi dan berbahaya.


Banjir dumping


Lalu, mengapa belakangan styrofoam justru banyak dipakai sebagai pengemas  makanan? Jawabannya tentunya sudah jelas. Plastik jenis ini di negara maju makin tidak populer, karena bahayanya. Selain itu, sebagai masalah kedua, proses pembuatannya melibatkan gas CFC. 


Gas buatan yang dikembangkan oleh Perusahaan General Motors pada tahun 1930-an ini semula dikenal sangat baik. Sifatnya tidak beracun, tidak mudah terbakar dan sangat stabil. Pemakaiannya menjadi begitu luas terutama untuk pengisi alat pendingin, yang kita kenal dengan merek dagang freon, dan untuk gas pendorong pada aerosol seperti hairspray, obat nyamuk semprot, parfum, dan sebagainya. Selain itu, juga digunakan sebagai bahan peniup pada pembuatan styrofoam.


Belakangan diketahui, CFC - karena begitu stabilnya - baru terurai sekitar 65 - 130 tahun. Gas ini akan melayang di udara, mencapai lapisan ozon di atmosfer , sampai bisa menjebolkan lapisan ozon. Akibat jebolnya lapisan ozon suhu bumi meningkat, yang disebut efek rumah kaca. Sinar ultraviolet dari matahari  akan terus menembus bumi. Sehingga timbullah kanker kulit. 


Bahaya yang ditimbulkannya sudah sangat mengkhawatirkan umat manusia. karena itu, pada tahun 1987 negara-negara industri bersepakat lewat Protokol Montreal, untuk mengendalikan pemakaian gas CFC hanya sampai 50%-nya pada tahun 2000.


Tapi, kesepakatan ini pun direvisi pada tahun 1990 di London dengan isi lebih ketat. Antara lain ditegaskan: seluruh produksi CFC harus dihentikan pada tahun 1995. Ini berarti semua teknologi atau produksi yang menggunakan CFC  akan segera menjadi kadaluwarsa!


Jadi mudah dimengerti, mengapa di negara maju plastik busa makin tidak populer, sementara dinegara berkembang justru makin digunakan. Ini akibat dumping. Negara-negara industri, yang masyarakatnya sudah maju, tidak mau menanggung risiko. Baik terhadap keamanan konsumen, kelestarian lingkungan, dan -tentu saja- kelanggengan bisnis mereka. Relokasi industri yang kedaluwarsa ini ke negara lain yang kurang maju menjadi satu-satunya cara untuk meniadakan semua risiko itu.


Maka dari itu, pemakaian dan produksi styrofoam di negeri kita jelas-jelas merupakan tindakan kurang baik. Karena itu, kalau Anda membeli makanan atau minuman berwadah styrofoam, mintalah pedagang menggantinya dengan  yang non-stryrofoam.


Source: Majalah Intisari, no. 363 - Oktober 1993

0 comments:

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...