Rabu, 20 Juli 2011

Belajar dari Konflik

KONFLIK antar suami-istri, tidak selamanya jelek. Di balik konflik, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Asal emosi tidak mengalahkan akal.

GEJOLAK dalam rumah tangga, itu alamiah dan manusiawi. Toh, manusia kata Dra. H. Zubaidah Muchtar bukan malaikat. Malah sebagian orang mengatakan, hubungan suami-istri tanpa perselisihan, ibarat orang mengecat gunung es. Ya, mustahil terjadi.


Bayangkan, antar suami-istri banyak sekali perbedaannya. Misalnya, berbeda sifat dan wataknya, cita-cita dan aspirasinya, pendidikan dan lingkungan sosialnya.

"Kakak-beradik yang sama jenisnya dan lahir dari rahim ibu yang sama saja, masih juga bertengkar dan berselisih. Pokoknya, selama masih bernama manusia, tak akan lepas dari kekurangan dan kelebihan." Kata tokoh BP4 (Badan Penasehat, Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian) Departemen Agama.


Sebagai ilustrasi, Zubaidah menampilkan sosok hubungan Nabi Muhammad SAW dan istri-istrinya. Bagi mantan pejabat Departemen Agama ini, hubungan Nabi dan para istrinya tidak 100% mulus. Suatu ketika pernah muncul perselisihan. Namun perselisihan itu akhirnya bisa diredam.

Bahkan, Tuhan sendiri memaklumi perselisihan antar suami-istri. Bukalah Alqur'an, surat An-Nisa, ayat (19), "Gauilah mereka (istri-istri) dengan baik. Kalau memang kamu tidak menyukai mereka, bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah banyak memberikan kebaikan kepada mereka."

Rasa tidak suka dan kurang senang, kata Zubaidah, tetap ada pada setiap manusia. Tapi dibalik ketidaksukaan atau ketidaksenangan itu, ada hikmah tersembunyi. Kalau saja hikmah itu bisa digali, jelas rasa tak suka dan tak senang itu akan bermakna positif.

Dari sudut psikologi, konflik atau perselisihan antar suami-istri, banyak memberikan pelajaran positif, kalau konflik itu tidak diartikan negatif. Hikmah-hikmah itu menurut Zubaidah, antara lain:

1. Menyadarkan suami-istri akan kekurangan-kekurangan dirinya. Sebab konflik itu akan membuka pintu saling mengoreksi. Lewat koreksi itulah kedua-belah pihak akan mengetahui kekurangan-kekurangan yang ada. Bukankah orang bijak berkata, "Belajarlah dari kekurangan, jika ingin menjadi manusia yang manusiawi."


2. Menuntun suami-istri untuk mengetahui kesukaan dan pantangan masing-masing pihak. Dengan pengetahuan seperti itu, tentu kedua-belah pihak akan segera menyesuaikan diri.


Zubaidah yang akrab dengan ibu-ibu rumah tangga ini mengakui, konflik suami-istri kadang muncul dari persoalan sepele. Katakanlah masalah masakan. Misalnya, suami tak suka sayur lodeh, jelas selera makan si suami akan turun.


Suami yang baik, hendaknya memberitahukan hal-hal yang tidak disukai kepada istrinya. Lalu, si istri secara serius menjauhkan sesuatu yang tak disukai suaminya itu. Begitu juga istri yang baik jangan menyembunyikan hal-hal yang tak disukai dari suaminya.


3. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk lebih memahami isi dan makna dari hubungan mereka. Sebab, tak mustahil ada sesuatu yang belum diketahui istri atau suami selama menjalankan kehidupan rumah tangga.


Sebelum berumah tangga, calon suami atau istri, umumnya sudah saling mengenal. Tapi, menurut Zubaidah, pengenalan masing-masing pihak tersebut baru baru kulitnya saja.


"Terus terang, orang yang sedang pacaran lebih suka menunjukkan kelebihan-kelebihannya, sedang kekurangan-kekurangannya disembunyikan," kata Zubaidah.

Pernah terjadi, seorang cewek menyuguhkan kopi untuk cowoknya. Kebetulan cewek itu lupa mencampurkan gula pada kopi. Lalu, saat sang cewek bertanya, "Kopinya manis, Mas?" Dengan wajah berseri si cowok menjawab, "Wah, enak sekali kopi buatanmu ini, Dik".

Tapi, kalau kasus itu terjadi pada pria yang sudah jadi suami, tentu jawabannya tidak seperti itu. Bahkan, mungkin si suami akan marah pada istrinya dengan mengumbar kata-kata yang tak layak.

Betullah kata orang, masa pacaran adalah masa yang indah, karena yang dibicarakan tak pernah yang menyinggung perasaan atau menyakitkan hati. "Jadi, sifat asli dari kedua belah pihak yang sedang pacaran tak akan kelihatan," tutur Zubaidah.


Tapi kalau sudah berumah tangga, mulailah sifat asli kedua belah pihak nampak ke permukaan. Sifat asli inilah yang harus disadari masing-masing pihak, sehingga kalau timbul masalah, bisa segera dimaklumi.


Butuh Kesabaran

UNTUK bisa menggali hikmah dari konflik itu, menurut Zubaidah dibutuhkan kesabaran. Tanpa kesabaran, jelas konflik akan menggiring suami-istri pada gerbang perceraian.

Kesabaran, awalnya memang pahit. Tapi akhirnya akan jadi manis. Bahkan lebih manis dari madu.


Dengan kesabaran, salah satu pihak (suami atau istri) yang sedang berselisih, akan mengalah. Dengan begitu, konflik bisa diredam. Tapi, kalau kedua belah pihak tetap bertahan pada pendiriannya alias tak ada yang mau mengalah, jelas hubungan suami-istri akan berantakan.


Bagi Zubaidah, banyak faktor yang jadi sebab konflik. Namun secara umum, faktor-faktor itu antara lain, kerapuhan moral, kurang mensyukuri rezeki yang diterima, ketidak-seimbangan dalam hubungan intim diatas ranjang, dan munculnya pihak ketiga.


Source : Majalah Warnasari, No.190 - November 1994

2 comments:

eMingko Blog mengatakan...

salig pengertian jg pnting ya :)
jgn lpa mmpir ke eMingko Blog

Pelangi Delapan mengatakan...

Suami dan istri dua mahkluk yang berbeda, perbedaan itu seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain sob.

Posting Komentar

GET UPDATE VIA EMAIL
Jika Anda Menyukai Artikel di Blog Ini, Silahkan Berlangganan via RSS. Isi Alamat Email Anda di Bawah Ini:

DAFTAR ISI

MAJALAH BOBO 1980-an

Tambahkan Kami di Facebook

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...